Hippies yang Disanjung dan Diperangi
Direktorat Jenderal Imigrasi menginstruksikan kepada seluruh perwakilan Indonesia di luar negeri dan kepala kantor imigrasi di seluruh Indonesia untuk mengadakan penelitian yang lebih ketat terhadap orang-orang asing yang ingin masuk ke Indonesia.
Instruksi ini diberikan untuk mencegah jangan sampai kebobolan lagi oleh arus hippies yang diduga punya minat besar bermukim di Indonesia. Arus para hippies perlu segera dicegah karena mereka dianggap menjadi biang keladi penyebaran pemakaian obat bius dan narkotika di kalangan remaja.
Berita yang dimuat harian Kompas pada 27 Oktober 1971 atau tepat 46 tahun lalu tersebut menggambarkan kondisi dunia saat kaum hippies yang umumnya berasal dari negara-negara maju di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia itu menjadi turis di negara-negara Asia.
Mulai awal tahun 1970-an, gelombang turis hippies sampai membuat beberapa negara menerbitkan peraturan khusus. Di Indonesia, instruksi Direktorat Jenderal Imigrasi itu mengalami banyak kendala saat diterapkan di lapangan. Hippies yang dikonotasikan dengan orang Barat berpakaian kumal, berambut panjang, bersandal jepit dan lusuh itu justru berpakaian rapi saat turun dari pesawat terbang. Petugas kesulitan menentukan mana turis biasa dan mana turis hippies.
Tak hanya Indonesia, Pemerintah Thailand (dulu disebut Muangthai) pun memerintahkan kedutaan-kedutaan besarnya di luar negeri untuk tidak memberikan visa kepada hippies. Alasan yang dikemukakan Pemerintah Thailand, gaya hidup hippies tak sesuai dengan kepribadian bangsa Thai.
Thailand juga memperketat penjagaan di perbatasan dengan Laos karena diperkirakan banyak orang hippies yang ingin masuk Thailand. Di Vientiane, ibu kota Laos, diperkirakan ada sekitar 150 hippies dari sejumlah negara Barat (Kompas, 18 Mei 1968). Bahkan, Badan Turis Muangthai sampai menyatakan perang terhadap kaum hippies, dengan menambah jumlah petugas di pintu-pintu masuk ke negaranya (Kompas, 17 Februari 1980).
Taiwan bahkan membuat kampanye antihippies untuk mencegah penularan ”budaya hippies”, terutama di kalangan mudanya. Peraturan terkait kampanye ini antara lain menyebutkan, pria tak boleh berambut sampai menutupi dahi, daun telinga, dan panjang rambut di tengkuk tak boleh lebih dari 1,5 sentimeter (cm). Para pria harus merawat rapi kumis dan jenggotnya.
Bagi perempuan, Pemerintah Taiwan melarang mereka memamerkan bagian dada yang menggairahkan, celana harus menutupi setidaknya sepertiga bagian paha, bahan baju tak boleh tembus pandang. Pria dan perempuan di Taiwan juga dilarang memakai pakaian yang sengaja dirobek atau bermodel merangsang (Kompas, 18 Oktober 1971).
Sementara Hongkong, Jepang, dan Nepal sempat disebut-sebut sebagai surga bagi hippies (Kompas, 25 April 1970). Adapun Amsterdam, Belanda, dikenal sebagai kota yang lunak kepada kaum hippies. Meskipun demikian, pada 1970 di Amsterdam terjadi bentrok antara hippies dan polisi di lapangan monumen nasional.
Polisi diminta membersihkan lapangan monumen nasional di Amsterdam dari hippies karena sering diadakan upacara resmi di kawasan ini. Akan tetapi, kaum hippies menolak meninggalkan lapangan monumen nasional sehingga bentrok tak terhindarkan. Sebanyak tujuh orang menjadi korban terluka (Kompas, 27 Agustus 1970).
Di London, Inggris, hippies menempati gedung-gedung tua yang kosong. Ketika gedung hendak dirubuhkan, mereka tak mau meninggalkan gedung. Polisi pun dikerahkan untuk mengusir mereka ke luar gedung. ”Banyak orang merasa heran mengenai kelakuan pemuda-pemuda jenis abad angkasa ini,” demikian dicatat Kompas, 3 Oktober 1969.
John Lennon, personel band The Beatles, menawarkan sebuah pulau kepada hippies London yang tidak memiliki rumah. Pulau Dorinish, di lepas pantai Irlandia, dibeli Lennon seharga 1.500 poundsterling pada 1966. Di pulau ini terdapat reruntuhan rumah pertanian (Kompas, 15 November 1969).
