Jaga Keseimbangan Pangan dan Energi
Pertarungan pangan versus energi di Indonesia masih belum ”head to head”. Namun, jika tidak dibarengi dengan peningkatan produksi, pertarungan perebutan bahan baku pasti akan terjadi.
Era gerakan mengatasi dampak perubahan iklim telah melahirkan pertarungan pangan versus energi baru terbarukan. Pertarungan itu bakal kian meruncing seiring bertambahnya populasi penduduk. Jika tanpa antisipasi, pasti akan menjadi bom waktu yang siap meledak saat keseimbangan pangan dan energi terguncang.
Lembaga Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) menyebutkan, populasi dunia telah melewati 8 miliar orang per 15 November 2022 dan akan mencapai 9,7 miliar orang pada 2050.
Selama 25 tahun terakhir, populasi di bumi telah meningkat sepertiga atau 2,1 miliar orang. Sementara populasi di Indonesia diperkirakan meningkat dari 280,4 juta orang pada 2022 menjadi 288 juta orang pada 2050.
Seiring bertambahnya populasi, kebutuhan dan penyediaan pangan dan energi setiap negara, termasuk Indonesia, akan terus meningkat. Itu baru dari sudut kebutuhan domestik. Jika sudah memasok kebutuhan pasar internasional, beban penyediaan pangan dan energi tersebut akan bertambah besar. Tanpa diimbangi peningkatan produksi, pertarungan pangan dan energi bakal terjadi.
Seiring bertambahnya populasi, kebutuhan dan penyediaan pangan dan energi setiap negara, termasuk Indonesia, akan terus meningkat. Tanpa diimbangi peningkatan produksi, pertarungan pangan dan energi bakal terjadi.
Baca juga: Manusia Bumi Genap Delapan Milliar
Kondisi itu dikhawatirkan sejumlah kalangan tatkala Pemerintah Indonesia akan meningkatkan mandatori biodiesel dari B30 ke B35. Program B35 atau pencampuran 35 persen produk turunan minyak sawit, metil ester asam lemak (fatty acid methyl esters/FAME), dengan solar itu akan dimulai pada 1 Februari 2023.
Dengan mandataori B35 itu, kebutuhan biodiesel pada tahun ini sebesar 13,14 juta kiloliter (4,640 juta ton) atau naik dari tahun lalu yang sebanyak 11 juta kiloliter (3,89 juta ton). Untuk memenuhi produksi biodiesel sebanyak itu, dibutuhkan minyak kelapa sawit mentah (CPO) sekitar 13,15 juta kiloliter (4,643 juta ton).
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono, Jumat (13/1/2023), mengatakan, sepanjang 2019-2022, produksi minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan minyak inti sawit (PKO) stagnan. Rata-rata produksi kedua komoditas itu dalam empat tahun terakhir sekitar 51 juta ton.
Bersamaan dengan itu, konsumsi di dalam negeri terus meningkat dari 17,35 juta ton pada 2020 menjadi 19,5 juta ton pada 2022. Sementara itu, ekspornya relatif stagnan di kisaran 33,5 juta-34 juta ton akibat dampak pandemi Covid-19 dan larangan ekspor CPO dan sejumlah produk turunannya pada tahun lalu.
”Ke depan, permintaan domestik dan ekspor diperkirakan akan semakin meningkat seiring dengan pemulihan ekonomi, serta bertambahnya jumlah penduduk Indonesia dan dunia. Jika produksi minyak sawit masih stagnan, persaingan mendapatkan bahan baku untuk pangan dan energi berpotensi terjadi,” kata Eddy.
Baca juga: Produksi CPO Tahun Ini Diperkirakan Turun
Peneliti Bidang Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, juga berpendapat senada. Ia mencatat, sepanjang 2017-2022, produksi CPO dan PKO meningkat 11,3 juta ton kendati sepanjang 2019-2022 tidak ada peningkatan signifikan.
Selain itu, konsumsi di dalam negeri bertambah 8,45 juta ton dan ekspornya realtif stagnan di kisaran 33 juta ton. Namun, pada 2019 atau sebelum pandemi, ekspor komoditas tersebut mencapai volume tertinggi, yakni sebanyak 37,43 juta ton. Lantaran pandemi dan larangan ekspor, pada 2020 hingga 2022 volume ekspornya turun.
