Mewaspadai ”Sugarflation”
”Sugarflation” tengah melanda “negeri pencetak drakor”. Harga gula di negara itu melonjak ke level tertinggi sejak 11 tahun terakhir. Bagaimana dengan RI yang merupakan negara produsen sekaligus pengimpor gula?
Harga gula mentah dunia tengah membubung tinggi. Imbasnya telah dirasakan di sejumlah negara pengimpor gula, seperti Korea Selatan. Saat ini, harga gula di ”negeri pencetak drakor” tersebut melonjak ke level tertinggi sejak 11 tahun terakhir. Sampai-sampai muncul istilah ”sugarflation”.
CGTN, saluran televisi berita berbahasa Inggris China, menyajikan tayangan menarik berjudul “Sugarflation Raises Concerns in Country's Food Industry” pada 10 Mei 2023. Tayangan tersebut menyajikan kisah “sugarflation” di sebuah toko roti di Korea Selatan.
Gula merupakan bahan dasar aneka makanan, termasuk roti dan kue di negeri ginseng. Song Chihun, pemilik Ridgeydidge Bakery, mengaku, gula merupakan bahan baku utama roti dan kue dengan proporsi sekitar 50 persen.
Di tengah kenaikan harga gula, bahkan tepung, ia belum menaikkan harga jual kue dan roti. Namun jika kenaikan harga gula dunia berkepanjangan, ia akan mempertimbangkan menaikkan harga produk.
Tayangan tersebut juga menekankan kenaikan harga eceran gula akan menekan prospek inflasi umum. Lahirlah istilah ”sugarflation” (sugar inflation) atau inflasi gula.
Di Amerika Serikat (AS), kenaikan harga gula memengaruhi banyak produk berbasis gula seperti permen, permen karet, dan manisan. Biro Statistik Tenaga Kerja AS mencatat, indeks harga konsumen untuk permen dan permen karet naik menjadi 186,64 pada Maret 2023 atau melonjak 9,6 persen secara tahunan.
Saat ini, harga gula di ”negeri pencetak drakor” tersebut melonjak ke level tertinggi sejak 11 tahun terakhir. Sampai-sampai muncul istilah ”sugarflation”.
Baca juga: Fenomena ”Lunchflation”
Kala sebagian besar harga komoditas pangan global turun, harga gula justru melejit. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mencatat, indeks harga gula dunia pada April 2023 naik 17,6 persen secara bulanan menjadi 149,4.
Indeks harga gula tersebut telah naik tiga bulan berturut-turut, bahkan lebih tinggi dari indeks pada April 2022 yang sebesar 121,5. Indeks harga gula itu menuju level tertinggi rata-rata indeks sejak 2011 yang sebesar 160,9.
Kenaikan harga gula itu disebabkan kekhawatiran pasar terhadap penurunan persediaan gula dunia. Organisasi Gula Internasional (ISO) menurunkan perkiraan surplus gula dunia periode pemasaran 2022/23 dari 6,19 juta ton menjadi 4,15 juta ton.
Hal itu disebabkan penurunan produksi gula di India, China, Thailand, dan sejumlah negara di Uni Eropa. Di India, negara produsen gula nomor dua dunia, misalnya. Produksi gula di negara tersebut pada tahun pemasaran 2022/2023 diperkirakan sebanyak 32,8 juta ton, turun 3,5 persen akibat dampak gelombang panas ekstrem berkepanjangan.
Selain itu, di Brasil, awal panen tebu di negara tersebut diperkirakan lebih lambat karena curah hujan di atas rata-rata. Brasil juga mengenakan pajak bensin cukup tinggi sehingga konsumen beralih ke biofuel etanol dari tetes tebu. Konsumsi biofuel meningkat pesat, sehingga banyak tebu yang tersedot ke sektor tersebut ketimbang pangan.
Baca juga: Jaga Keseimbangan Pangan dan Energi
Tantangan ganda
Indonesia yang merupakan negara produsen sekaligus pengimpor gula juga menghadapi potensi ”sugarflation”. Meski masih belum tercermin sebagai komoditas penyumbang inflasi, kenaikan harga gula sudah terjadi. Tantangan Indonesia justru lebih berat karena tengah menghadapi kenaikan harga dua jenis gula, yakni gula rafinasi berbahan baku gula mentah dan gula konsumsi yang berasal dari tebu rakyat.
Gabungan Pengusaha Makanan Minuman Indonesia (Gapmmi) mencatat, kenaikan harga gula mentah telah menyebabkan harga gula rafinasi naik menjadi Rp 11.000-Rp 12.000 per kilogram (kg). Sebelumnya, pelaku usaha dan industri makanan-minuman bisa memperoleh gula rafinasi dengan harga di bawah Rp 10.000 per kg.