Siapakah mereka
Kaum hippies atau dikenal juga sebagai flower generation adalah baby boomers yang lahir setelah Perang Dunia II. Tahun 1960-1970-an sebagian dari mereka menunjukkan perlawanan terhadap kemapanan tata nilai di AS (Kompas, 6 November 1992). Kaum tua umumnya menuduh mereka sebagai penganut paham seks bebas, senang musik keras, memakai narkoba, dan berslogan peace – make love not war.
Mereka menentang kebijakan Pemerintah AS dalam Perang Vietnam dan menolak mengikuti wajib militer. Mereka menganggap Perang Vietnam tak jelas untuk apa dan bukan demi membela kepentingan bangsa Amerika. Joe Galloway dalam buku We Were Soldiers Once and Young mencatat, 12,5 juta pemuda AS terjun di Perang Vietnam dan 16 juta pemuda lainnya tidak turut berperang.
Penampilan mereka jauh dari necis. Salah satu tonggak generasi bunga ini adalah peristiwa Woodstock tahun 1969 (Kompas, 13 Agustus 1994). Pada 15-17 Agustus 1969, sekitar satu juta orang berkumpul di kota kecil Bethel, dekat New York. Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai kaum hippies.
Mereka datang dari berbagai latar belakang dengan ciri khas serupa, seperti berambut panjang, berpakaian warna-warni, mengisap mariyuana, tak suka pada aturan, dan menganut seks bebas. Pertunjukan musik Woodstock menjadi semacam ”ritual kebudayaan” mereka.
Musisi yang tampil dan menjadi ”pahlawan” dalam Woodstock 1969 antara lain adalah Bob Dylan, Jimi Hendrix, Janis Joplin, Carlos Santana, Joan Baez, dan Blood Sweat and Tears (Kompas, 26 Agustus 1994). Sesuai slogannya, peace – make love not war, cinta menjadi hal yang penting di sini. Maka, tampil pula Ravi Shankar, pemusik India yang juga memberi pengaruh spiritual kepada sebagian musisi Barat, seperti The Beatles.
Semua aturan yang selama ini menjadi arus besar, seperti pria seharusnya berambut pendek atau cepak, berpakaian rapi dengan jas dan dasi, hidup dengan segenap aturan dan norma, oleh hippies diputarbalikkan. Bagi mereka, tak ada yang salah dan sah-sah saja pria berambut panjang, memakai anting, berpakaian semaunya, dan melakukan seks bebas.
Gaya hidup sebagian orang muda pun berubah. Pekerjaan domestik tak hanya milik kaum perempuan, para pria pun bisa melakukannya. Dikotomi pekerjaan pun berubah. Kalau sebelumnya bengkel dan pabrik didominasi lelaki pekerja, awal 1970-an perempuan dan lelaki menjadi setara.
Menjalar
Seiring berjalannya waktu, gaya hidup hippies menyebar ke berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Kompas, 10 Oktober 1967 mencatat, di beberapa tempat di Jakarta dijumpai sekelompok pemuda dari kalangan berpunya ngebut dengan mobil impala. Mobil sedan itu dilukis antara lain dengan gambar kepala manusia (tengkorak). Rambut mereka gondrong dan mengenakan gelang dan kalung.
Cara hidup hippies antara lain mereka dapatkan dari buku atau majalah yang memuat tentang kehidupan hippies di AS, negara-negara di Eropa, dan Australia. Untuk menangkal pengaruh hippies, kantor pos besar di Semarang sampai menyita kiriman buku dan majalah yang berisi tulisan dan gambar-gambar tentang hippies.
”Hippies sangat tidak sesuai dan bertentangan dengan moral kepribadian bangsa Indonesia. Digambarkan pula dalam buku tersebut bahwa orang-orang hippies menggambari tubuhnya dengan beraneka macam bentuk,” demikian catatan Kompas, 30 Oktober 1967.
Bahkan, di Bandung pernah muncul organisasi hippies yang menyebut diri United Haggard D.113 yang berpusat di salah satu rumah di Jalan Ir H Juanda (Dago). Mereka yang menjadi anggota D.113 ini antara lain berambut panjang, bebas berhubungan seks, mengisap ganja, mengonsumsi minuman keras, dan harus memutuskan hubungan dengan orangtuanya.
Lambang D.113 adalah bunga dan seragam berwarna-warni. Mereka juga memakai hiasan bunga sebagai lambang cinta dan kebebasan. Lagu kebangsaannya adalah ”Kota Kembang” yang dinyanyikan Tetty Kadi (Kompas, 9 Juni 1969).