”Dalam kondisi tersebut ditambah penerapan program B35 pada tahun ini, pertarungan pangan versus energi masih belum head to head. Produksinya masih dapat mencukupi kebutuhan pangan dan energi baik untuk pasar domestik maupun ekspor. Namun, jika tidak dibarengi dengan peningkatan produksi, ke depan pertarungan pangan versus energi pasti bakal terjadi,” katanya.
Dalam kondisi tersebut ditambah penerapan program B35 pada tahun ini, pertarungan pangan versus energi masih belum head to head. Namun, jika tidak dibarengi dengan peningkatan produksi, ke depan pertarungan pangan versus energi pasti bakal terjadi.
Pertimbangan dan produksi
Oleh karena itu, kata Rusli, peningkatan produksi CPO dan PKO diperlukan untuk menjaga keseimbangan kebutuhan pangan dan energi. Salah satunya dengan meningkatkan program peremajaan sawit rakyat. Langkah ini penting mengingat perkebunan sawit rakyat saat ini seluas 6,08 juta hektar atau sekitar 40,34 persen dari total lahan sawit di Indonesia.
Hal itu juga perlu dibarengi dengan peningkatan penggunaan transportasi publik dan kendaraan listrik. Kedua upaya itu dapat menekan peningkatan permintaan biodiesel ke depan.
”Peta jalan pemanfaatan minyak sawit untuk kebutuhan pangan dan energi juga perlu dikaji kembali agar lebih komprehensif. Tidak sekadar menghitung kebutuhan CPO untuk biodiesel, tetapi juga sektor-sektor lain yang membutuhkan CPO,” kata Rusli.
Sementara itu, Eddy mengatakan, kebijakan moratorium sawit masih berjalan sehingga masih belum ada penambahan lahan sawit. Langkah riil yang bisa dilakukan agar produksi CPO tetap meningkat adalah dengan mengoptimalkan lagi program peremajaan sawit rakyat.
Peta jalan industri sawit untuk kebutuhan pangan dan energi juga harus bernapaskan one map one policy. Hal itu penting agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan, baik di sektor perkebunan, perdagangan, industri, pangan, maupun energi.
Selain itu, kata Eddy, pemerintah melalui badan usaha milik negara (BUMN) juga perlu membangun cadangan biodiesel dan pangan. Namun, jangan sampai upaya pembangunan cadangan tersebut saling bertabrakan satu sama lain karena bersumber dari bahan baku yang sama.
Baca juga: Peremajaan Mendesak untuk Wujudkan Sawit Berkelanjutan
Dalam penerapan kebijakan mandatori biodiesel, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengaku telah mempertimbangkan ketersediaan pasokan CPO serta kapasitas produksi badan usaha bahan bakar nabati. Sebelumnya, pemerintah telah menguji dan berencana menerapkan program B40. Namun, kebijakan itu diganti dengan B35.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, pengujian B40 sudah dilakukan dan hasilnya pada kencaraan baik. Namun, dengan sejumlah pertimbangan, akhirnya diputuskan untuk mengimplementasikan B35 lebih dulu.
”Kami ingin merapkannya secara bertahap. Dengan menaikkan B30 menjadi B35, kami harus menghitung dahulu keseimbangan kebutuhan CPO di sektor-sektor lain. Minyak goreng, misalnya. Jangan sampai terganggu. Harus diamankan dulu kewajiban pemenuhan kebutuhan pasar domestik (DMO) CPO,” kata Arifin.
Dengan menaikkan B30 menjadi B35, kami harus menghitung dahulu keseimbangan kebutuhan CPO di sektor-sektor lain. Minyak goreng, misalnya. Jangan sampai terganggu.
Untuk meningkatkan produksi CPO serta menopang ketahanan pangan dan energi, Kementerian BUMN telah meminta holding PT Perkebunan Nusantara untuk membentuk subholding PalmCo. Melalui PalmCo, PTPN berencana memperluas lahan sawit dari 525.000 hektar pada 2022 menjadi 626.000 hektar pada 2026. Dengan begitu, produksi CPO dapat meningkat dari 3,13 juta ton pada pada 2022 menjadi 3,26 juta ton pada 2026.
”Pada 2026, kami menargetkan dapat memproduksi minyak goreng sebanyak 1,8 juta ton per tahun dan 433.000 ton biodiesel per tahun,” kata Direktur Utama PTPN III (Persero) sekaligus PTPN Group Mohammad Abdul Ghani.