Kegaduhan terkait impor pangan akhir-akhir ini bisa jadi merupakan buah perdana dari benih yang disemai Undang-Undang Cipta Kerja. Impor sesuai aturan ini adalah sumber yang setara dengan pangan produksi petani domestik.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·4 menit baca
Kegaduhan terkait impor beras, garam, dan gula belakangan ini barangkali merupakan buah perdana dari benih yang disemai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Menurut regulasi ”sapu jagat” ini, pangan impor memiliki posisi yang setara, sama dengan hasil produksi petani, nelayan, pembudidaya ikan, peternak, serta pelaku usaha pangan mikro dan kecil di dalam negeri.
Sebaliknya, hasil panen produsen pangan dalam negeri tak lagi istimewa. Sebab, Undang-Undang (UU) Cipta Kerja mengubah dan menghapus norma yang amat berharga bagi mereka, yakni prioritas produksi dalam negeri sebagai sumber pangan. Regulasi yang diundangkan pada 2 November 2020 ini merevisi ketentuan umum tentang ketersediaan pangan sebagaimana diatur dalam UU No 18/2012 tentang Pangan.
Awalnya, ketersediaan pangan didefinisikan sebagai kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional serta impor apabila kedua sumber utama itu tidak dapat memenuhi kebutuhan. Namun, definisinya diubah menjadi kondisi tersedianya pangan dari produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan.
Alasan pemerintah dan DPR mengubah norma tersebut adalah memenuhi tuntutan perjanjian tentang pertanian (agreement on agriculture) Organisasi Perdagangan Dunia (Kompas, 8/10/2020). Dokumen WTO menggolongkan tuntutan-tuntutan ke Indonesia dalam 18 garis besar kebijakan. Dari 18 garis besar itu, kebijakan ke-18 menjadi tuntutan terakhir yang dikabulkan Indonesia, yakni menyangkut kecukupan produksi dalam negeri untuk memenuhi permintaan domestik.
Setelah polemik beras, gula, dan garam di awal tahun ini, sejumlah komoditas pangan lainnya berpotensi mengalami nasib serupa. Gejolak dan polemik bisa terjadi lagi. Impor tetap jalan meski produksi lokal mencukupi kebutuhan dan bahkan surplus. Sebab, tak hanya ketentuan umum tentang ketersediaan pangan di No UU 18/2021, UU Cipta Kerja juga menganulir pasal-pasal ”pelindung” produsen pangan dalam negeri dalam sejumlah UU, terutama terkait syarat dan ketentuan impor yang menjadi semakin longgar.
Di sektor peternakan, misalnya, amanat Pasal 36B Ayat (1) UU No 14/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang mensyaratkan pemasukan ternak dan produk hewan dari luar negeri bisa ditempuh jika produksi dan pasokan di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat. Namun, ketentuan itu tak berlaku lagi menurut UU Cipta Kerja.
Syarat pemasukan ternak dalam wujud bakalan pun diubah tanpa syarat sehingga cakupan impor jadi lebih luas. Akibatnya, kesempatan mendapat nilai tambah melalui usaha penggemukan dan pembesaran ternak di dalam negeri jadi hilang atau berkurang.
Pada Pasal 64 Ayat (2) UU Cipta Kerja, pasal yang mengubah beberapa norma UU No 18/2012 tentang Pangan, memang menyebut bahwa penyediaan pangan memperhatikan kepentingan petani, nelayan, pembudidaya ikan, dan pelaku usaha pangan mikro dan kecil melalui kebijakan tarif dan nontarif. Pada ayat selanjutnya, pemerintah diamanatkan menetapkan kebijakan dan peraturan impor pangan dalam rangka keberlanjutan usaha tani dan peningkatan kesejahteraan pelaku usaha pangan dalam negeri.
Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No 26/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian sebagai salah satu produk hukum turunan UU Cipta Kerja. Namun, ketentuan tentang bagaimana pemerintah memperhatikan kepentingan petani, nelayan, pembudidaya ikan, dan pelaku usaha pangan mikro dan kecil belum diatur secara jelas. Demikian pula soal bagaimana kebijakan tarif dan nontarif diterapkan guna mengakomodasi kepentingan petani.
Ada beberapa norma yang kontrakdiktif dan perlu penjelasan rinci. Kontradiksi itu antara lain terkait amanat memperhatikan kepentingan petani, keberlanjutan usaha tani, dan kesejahteraan petani yang diharapkan sejalan dengan kebijakan impor. Sebab, selama 75 tahun Indonesia merdeka, impor justru berulang menyuguhkan dampak sebaliknya. Bukannya makin sejahtera atau usahanya berkelanjutan, petani justru kerap dipaksa ”tiarap” karena hasil panennya tak terserap pasar atau harganya anjlok karena gempuran pangan impor.
Peningkatan impor garam dan gula awal tahun ini, di tengah tumpukan stok garam dan gula hasil panen petani dan petambak rakyat tahun lalu, barangkali merupakan pengulangan kisah lama. Ironi yang turun-temurun. Namun, regulasi baru membuatnya berbeda kali ini. Impor pangan merupakan amanat UU Cipta Kerja. Pemerintah sedang menjalankan amanat itu.