Selain menjamin kebutuhan konsumsi dan industri, rancangan peraturan baru mencantumkan percepatan swasembada gula untuk mengejar ketahanan energi. Aransemen ini diharapkan jadi komitmen baru membangun industri gula.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·4 menit baca
Draf peraturan presiden tentang percepatan swasembada gula mencantumkan klausul tentang penyediaan bioetanol berbahan tebu. Tak hanya untuk menjamin ketahanan pangan, memenuhi kebutuhan gula industri, serta mendorong perbaikan kesejahteraan petani tebu, percepatan swasembada gula dimaksudkan untuk mengejar ketahanan energi dan mendorong energi bersih melalui bahan bakar nabati.
Rancangan aturan itu mencantumkan cara menggapai swasembada gula, antara lain melalui peningkatan produktivitas tebu hingga 93 ton per hektar, perluasan kebun tebu hingga 700.000 hektar, peningkatan kesejahteraan petani, serta peningkatan efisiensi, utilisasi, dan kapasitas pabrik gula untuk meningkatkan rendemen hingga 11,2 persen.
Swasembada gula untuk kebutuhan konsumsi ditargetkan tercapai paling lambat pada akhir 2028, sementara untuk kebutuhan industri paling lambat akhir tahun 2030. Adapun produksi bioetanol dari tebu untuk bahan bakar nabati ditargetkan mencapai 1,2 juta kiloliter pada tahun 2030.
Seusai meninjau kebun tebu Temu Giring di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Jumat (4/11/2022), Presiden Joko Widodo menyatakan, pemerintah akan menyiapkan 700.000 hektar lahan tebu, bibit dengan varietas terbaik, dan memodernkan mesin giling pabrik gula. Pemerintah sekuat tenaga mempersiapkan kebutuhan lahan tebu, baik di Jawa maupun luar Jawa, sebab penyediaan lahan dinilai menjadi tantangan yang tidak mudah. (Kompas, 5/11/2022)
Ambisi pemerintah mempercepat pencapaian target swasembada gula digelorakan kembali di tengah ketidakpastian situasi global akhir-akhir ini. Pangan dan energi menjadi komoditas yang amat rentan bergejolak karena ketegangan geopolitik, perang, serta krisis iklim yang berdampak pada sisi suplai, perdagangan, maupun permintaan.
Terkait komoditas gula, Indonesia merupakan importir terbesar di dunia, yakni dengan volume mencapai 5,53 juta ton pada 2021/2022. Laporan Departemen Pertanian Amerika Serikat dalam “Gula: Pasar dan Perdagangan Dunia” (Mei 2022) menunjukkan, kendati fluktuatif, impor gula oleh Indonesia cenderung meningkat dan “konsisten” sebagai pengimpor terbesar setidaknya dalam kurun lima tahun terakhir.
Tantangan
Oleh karena itu, pemerintah menargetkan peningkatan produksi sejumlah komoditas pangan pokok di dalam negeri, termasuk gula, untuk meningkatkan ketahanan dan kemandirian pangan nasional. Namun, upaya mengejar target swasembada gula bukan perkara mudah. Selain tantangan teknis seperti penyediaan lahan, peningkatan mutu bibit, serta peningkatan efisiensi dan kapasitas pabrik, ada faktor lain yang amat krusial, yakni kebijakan yang konsisten mengembangkan hulu-hilir industri gula nasional serta komitmen untuk mengimplementasikannya.
Kegagalan sederet program dan target swasembada gula lima dekade terakhir patut jadi cermin. Merunut pemberitaan Kompas, target swasembada gula setidaknya pernah dicanangkan pemerintah pada tahun 1972, 1990, lalu 2002. Rezim berganti rezim. Namun, target swasembada belum terwujud. Selain itu, ketika satu program gagal tercapai, periode pemerintahan berikut mencanangkan target serupa dengan program baru.
Pada 2002, misalnya, pemerintah mencanangkan swasembada gula tahun 2007. Namun, target diundur menjadi 2008, kemudian direvisi menjadi tahun 2009 dan terbatas untuk gula konsumsi atau tidak termasuk gula untuk industri. Target itu tak tercapai, tetapi target serupa dicanangkan lagi pada kurun 2010-2020.
Selama ini, target swasembada gula tak ubahnya “gula-gula”, janji manis yang ditebar untuk memikat publik. Namun, kesungguhan mengejarnya kerap kabur. Regulasi berubah-ubah, seolah untuk mengubur kegagalan atau melegitimasi kesalahan sebelumnya. Sementara janji menyejahterakan petani tampak amat kurang. Soal harga pokok pembelian (HPP) gula petani, misalnya, kerap tertinggal oleh kenaikan ongkos produksi, sedangkan di hilir, harga eceran gula dibatasi sehingga menekan harga gula petani di hulu.
Regulasi tentang gula juga lemah dalam implementasinya. Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, sejatinya mengamanatkan usaha pengolahan hasil perkebunan untuk memenuhi sekurangnya 20 persen bahan baku dari kebun yang diusahakan sendiri.
Akan tetapi, bukannya jadi mandiri dengan bahan baku dari kebun sendiri, Indonesia masih bergantung pada bahan baku gula impor.
Ketentuan itu diperkuat dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 10 Tahun 2017 tentang Fasilitas Memperoleh Bahan Baku dalam Rangka Pembangunan Industri Gula. Demi memenuhi kebutuhan bahan baku, negara bahkan memberikan fasilitas impor gula mentah. Sejatinya, fasilitas itu terbatas 5-7 tahun dengan alokasi impor dikurangi bertahap, yakni 15-20 persen setiap tahun. Akan tetapi, bukannya jadi mandiri dengan bahan baku dari kebun sendiri, Indonesia masih bergantung pada bahan baku gula impor. Pembatasan secara bertahap itu tidak signifikan mendongkrak luas panen tebu serta mengurangi impor gula.
Kini, target swasembada dicanangkan kembali dengan regulasi yang dibuat dengan “aransemen” baru. Ada target ganda, yakni pangan sekaligus energi. Namun, sekali lagi, tanpa komitmen membangun industri dan menyejahterakan petani tebu di dalam negeri, lupakan saja target swasembada gula.