Masuknya hippies ke Indonesia juga berpengaruh pada penggunaan narkoba. Penggunaan dan peredaran narkoba meningkat seiring dengan bertambahnya lalu lintas manusia di bidang pariwisata (Kompas, 23 Maret 1972). Dalam salah satu razia, polisi menyita 5 kilogram (kg) ganja dari para hippies di Kuta, Bali (Kompas, 1 Juli 1972).
Amat hemat
Pada 1969 Bali sudah menjadi salah satu lokasi yang disukai kaum hippies. Berbeda dengan turis yang biasanya suka tinggal di hotel berbintang, turis hippies, meski sama-sama berkulit putih, memilih tinggal di hotel tanpa bintang dan di rumah-rumah penduduk (Kompas, 14 November 1969).
Mereka bisa tinggal sekamar meskipun baru berkenalan di Bali. Misalnya, seorang pria dari Denmark dan teman sekamarnya dari Jerman. Atau, seorang perempuan dari Australia dengan teman sekamar pria asal Inggris. Alasannya, demi menghemat uang karena biaya kamar ditanggung berdua. Di sisi lain, hotel berbintang, seperti Bali Beach, misalnya, tidak menerima tamu hippies (Kompas, 5 Mei 1970).
Umumnya para hippies bersemboyan 1 dollar AS untuk hidup dua hari. Oleh karena itu, mereka tidur di rumah penduduk, bahkan di pantai agar tak perlu mengeluarkan uang. Secara ekonomi, gaya hidup hippies tidak menguntungkan bagi devisa negara (Kompas, 13 April 1972).
Hippies di Bali tak hanya di sekitar Kuta, tetapi juga beredar sampai ke desa-desa di Ubud. Mereka suka berjalan kaki atau, kalau jarak tempuhnya jauh, menyewa sepeda, sepeda motor, atau menumpang kendaraan umum. Oleh karena hippies dikonotasikan kurang baik, mereka menyebut diri turis yang menyukai hidup sederhana. Mereka berhemat karena ingin berkelana sejauh mungkin (Kompas, 17 November 1969).
Mereka suka menghabiskan waktu berjemur dengan pakaian minim di Pantai Kuta atau berenang hanya dengan pakaian dalam. Sesama hippies saling memberi informasi tentang penginapan dan tempat makan yang murah di berbagai tempat wisata. Oleh karena itu, umumnya, begitu tiba di suatu tempat, mereka sudah tahu akan menuju ke mana (Kompas, 18 November 1969).
Sementara masuknya hippies ke Yogyakarta antara lain bisa dilihat dari salah satu tulisan di Kompas, 14 Maret 1972, yang menyebutkan, sejak awal 1970-an, yang dinamai turis asing adalah mereka yang suka berjalan-jalan di Jalan Malioboro dengan bercelana pendek dan berkaos singlet kumal, rambut gondrong, jambang serta jenggotnya tumbuh bebas dan memakai sandal jepit.
Mereka tidak tinggal di hotel berbintang, seperti Hotel Ambarukmo atau Hotel Garuda, tetapi di hotel kecil bernama Hotel Indonesia (tidak ada hubungannya dengan Hotel Indonesia, Jakarta). Jumlah turis seperti ini semakin bertambah banyak dan keberadaannya meresahkan warga.
Kegagalan
Hippies identik dengan protes, dobrakan pada tradisi, serta kebosanan terhadap aturan dan nilai-nilai yang selama ini dirasakan membelenggu. Namun, bagi sebagian orang lainnya, kaum hippies justru dianggap sebagai kalangan yang tak mampu atau melarikan diri dari tanggung jawab.
”Jangan-jangan ini menggambarkan kegagalan mereka dalam memikul tanggung jawab sosial dan tekanan-tekanan sosial pada masa itu,” demikian ditulis Kompas, 8 Juni 1997.
Pandangan serupa sudah muncul dalam tulisan yang dimuat Kompas, 29 Januari 1969. Di sini hippies disebut sebagai orang-orang gagal yang tak berani menghadapi perjuangan hidup. Mereka lalu ”lari” ke dalam diri sendiri, berusaha membahagiakan diri dengan serba tidak butuh pada apa yang biasanya diperlukan umumnya orang.
Meskipun sebagian dari mereka berasal dari keluarga berpendidikan dan secara ekonomi pun berkecukupan. Mengutip majalan Life edisi September 1968 dikisahkan tentang Yoko Ono, pasangan John Lennon. Yoko berasal dari keluarga terkemuka di Jepang. Ayahnya bankir dan pamannya duta besar.
