Bali sudah lebih dari satu abad menjadi magnet pariwisata bagi pelancong luar negeri. Penyimpangan perilaku turis yang akhir-akhir ini viral pun sudah jadi bagian dari denyut turisme selama puluhan tahun.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA, FAJAR RAMADHAN, DHANANG DAVID ARITONANG, COKORDA YUDISTIRA M PUTRA, HARRY SUSILO
·4 menit baca
RIAN SEPTIANDI
Warga desa panglipuran saat pentas kesenian di Desa Panglipuran, Bangli, Bali (23/04/2023)
Pesona alam berpadu dengan atraktifnya budaya lokal serta kekhasan sosial masyarakat Bali sudah diketahui sebagai magnet turis asing sejak era kolonial. Namun belum pernah ada kesepakatan, kapan pariwisata Bali bermula.
Ada kemungkinan bahwa tahun 1902 merupakan “titik nol” berdasarkan dokumen sejarah. Di tahun tersebut, anggota parlemen Belanda Henri Hubert van Kol datang ke Bali untuk bertamasya—murni bertamasya—memakai kocek pribadi.
Van Kol menuangkan kisah perjalanannya dalam ratusan halaman buku berjudul Uit Onze Kolonien atau “Dari Koloni Kita” (I Nyoman Darma Putra dan Syamsul Alam Paturusi dalam Pengantar Editor Metamorfosis Pariwisata Bali, 2017).
Penjelajahan Kol merupakan inisiatif sendiri. Karena itu, jika awal mula sejarah pariwisata Bali hendak mengacu pada pertama kali ada bisnis turisme—bukan sekadar kunjungan tunggal—kiranya tahun 1914 bisa dipilih. Sebab, pada saat itu perusahaan pelayaran milik Kerajaan Belanda, Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), mendirikan kantor biro wisata di Bali sebagai cabang dari kantor serupa di Batavia.
RIAN SEPTIANDI
Peselancar sedang beraksi di Pantai Dreamland, Pecatu, Bali, Jumat (21/04/2023)
Turismemorfosis
Berdasarkan catatan-catatan sejarah tersebut, Guru Besar Pariwisata Universitas Udayana I Putu Anom bersama sejumlah penulis membuat konsep berjuluk “turismemorfosis” dan membagi perkembangan pariwisata Bali dalam empat tahap.
Periode sejak kunjungan rekreasi Van Kol hingga masa sebelum KPM membuat kantor biro wisata (1902-1913) ditetapkan sebagai tahap pengenalan, yaitu saat hampir seluruh masyarakat lokal belum menyadari potensi turisme di sana. Masa sejak adanya kantor biro wisata KPM hingga sebelum Perang Dunia II (1914-1938) merupakan tahap reaksi, yakni dimulainya eksploitasi pariwisata untuk kepentingan komersial.
Ada kemungkinan bahwa tahun 1902 merupakan “titik nol” berdasarkan dokumen sejarah. Di tahun tersebut, anggota parlemen Belanda Henri Hubert van Kol datang ke Bali untuk bertamasya—murni bertamasya—memakai kocek pribadi
Mulai 1950 sampai 2011 dimasukkan dalam tahap pelembagaan, dan sejak 2012 hingga sekarang adalah tahap kompromi. “Kompromi dalam arti harus mencari win-win solution, yang pasti berkelanjutan baik dari segi alam, budaya, maupun ekonomi,” ucap Anom.
Kembali soal kapan pariwisata Bali bermula, andaikata nantinya seluruh ahli turisme sepakat tahun 1914 merupakan tonggak awal, pariwisata Bali dengan demikian tetap tidak bisa dikatakan masih muda karena usianya kini 109 tahun.
ARSIP KOMPAS
Foto sejumlah obyek wisata di Bali dalam bidikan wartawan Kompas pada tahun 1972. Obyek tersebut yaitu Tirta Gangga di Karangasem, Pura Tanah Lot di Tabanan, serta Pura Rambut Siwi di Jembrana.
Perubahan jelas ada, dan perbedaan antara sekarang dan seabad lalu tentu kentara. Misalnya, jika dulu masih jarang orang asing yang berlibur ke Bali, sekarang turis akrab dengan kemacetan lalu lintas di pusat-pusat atraksi wisata saking ramainya kunjungan.
Sebagai gambaran, Badan Pusat Statistik mencatat turis asing di Bali pada 1969 berjumlah 11.278 orang. Setengah abad kemudian, pada 2019 atau sebelum Covid-19 menyerang, jumlahnya lebih dari 500 kali lipat, yaitu 6,27 juta orang.
