Hari ini, 15 November 2022, jumlah manusia penghuni Bumi genap mencapai 8 miliar jiwa. Ini adalah capaian sukses pembangunan kesejahteraan selama ini, meski memiliki tantangan yang tidak kecil.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·5 menit baca
Hari ini, 15 November 2022, jumlah manusia yang menghuni Bumi genap mencapai 8 miliar jiwa. Capaian ini menandakan keberhasilan manusia dalam mengatasi tantangan hidup, khususnya terkait pangan dan penyakit. Namun, kesuksesan ini juga menjadi alarm makin beratnya beban Bumi yang membutuhkan solusi nyata manusia.
Departemen Ekonomi dan Urusan Sosial, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memproyeksikan jumlah penduduk dunia mencapai 8 miliar jiwa pada 15 November 2022 ini. Sebelumnya, penduduk Bumi mencapai 7 miliar jiwa pada 31 Oktober 2011 atau hanya butuh 11 tahun untuk bertambah 1 miliar penduduk.
Kenaikan itu terjadi sedikit lebih cepat dibanding pertambahan 1 miliar penduduk sebelumnya, saat penduduk Bumi mencapai 6 miliar jiwa pada 12 Oktober 1999. Selanjutnya, pertumbuhan penduduk dunia diprediksi akan sedikit melambat sehingga untuk mencapai 9 miliar jiwa diperkirakan butuh 15 tahun atau terjadi pada 2037.
"Tonggak sejarah ini menjadi kesempatan untuk merayakan keberagaman dan kemajuan sembari mempertimbangkan tanggung jawab bersama terhadap planet," kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres seperti dikutip dari situs PBB.
China masih menjadi negara berpenduduk terbanyak di dunia sebesar 1,45 miliar jiwa dan disusul India sebanyak 1,41 miliar jiwa. Tahun depan atau 2023, jumlah penduduk India diperkirakan akan menyalip China dan menjadi juaranya. Amerika Serikat dan Indonesia masih menjadi negara berpenduduk terbanyak ketiga dan keempat, sama seperti satu dekade lalu.
Namun di urutan berikutnya mulai berubah. Brasil yang sebelumnya ada di peringkat 5 turun menjadi ranking ke-7 dan digantikan posisinya oleh Pakistan dan Nigeria. Menuju penduduk Bumi 1 miliar berikutnya, pertumbuhan penduduk akan banyak ditopang dari negara-negara Afrika dan Asia, seperti India, Pakistan, Nigeria, Ethiopia, Filipina, dan Mesir.
Terus bertambahnya penduduk, khususnya dari negara-negara berkembang, menandakan keberhasilan mereka dalam mencapai derajat kesehatan yang lebih baik. Kondisi itu ditandai dengan menurunnya angka kematian, khususnya kematian ibu dan anak, serta bertambahnya usia harapan hidup manusia.
Tonggak sejarah ini menjadi kesempatan untuk merayakan keberagaman dan kemajuan sembari mempertimbangkan tanggung jawab bersama terhadap planet.
"Terlepas dari segala tantangannya, ini adalah kisah sukses, bukan skenario kiamat. Dunia makin banyak diisi oleh orang terdidik yang menjalani kehidupannya lebih sehat dibanding masa-masa sebelumnya," kata Direktur Eksekutif Badan Kependudukan PBB (UNFPA) Natalia Kanem pada peringatan Hari Populasi Dunia, 11 Juli 2022.
Prospek Populasi Dunia yang dikeluarkan PBB menyebut usia harapan hidup (UHH) masyarakat global tahun 2022 ini mencapai 72,98 tahun. Saat penduduk Bumi mencapai 7 miliar dan 6 miliar, UHH global masing-masing baru mencapai 70,10 tahun dan 65,91 tahun. Di masa mendatang, UHH akan terus meningkat dan diprediksi mencapai 77,2 tahun pada tahun 2050.
Meningkatnya UHH ini otomatis menambah jumlah penduduk lanjut usia. Penduduk berumur lebih dari 65 tahun yang tahun ini mencapai 10 persen dari total populasi diperkirakan akan mencapai 16 persen pada 2050. Saat itu, jumlah lansia berumur lebih dari 65 tahun diperkirakan mencapai dua kali lipat dari jumlah anak berusia kurang dari 5 tahun atau setara jumlah anak berumur kurang dari 12 tahun.
