Draf regulasi percepatan swasembada gula memicu diskusi publik, khususnya terkait produksi bioetanol. Alih-alih untuk energi, Indonesia masih mengimpor gula untuk konsumsi dan industri.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·4 menit baca
Berharap dapat meniru cara Brasil mengolah tebu menjadi gula dan bioetanol, pemerintah menyiapkan regulasi tentang percepatan swasembada gula dan penyediaan bioetanol sebagai bahan bakar nabati. Namun, urgensinya menuai diskusi publik. Sebab, selama ini Indonesia kepayahan mengejar target swasembada dan menjadi pengimpor gula dalam jumlah yang tidak sedikit.
Regulasi itu akan dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati. Selain menjamin ketahanan pangan, target swasembada gula itu untuk menjamin ketersediaan bahan baku dan bahan penolong industri, mendorong perbaikan kesejahteraan petani tebu, dan meningkatkan ketahanan energi.
Target itu menuai diskusi. Sebab, selama ini pemerintah kepayahan mewujudkan target swasembada gula. Kendati telah berulang menjadi ambisi pemerintah, bahkan sejak tahun 1970-an, target swasembada gula belum benar-benar terwujud. Pada 2002, misalnya, pemerintah mencanangkan swasembada gula pada tahun 2007, lalu diundur jadi 2008, kemudian direvisi jadi 2009 dan hanya untuk gula konsumsi masyarakat, tak termasuk gula untuk industri.
Selama kurun 2010-2020, target mengejar swasembada gula belum reda. Namun, upaya mewujudkannya tidak semudah mengalkulasi produksi di atas kertas. Kini, mimpi itu muncul lagi. Tak hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan industri, target swasembada gula juga untuk memproduksi bioetanol.
Salah satu negara yang memanfaatkan tebu untuk produksi gula dan bioetanol adalah Brasil. Penelitian berjudul ”The Politics of Sugarcane Flexing in Brazil and Beyond” yang ditulis Ben McKay, Sérgio Sauer, Ben Richardson, dan Roman Herre menyebutkan, kebijakan lentur (flexing policy) yang diterapkan Brasil memberi ruang bagi Brasil mengatur proporsi produksi gula dan bioetanol melalui proses ekstraksi sukrosa dari larutan gula hasil penghancuran tebu. Semakin sedikit sukrosa yang diekstrak, molase yang dihasilkan makin tinggi.
Menurut pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, Brasil dapat menerapkan kebijakan itu karena penentuan porsi untuk bioetanol dan gula bergantung pada harga kedua komoditas tersebut di pasar internasional. ”Dampaknya, nilai ekonominya dapat optimal,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (4/11/2022).
Artikel Layanan Riset Ekonomi Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) mencatat, pada periode 2017/2018, harga gula di pasar dunia anjlok. Guna menyiasati pendapatan yang turun dari produksi dan ekspor gula, Brasil meningkatkan produksi etanol dari tebu. Pada periode berikutnya, Brasil hanya mengolah sepertiga tebu di wilayah tengah-selatan untuk gula, sedangkan sisanya untuk etanol.
Di Indonesia, Khudori mempertanyakan minat masyarakat dalam menggunakan bioetanol. Agar kontinuitas penggunaannya terjaga, pemerintah mesti menjaga harganya agar kompetitif atau lebih murah jika dibandingkan bahan bakar konvensional yang fluktuaktif di pasar global. Berkaca dari kebijakan biodiesel, pemerintah mengeluarkan subsidi dari dana yang dihimpun Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit agar harga biosolar dapat kompetitif.
Secara garis besar, Khudori menggarisbawahi efektivitas dan konsistensi pemerintah dalam melaksanakan rancangan perpres tersebut. Dia menilai, pemerintah sudah menyusun sejumlah regulasi setingkat peraturan menteri untuk mengatur tebu dan gula nasional, baik untuk konsumsi masyarakat maupun industri.
Salah satunya Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 10 Tahun 2017 tentang Fasilitas Memperoleh Bahan Baku Dalam Rangka Pembangunan Industri Gula. Dalam regulasi itu, perusahaan industri gula baru maupun yang menambah kapasitas produksi wajib terintegrasi dengan perkebunan tebu sekaligus berhak mendapatkan fasilitas impor.
Dalam jangka waktu tertentu, industri-industri itu harus meningkatkan pemanfaatan tebu dalam negeri seiring dengan turunnya alokasi impor yang diberikan pemerintah. Sayangnya, tujuan itu belum terwujud. Impor justru naik. Volume impor gula melonjak dari 983.944 ton tahun 2008 jadi 5,45 juta ton tahun 2021.
Menurut Khudori, ketimbang menyusun aturan baru, pemerintah sebaiknya mengevaluasi pelaksanaan permenperin yang telah berlaku lima tahun tersebut. ”Efektivitas permenperin itu mesti dikaji, misalnya, keterkaitan perluasan lahan baru dengan investasi pabrik gula selama ini,” ujarnya.
Selain itu, dokumen rancangan perpres tersebut juga menyebutkan fasilitas impor, khususnya bagi PT Perkebunan Nusantara III (Persero) yang ditugaskan secara spesifik untuk mempercepat swasembada gula. Fasilitas itu berupa alokasi impor gula kristal putih atau gula kristal mentah.
Oleh sebab itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen mencurigai rancangan perpres tersebut memberikan keleluasaan untuk mengimpor gula. ”Prosesnya (penyusunan rancangan perpres) yang terburu-buru menimbulkan dugaan adanya kepentingan yang tidak ditampakkan,” katanya.
Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud mengonfirmasi adanya konsultasi publik terhadap rancangan perpres itu. Namun, saat dikonfirmasi terkait draf lain prepres, dia dan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso tidak merespons.
Alih-alih mengejar sederet target ambisius tersebut, pemerintah dinilai perlu mengevaluasi kegagalan program swasembada gula selama ini.