Bali juga masih menjadi magnet wisata andalan di Tanah Air hingga kini. Rata-rata kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali menyumbang hampir 40 persen dari kunjungan wisman secara nasional. Pada 2019 misalnya, dari 16,1 juta wisman ke Indonesia, 6,27 orang ke Bali.
Sejumlah warga mudah mengingat perubahan terkait dinamika wisata di sana karena banyaknya perubahan yang dilalui. Piping (60), salah satu pelatih selancar di Pantai Kuta mengungkapkan, Bali mulai banyak dikenal oleh turis asing pada era 1970-an.
RIAN SEPTIANDI
WNA Melanggar Peraturan Lalu Lintas di Canggu, Bali, Senin (24/4/2023)
Kala itu, Bali menjadi tempat transit bagi turis Australia yang pulang dari Eropa. Turis Australia yang sebagian besar gemar berselancar, terkesan dengan ombak di laut Kuta.
"Yang membuka (pariwisata), pintu gerbangnya sebenarnya Kuta. Kalau kita mau berselancar, Kuta adalah pusatnya," kata pria yang menggeluti selancar sejak tahun 1986 ini.
Perubahan jelas ada, dan perbedaan antara sekarang dan seabad lalu tentu kentara. Misalnya, jika dulu masih jarang orang asing yang berlibur ke Bali, sekarang turis akrab dengan kemacetan lalu lintas di pusat-pusat atraksi wisata saking ramainya kunjungan
Di era 80-an, sejumlah penginapan mulai berdiri di sekitar kawasan Pantai Kuta, mengakomodasi wisatawan asing. Beberapa hotel berbintang juga mulai dibangun di sepanjang Jalan Pantai Kuta. Jalanan yang tadinya sempit dan dipenuhi oleh batuan karang pun mulai diperlebar dan diaspal.
Di awal-awal kedatangannya, Piping melihat Pantai Kuta masih amat asri karena banyak pohon pandan di sepanjang pantai. Semua berubah waktu Kuta jadi tuan rumah kejuaraan terjun payung internasional awal 1990-an. Pohon-pohon pandan ditebang.
RIAN SEPTIANDI
Peselancar sedang beraksi di Pantai Dreamland, Pecatu, Bali, Jumat (21/04/2023)
Menurut Piping, di tahun 2000-an, mulai ditemukan titik-titik berselancar baru di Bali, seperti Uluwatu. Semenjak itu, konsentrasi peselancar pun tidak hanya terpusat di Kuta. Bahkan, sejak sepuluh tahun terakhir, para peselancar mulai mengeksplorasi ombak di kawasan Canggu, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung.
Penyimpangan perilaku
Di tengah perubahan pesat, ada pula unsur dalam pariwisata Bali yang sesungguhnya “lagu lama.” Penyimpangan perilaku turis yang akhir-akhir ini viral, misalnya, sesungguhnya sudah jadi bagian dari denyut turisme selama puluhan tahun.
Soal pelanggaran aturan lalu lintas pernah disorot wartawan Kompas almarhum August Parengkuan dalam seri tulisan tahun 1969 terkait kaum hippies di Bali. Banyak warga menyewakan sepeda motor pada turis asing dengan tarif 2-6 dollar AS per hari. August curiga para pelancong mancanegara itu tak berbekal rijbewijs (surat izin mengemudi), dan kecurigaannya diamini salah satu pemilik motor. Menurut warga tersebut, polisi tidak akan ambil pusing kecuali terjadi kecelakaan (Kompas, 17/11/1969).
ARSIP KOMPAS
Salah satu foto wartawan Kompas almarhum August Parengkuan dalam seri tulisan tahun 1969 terkait kaum hippies di Bali. Dalam foto itu, warga negara asing di Bali tinggal di sebuah pondok sederhana.
Pengelola akomodasi di Kecamatan Kuta, I Wayan Puspa Negara, ingat betul pemerintah provinsi pada 1980-an khawatir keberadaan kaum hippies bakal menggerus kebudayaan masyarakat lokal. Apalagi, banyak turis asing punya kebiasaan telanjang di pantai.
“Begitu saya ke pantai pagi, ngelihat kok banyak yang telanjang jalan-jalan. Tapi, tergantung masyarakat kita, ya bule is bule, kita adalah kita,” ucap Puspa.