Para petani tebu, padi, dan petambak garam berkeberatan dengan rencana pemerintah mengimpor gula, beras, dan garam. Selain volume yang berlebihan, impor diyakini bakal menekan harga jual dan motivasi untuk berproduksi.
Oleh
M Paschalia Judith J
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana mengimpor sejumlah komoditas pangan dengan alasan memenuhi kebutuhan masyarakat dan mengamankan stok cadangan. Para produsen pangan dalam negeri berkeberatan dengan rencana itu karena diyakini bakal berdampak pada anjloknya harga di tingkat petani. Selain itu, produksi dalam negeri dinilai masih bisa diandalkan untuk menyokong kebutuhan.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) M Nur Khabsyin menyatakan, berdasarkan informasi yang dia peroleh, rencana impor gula mentah (raw sugar) untuk memproduksi gula konsumsi sepanjang Januari-Mei 2021 akan mencapai 646.944 ton, sementara impor gula kristal putih atau gula konsumsi sekitar 150.000 ton. ”Mengingat stok awal tahun 2021 sekitar 800.000 ton, jumlah (impor) itu terlalu banyak,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (11/3/2021).
Dia memperkirakan, kebutuhan gula sepanjang Januari-Mei 2021 sekitar 200.000 ton per bulan. Musim giling tebu tahun ini diprediksi mulai awal Juni, sementara proses penggilingan hingga menjadi gula konsumsi memakan waktu dua minggu. Artinya, stok awal tahun 2021 cukup untuk memenuhi kebutuhan selama empat bulan pertama. Volume impor semestinya hanya sekitar 300.000 ton untuk pemenuhan kebutuhan Mei hingga pertengahan Juni 2021.
Impor gula yang terlalu banyak itu dapat memukul harga di tingkat petani tebu, terutama saat musim giling nanti. ”Pada saat awal musim giling, gula impor yang beredar masih banyak. Akibatnya, gula (hasil produksi) petani tebu dalam negeri mesti bersaing dengan gula impor yang lebih murah,” katanya.
Pemerintah juga berencana mengimpor beras 1 juta ton tahun 2021 melalui Perum Bulog. ”Kami meminta pemerintah meninjau dan mengkaji ulang kebijakan impor beras karena dapat menekan harga jual hasil panen petani serta membuat mental petani akan tertekan karena merasa kurang dihargai jerih payahnya selama ini,” kata Sekretaris Jenderal Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) M Yadi Sofyan Noor dalam keterangan pers, Senin.
Selain anjloknya harga di tingkat petani, dia juga menggarisbawahi potensi kenaikan produksi beras sebesar 26,87 persen sepanjang Januari-April 2021 dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya.
Dia mengemukakan, sejumlah wilayah telah memasuki masa panen, seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Gorontalo, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimatan Selatan.
Gerus kedaulatan
Melalui pernyataan bersama, Ketua Umum Gerakan Petani Nusantara Suryo Wiyono dan Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan Said Abdullah meminta pemerintah menghentikan rencana impor. Keduanya menilai, ketergantungan pada impor dan produsen luar negeri menggerus derajat ketahanan dan kedaulatan pangan Indonesia.
Pilihan impor beras juga tidak mencerminkan situasi produksi dalam negeri saat ini. Di sisi lain, petani membutuhkan kepastian harga lantaran harga gabah berada pada rentang Rp 3.800-Rp 4.000 per kilogram (kg) kering panen (GKP) atau di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) yang ditetapkan Rp 4.200 per kg GKP.
Sayangnya, posisi petani makin terimpit di sisi regulasi. Sebab, Pasal 64 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menyebutkan, ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan. Padahal, UU No 18/2012 tentang Pangan menyatakan, impor ditempuh jika produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional tidak mencukupi kebutuhan.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih juga menyayangkan rencana impor beras lantaran bakal semakin menekan petani yang tengah menghadapi merosotnya harga gabah. Dia menilai, rencana impor beras menunjukkan belum selesainya masalah sinkronisasi dan koordinasi yang berkaitan dengan kelembagaan pengelolaan pangan di Indonesia.
Selain petani padi dan tebu, penolakan juga disampaikan para petambak garam soal rencana impor garam tahun ini. Peningkatan impor garam tahun ini diprediksi membuat petambak garam semakin tidak bersemangat untuk berproduksi. Stok garam rakyat masih berlimpah karena sisa produksi tahun lalu belum terserap.
Menurut Ketua Himpunan Masyarakat Petani Garam Jawa Timur Muhammad Hasan, harga garam yang anjlok pada musim panen tahun 2020 telah menghancurkan semangat petambak untuk kembali berproduksi. Harga garam pada kisaran Rp 300-Rp 350 per kilogram di tingkat petambak, sedangkan harga garam di tingkat perusahaan rata-rata Rp 600 per kg. Padahal, ongkos produksi berkisar Rp 450-Rp 550 per kg.
Kondisi harga yang anjlok itu diperburuk dengan rendahnya penyerapan garam oleh industri pengolahan. Ada indikasi perusahaan enggan melakukan penyerapan garam rakyat karena membanjirnya garam impor untuk stok perusahaan. Akibatnya, sebagian petambak terpaksa menyimpan hasil panen karena harga jual anjlok.
Sekretaris Perusahaan Perum Bulog Awaludin Iqbal menyatakan, saat ini sejumlah sentra produksi menjadi andalan penyerapan beras, misalnya Aceh, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pada awal 5 Maret 2021, serapan Perum Bulog baru mencapai 40.040 ton dan per Rabu (10/3/2021) telah menyentuh 54.073 ton. ”Kualitas beras menjadi tantangan karena banjir dan hujan sehingga kadar airnya tinggi,” ujarnya.
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah untuk Gabah atau Beras menyebutkan, kandungan air gabah kering panen dalam negeri yang dibeli paling tinggi 25 persen dan kadar hampa/kotoran maksimal 10 persen. Harga gabah dengan kualitas itu ditetapkan Rp 4.200 per kg di tingkat petani.
Menyikapi tantangan tersebut, kata Awaludin, Perum Bulog mengandalkan mesin pengering dan penggilingan jaringan mitra perusahaan serta mesin unit-unit pengolahan gabah dan beras yang dikelola perseroan. Unit-unit Perum Bulog tersebut memiliki sekitar 100 mesin pengolahan yang sudah memiliki fungsi penggilingan dan pengeringan dengan kapasitas 10.000 ton per hari.