Saat ini, sebagian besar pelaku usaha dan industri makanan-minuman belum menaikkan harga produk. Mereka lebih memilih mengurangi keuntungan dengan menjaga harga lantaran daya beli masyarakat masih belum benar-benar pulih. Namun, jika kenaikan harga gula mentah dunia berkepanjangan, mereka mau tidak mau akan menaikkan harga produk.
Baca juga: Industri Makanan-Minuman Terbebani Kenaikan Harga Gula
Harga gula konsumsi atau gula kristal putih juga naik. Berdasarkan data Panel Harga Pangan Badan Pangan Nasional (NFA) pada 10 Mei 2023, harga rata-rata nasional gula konsumsi di tingkat pedagang eceran Rp 14.420 per kg. Harga rata-rata gula tertinggi berada wilayah Papua, yakni sebesar Rp 16.100 per kg, sedangkan terendah di Jawa Timur, yakni Rp 13.330 per kg.
Harga tersebut masih di atas harga acuan penjualan gula konsumsi di tingkat konsumen yang ditetapkan NFA, yakni Rp 13.500 per kg. Khusus wilayah Indonesia bagian timur, harga gula konsumsi itu juga jauh di atas harga acuan penjualan, yakni Rp 14.500 per kg.
Tantangan Indonesia justru lebih berat karena tengah menghadapi kenaikan harga dua jenis gula, yakni gula rafinasi berbahan baku gula mentah dan gula konsumsi yang berasal dari tebu rakyat.
Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menyebutkan, kenaikan harga gula tersebut terutama dipengaruhi lonjakan harga pupuk dan dampak kenaikan harga bahan bakar minyak. Komponen biaya pokok produksi (BPP) kebutuhan pupuk tahun ini sebesar Rp 9 juta, naik dari tahun lalu yang sebesar Rp 5 juta.
Lonjakan itu dibarengi dengan kenaikan komponen BPP lainnya, antara lain biaya tebang angkut, benih, sewa lahan, dan upah tenaga kerja. Berdasarkan penghitungan BPP ditambah 10 persen keuntungan petani dan biaya bunga bank, APTRI mengusulkan harga pokok penjualan (HPP) gula petani pada 2023 sebesar Rp 15.014 per kg.
Di tengah arus kenaikan gula rafinasi dan gula konsumsi, Pemerintah Indonesia akan mengimpor gula sebanyak 4,641 juta ton pada tahun ini. Kuota impor gula itu terdiri dari impor gula mentah bahan baku industri rafinasi sebanyak 3,6 juta ton, 991.000 ton gula kristal putih, dan 50.000 ton gula untuk kebutuhan khusus.
Baca juga: Petani Minta Impor Gula Tak Berlebihan
Sudah barang tentu kenaikan harga gula mentah dunia akan memengaruhi biaya impor ketiga jenis gula tersebut. Jika harga gula kristal putih dunia masih tinggi, harga jual gula konsumsi yang diimpor di dalam negeri juga bakal tinggi. Padahal, tujuan Indonesia mengimpor gula kristal putih tersebut untuk menstabilkan harga gula di dalam negeri dan cadangan gula pemerintah.
Tak mengherankan jika di tengah kondisi itu, NFA berencana menyesuaikan harga acuan pembelian gula konsumsi di tingkat produsen dan harga acuan penjualan gula konsumsi di tingkat konsumen. Saat ini, harga acuan tersebut masih diatur dalam Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 11 Tahun 2022.
Tim Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk mengingatkan, harga gula mentah dunia masih akan terus bergejolak sepanjang tahun ini. Anomali cuaca, seperti gelombang panas dan El Nino, yang melanda sejumlah negara produsen gula berpotensi memengaruhi penurunan produksi gula.
Berdasarkan konsensus Bloomberg, harga rata-rata gula mentah pada 2023 diperkirakan masih tinggi, yakni 20 sen dollar AS per pon. Harga tersebut diperkirakan turun menjadi 19 sen dollar AS per pon pada 2024. Sementara dengan nanti kenaikan harga acuan pembelian dan penjualan gula konsumsi, harga gula domestik dipastikan bakal terkatrol.
Kenaikan harga gula baik bagi kesejahteraan petani tebu sekaligus memacu produksi tebu nasional. Namun bagi pelaku usaha dan industri, serta konsumen, hal itu bisa semakin menekan isi dompet. Di sisi lain, pemerintah tetap perlu mewaspadai terjadinya ”sugarflation” di dalam negeri.
Baca juga: Cadangan Pangan Mulai Terisi, DPR Pertanyakan Impor