Petani tebu mempertanyakan data yang menjadi landasan pemerintah mengimpor gula pada 2023. Asosiasi petani menilai rencana impor gula yang lebih rendah tahun ini karena pemerintah sudah banyak mengimpor tahun lalu.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebutuhan impor gula kristal mentah atau raw sugar pada tahun 2023 direncanakan lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun, petani tebu menilai penurunan itu semu. Petani juga meminta pemerintah dan pelaku industri tidak mengimpor secara berlebihan dengan menggunakan data yang akurat.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika menyebutkan, kebutuhan impor gula mentah untuk industri gula konsumsi sepanjang 2023 sebanyak 1,04 juta ton. Jumlah itu setara dengan 991.000 ton gula kristal putih (GKP).
”Importasi akan dibagi dua. Sebagian untuk didistribusikan dan konsumsi sebelum musim giling. Sisanya (diimpor) setelah musim giling tebu petani atau akhir 2023 guna memperkuat stok,” tuturnya saat dihubungi, Rabu (4/1/2022).
Putu mengatakan, jumlah itu lebih rendah dibandingkan dengan impor gula mentah untuk GKP pada 2022 karena tahun ini diperkirakan ada peningkatan produksi gula di dalam negeri. Dia merinci, impor gula mentah pada 2022 mulanya sebanyak 938.000 ton. Ada juga tambahan impor 440.000 ton untuk memperkuat stok. Dengan demikian, jumlah impor gula mentah sepanjang 2022 mencapai 1,37 juta ton atau setara dengan 1,309 juta ton GKP.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyebutkan, kebutuhan GKP sepanjang 2023 diperkirakan lebih dari 3 juta ton. Untuk izin impor gula mentah, Kementerian Perindustrian akan membagikannya kepada perusahaan-perusahaan yang mendapatkannya.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen menilai, penurunan impor pada 2023 semu. ”Saya mempertanyakan data yang menjadi landasan pemerintah untuk mengimpor pada 2023. Selain itu, angka 2023 lebih rendah karena pemerintah sudah banyak mengimpor pada 2022.” ujarnya saat dihubungi Kamis (5/1/2023).
Jika stok awal 2023 sebanyak 2,3 juta ton ditambah produksi petani, mestinya tidak perlu impor.
Pada akhir 2022, katanya, tiba-tiba ada tambahan realisasi impor sebanyak 440.000 ton gula mentah yang diklaim untuk memperkuat stok. ”Siapa yang bisa menjamin hal itu tidak terjadi pada tahun ini?” ujarnya.
Berdasarkan data yang dihimpun, Soemitro berpendapat, stok akhir 2022 yang menjadi stok awal tahun ini berkisar 2,3 juta ton. Jumlah itu telah memperhitungkan perkiraan bocornya gula rafinasi sekitar 300.000 ton serta stok awal tahun, produksi gula dalam negeri, dan realisasi impor sepanjang 2022. Jika stok awal 2023 sebanyak 2,3 juta ton ditambah produksi petani, mestinya tidak perlu impor.
Selain itu, asumsi angka konsumsi GKP yang digunakan juga berbeda dengan pemerintah. Soemitro memperkirakan, konsumsi GKP berkisar 2,7 juta–2,8 juta ton. Oleh sebab itu, dia khawatir petani tebu nasional akan menghadapi situasi seperti tahun 2018. Saat itu, gula petani tertahan di gudang dan harga di tingkat produsen jatuh. ”Bagaimana kita mau swasembada gula kalau datanya tidak diluruskan antarpihak,” kata Soemitro.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Gula Indonesia Aris Toharisman memperkirakan, produksi GKP dari tebu dalam negeri pada 2023 naik menjadi 2,5 juta ton dari 2,4 juta ton pada 2022. Peningkatan produksi itu disebabkan oleh penambahan lahan seluas 5.000–10.000 hektar serta kenaikan rendeman karena musim kemarau yang lebih kering.
Lebih rendah
Kepala Badan Pangan Nasional (National Food Agency/NFA) Arief Prasetyo Adi menyatakan, terdapat penugasan impor GKP yang akan diberikan kepada badan usaha milik negara. Impor ditargetkan terealisasi sebelum bulan puasa (Ramadhan). Namun, Arief belum menyebutkan jumlahnya. ”Tunggu rapat koordinasi terbatas dalam waktu dekat,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (5/1/2023).
Pada akhir 2022, pemerintah meningkatkan harga acuan gula melalui Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 11 Tahun 2022 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Produsen dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen Komoditas Kedelai, Bawang Merah, Cabai Rawit Merah, Cabai Merah Keriting, Daging Sapi/Kerbau, dan Gula Konsumsi.
Jika dibandingkan dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen, harga acuan gula di tingkat petani meningkat dari Rp 9.100 per kilogram menjadi Rp 11.500 per kg. Harga di tingkat konsumen juga meningkat dari Rp 12.500 per kg menjadi Rp 14.500 per kg di wilayah timur Indonesia dan Rp 13.500 per kg di wilayah lain.
Menurut Soemitro, kenaikan harga acuan gula di tingkat petani sesuai Peraturan Badan Pangan Nasional No 11/2022 tersebut lebih rendah dibandingkan usulan APTRI yang senilai Rp 12.000 per kg-Rp 12.500 per kg. Harga acuan yang ditetapkan pemerintah belum mencakup inflasi serta kenaikan ongkos produksi seperti, pupuk, upah penebang, dan upah pengangkut.
Terkait harga acuan yang baru, Aris menilai angka itu sudah sesuai. Dia juga berharap, NFA dapat menyinergikan data neraca gula.