Ketimpangan
Di tengah membaiknya kualitas kesehatan masyarakat, negara-negara miskin dan berkembang masih jauh tertinggal dibanding negara maju. UHH mereka rata-rata tertinggal tujuh tahun dibanding rata-rata global. Namun di negara-negara itu pula tingkat kesuburan masyarakatnya masih tinggi, berbanding terbalik dengan tingkat fertilitas negara maju.
Tingkat fertilitas global pada 1950 masih mencapai 5 anak per perempuan usia subur dan turun jadi 2,4 anak pada 2022. Namun saat ini, dua pertiga populasi global tinggal di wilayah dengan tingkat kesuburan masyarakat kurang dari 2,1 anak yang menjadi tingkat fertilitas ideal. Ke depan, tingkat kesuburan di 61 negara diperkirakan akan turun 1 persen atau lebih hingga 2050.
Di sisi lain, masih tingginya tingkat kesuburan dari tingkat fertlitas ideal untuk penduduk tumbuh seimbang menjadi tantangan tidak mudah. Pertumbuhan penduduk yang cepat dikhawatirkan membuat pencapaian target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG), khusus target pengentasan kemiskinan, memerangi kelaparan dan kekurangan gizi, serta cakupan layanan pendidikan dan kesehatan, akan makin sulit dicapai.
"Hubungan antara pertumbuhan penduduk dan pembangunan berkelanjutan bersifat kompleks dan multidimensi," tambah Wakil Bidang Ekonomi dan Sosial Sekretaris Jenderal PBB Liu Zhenmin.
Penurunan kesuburan beberapa dekade terakhir itu memberi dampak positif dengan limpahan penduduk usia produktif di negara-negara Afrika, Amerika Latin, dan Asia, termasuk Indonesia. Pergeseran distribusi umur penduduk itu memicu terjadinya bonus demografi yang memberi peluang untuk meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat lebih cepat.
Namun untuk mencapai bonus demografi itu memerlukan sumber daya manusia berkualitas. Untuk itu, negara perlu investasi yang masif dalam sektor pendidikan dan layanan kesehatan bagi semua kelompok umur serta mendorong peluang kerja yang produktif dan pekerjaan yang layak bagi semua.
Pembangunan kesetaraan perempuan dan pengakhiran praktik-praktik budaya yang merugikan perempuan juga tidak kalah penting. Perempuan harus mendapat akses pendidikan, pekerjaan, hingga partisipasi di ruang publik yang sama dengan laki-laki. Perkawinan usia anak juga harus diakhiri karena meningkatkan risiko kematian ibu dan anak serta rentan menjebak mereka dalam lingkaran kemiskinan.
Meski demikian, besarnya jumlah penduduk ini juga meningkatkan kesadaran akan beratnya tantangan kehidupan. Pandemi Covid-19 yang disambung dengan perang Rusia-Ukraina menunjukkan beratnya menghidupi 8 miliar manusia. Tidak semua manusia memiliki akses terhadap pangan, energi, dan layanan kesehatan yang sama. Penduduk di negara miskin dan berkembang menjadi yang paling menderita ditengah kondisi global yang tidak menentu.
Besarnya penduduk dikhawatirkan juga akan memberi tekanan besar pada lingkungan. Situasi ini juga bisa meningkatkan risiko yang dialami manusia terhadap berbagai bencana antropogenik. Upaya manusia untuk memitigasi dampak perubahan iklim juga dikhawatirkan makin sulit. Terlebih, persaingan antarnegara dalam merebut dan menguasai sumber daya alam semakin ketat.
Namun terlepas dari segala tantangan dan konsekuensi yang muncul dari 8 miliar penduduk, Kanem mengingatkan, "Manusia adalah solusi, bukan menjadi masalahnya." Soal jumlah penduduk memang penting diperhatikan demi pembangunan yang berkelanjutan, tetapi perlu dihitung dan disikapi secara cermat.
Dunia dengan 8 miliar manusia tidak hanya membuka banyak peluang dan kesempatan, tetapi juga menawarkan berbagai kemungkinan yang tidak terbatas. Setiap orang dan masyarakat memiliki peluang yang sama untuk tumbuh dan berkembang serta menjadi bagian masyarakat dunia yang sama-sama sejahtera dan sekaligus terjaga lingkungannya.