Regulasi sejatinya mengamanatkan industri gula untuk meningkatkan bahan baku dari kebun sendiri. Namun, alih-alih semakin mandiri, ketergantungan Indonesia terhadap gula impor justru semakin tinggi.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
Regulasi jelas mengamanatkan bahwa usaha pengolahan hasil perkebunan harus memenuhi sekurangnya 20 persen bahan baku dari kebun yang diusahakan sendiri. Pasal 45 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan secara gamblang menyebut persyaratan mendapatkan izin usaha tersebut.
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 10 Tahun 2017 tentang Fasilitas Memperoleh Bahan Baku dalam Rangka Pembangunan Industri Gula menguatkan ketentuan undang-undang. Perusahaan industri gula baru, yakni perusahaan yang mendapatkan izin usaha setelah 25 Mei 2010, wajib memenuhi paling sedikit 20 persen kebutuhan bahan baku dari perkebunan tebu yang terintegrasi.
Demi memenuhi kebutuhan bahan baku, negara bahkan memberikan fasilitas berupa impor gula mentah sebagai bahan baku untuk memproduksi gula rafinasi dan gula kristal putih atau gula konsumsi. Namun, fasilitas itu diberikan terbatas, yakni tujuh tahun bagi industri gula di Pulau Jawa dan lima tahun bagi industri gula di luar Pulau Jawa. Selama itu, alokasi impor gula mentah dikurangi bertahap, yakni 20 persen setiap tahun untuk pabrik di Pulau Jawa dan 15 persen per tahun untuk pabrik gula di luar Pulau Jawa.
Tahun 2021 merupakan tahun keempat sejak peraturan menteri itu terbit. Jika amanat undang-undang dan peraturan itu ditegakkan, semestinya kebutuhan impor gula semakin kecil, sementara luas kebun tebu terus bertambah. Namun, apa yang terjadi setelah beberapa tahun regulasi berjalan?
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR pada 1 Juli 2020, seorang pejabat di lingkungan Kementerian Pertanian menyebutkan, hanya 30 persen pabrik gula yang menjalankan kewajiban sesuai amanat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Pernyataan itu hanya menegaskan prasangka umum bahwa tidak banyak perusahaan industri gula yang serius mengembangkan usaha di hulu guna mengejar kemandirian.
Oleh karena itu, ketika pemerintah menerbitkan regulasi baru yang memberi kelonggaran impor gula mentah, sebagian pihak berprasangka bahwa aturan baru hanya menjadi alasan menutup kekurangan tersebut. Aturan itu adalah Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 3 Tahun 2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Gula dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional, membolehkan industri gula berbasis tebu untuk impor gula mentah untuk menghasilkan gula konsumsi.
Kekhawatiran sejumlah kalangan soal kian tingginya ketergantungan Indonesia terhadap gula impor cukup beralasan. Sebab, alih-alih makin mandiri, segenap regulasi dan kemudahan yang diberikan pemerintah untuk pelaku industri tidak mendongkrak produksi gula. Impor gula nasional justru cenderung bertambah dari tahun ke tahun. Gap antara produksi dan konsumsi gula nasional pun semakin lebar sejak tahun 1992. Artinya, importasi mesti semakin besar untuk menutupi kebutuhan yang semakin tinggi. Volume impor gula melonjak dari 983.944 ton tahun 2008 menjadi 5,62 juta ton tahun 2020.
Fenomena perebutan bahan baku tebu petani, masa giling di sebagian pabrik gula yang semakin pendek, serta tutupnya sebagian pabrik gula menjadi alarm lain soal gentingnya situasi pergulaan nasional. Ironi masih saja melingkupi kegentingan itu.
Awal tahun ini, ketika puluhan ribu ton gula petani hasil giling tahun lalu masih menumpuk dan belum terserap pasar, realisasi impor gula justru berlipat. Nilai impor gula sepanjang Januari-Februari 2021 mencapai 481,7 juta dollar AS atau naik 99,38 persen dibandingkan nilai impor gula pada periode yang sama tahun 2020.
Petani yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) dalam rapat kerja nasional, Jumat (9/4/2021), menyoroti situasi itu dan mengingatkan pemerintah bahwa situasi pergulaan nasional memasuki fase yang semakin kritis. Mereka berharap pemerintah memberi perhatian khusus kepada petani tebu.
Ada sejumlah keputusan yang dihasilkan rapat itu, antara lain, petani berharap pemerintah merevisi harga pokok pembelian (HPP) gula petani yang belum berubah sejak 2016, yakni Rp 9.100 per kilogram (kg). Petani usul HPP dinaikkan jadi Rp 11.500 per kg dengan mempertimbangkan biaya pokok produksi yang terus meningkat. Mereka mengirim sinyal soal bagaimana mengurai problem pergulaan nasional, yakni dengan terlebih dulu memberi perhatian pada kesejahteraan petani tebu.