Yoko memilih menjadi penyair dan seniwati. Namun, setiap kali bertemu orang, mereka mengenalnya sebagai bagian dari keluarganya yang terpandang. Yoko merasa lingkungan tak menghargai dan melihat dirinya apa adanya. Ada pemberontakan dalam dirinya, yang terasa pas ketika Yoko berjumpa dengan John Lennon. Mereka lalu meninggalkan pasangan masing-masing dan hidup bersama dengan gaya semaunya.
Majalah Reader’s Digest edisi Januari 1968 juga bercerita tentang Linda Fitzpatrick. Gadis dari keluarga kaya ini merasa kesepian karena orangtuanya sibuk. Dia merasa tak diperhatikan meskipun kebutuhan ”fisik” hidupnya berlimpah. Awalnya Linda hanya ikut-ikutan mengonsumsi obat bius, tetapi kemudian kecanduan.
Agar tetap mendapat uang dari orangtuanya, dia berbohong. Uang itu dihabiskannya untuk hidup bersama kaum hippies. Teman-temannya pun senang karena mereka bisa menjalani hidup sehari-hari atas biaya Linda, tanpa perlu bekerja.
”Mereka mengajarkan cinta kasih meskipun menyakitkan hati kiri-kanan. Mereka sedang membangun aturan kemasyarakatan dengan mengabaikan segala peraturan yang berlaku. Mereka berusaha melemparkan materialisme, tetapi menggerogoti harta orangtua,” demikian antara lain anggapan sebagian masyarakat terhadap hippies yang dimuat Kompas, 3 Oktober 1969.
Kondisi ini menunjukkan kaum hippies mencari kesenangan, tetapi tak mau berjuang. Dengan berbagai alasan mereka berusaha hidup ”nyaman” dengan biaya dari masyarakat yang dilawannya. Itulah sebabnya sebagian masyarakat menganggap hippies sebagai orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Menangkal
Keberadaan hippies di Tanah Air membuat pemerintah gerah. Salah satu cara menangkal masuknya hippies ke Indonesia adalah dengan tidak memberi visa. Namun, kaum hippies pun tak kehabisan akal. Biasanya mereka masuk ke Indonesia dengan penampilan necis dan, setibanya di Bali atau Yogyakarta, baru bergaya hidup hippies.
Untuk mengatasi kondisi tersebut, Djawatan Imigrasi Indonesia menolak permohonan perpanjangan visa mereka. Selain itu, turis yang menginap di rumah penduduk diwajibkan meminta surat izin bermalam dari perbekel atau lurah setempat (Kompas, 22 Februari 1972).
Begitu mengganggunya hippies, sampai-sampai Menteri Dalam Negeri Amir Machmud dalam amanatnya kepada para gubernur se-Indonesia mengingatkan agar hippies jangan dibiarkan bebas masuk-keluar sampai ke desa-desa (Kompas, 14 Maret 1972).
Gubenur Bali pun mengeluarkan surat keputusan yang melarang turis menginap di rumah penduduk. Meskipun tak menyebutkan kata hippies, tetapi merekalah yang dimaksud dalam surat keputusan tersebut (Kompas, 6 April 1972). Hal ini membuat mereka tak bisa berlama-lama tinggal di Bali karena terpaksa menginap di hotel berbintang bertarif relatif mahal (Kompas, 1 Juli 1972).
Sementara Kompas, 15 Juli 1970, mencatat, 17 hippies diperintahkan segera meninggalkan Indonesia setelah masa berlaku visa mereka habis. Saat masuk Indonesia, mereka menyamar sebagai mahasiswa, wartawan, pedagang, dan seniman. Mereka berasal dari Australia, AS, Swedia, Inggris, dan Perancis.
Lagi, seorang hippie asal Inggris diperintahkan meninggalkan Indonesia setelah mengganggu ketertiban umum (Kompas, 3 Agustus 1971). Dia tidak membayar sewa kendaraan, menganggu perempuan, dan merusak etalase toko. Ketika diperiksa dokter, orang ini mengonsumsi banyak LSD, salah satu jenis narkoba.
Mengonsumsi narkoba adalah salah satu gaya hidup hippies. Dengan narkoba, mereka berusaha membebaskan diri dari berbagai masalah kehidupan. Padahal, semua itu adalah kesia-siaan yang berakhir dengan mati muda (Kompas, 26 Agustus 1994).
Seiring berjalannya waktu, pengaruh hippies semakin memudar ketika semakin banyak orang menyadari kehidupan bebas bukan jaminan mendapatkan kebahagiaan.