Indonesia masih jauh dari ”lubang” krisis pangan. Stok pangan pokok masih tersedia. Namun, hati-hati, inflasi dan garis kemiskinan sudah meningkat. Akankah ”lunchflation” sudah mulai melanda Indonesia?
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
ARSIP ARI SUCI RAHAYU
Kotak makan kayu tiga sekat yang diproduksi Gendhis Goods
Harga sekotak makan siang di Korea Selatan naik 23 persen per Juni 2022. Saat ini, harga menu termurahnya 3.200 won atau sekitar 2,44 dollar AS. Hal itu membuat sebagian besar pekerja di Korea Selatan memilih membawa bekal makan ketimbang jajan di sekitar perkantoran.
Badan Konsumen Korea menyebutkan harga rata-rata nasional makanan di tingkat konsumen melonjak 6 persen secara tahunan sejak Juni 2022. Di Seoul, harga rata-rata jajangmyeon naik 10 persen, naengmyeon 5,5 persen, dan gimbap 7,8 persen dibandingkan Desember 2021 (The Korea Herald, 26/7/2022). Adapun Bank Korea memperkirakan setiap kenaikan harga produk pertanian impor sebesar 1 persen akan membuat harga makanan olahan naik 0,36 persen pada tahun depan.
Di Australia, harga rata-rata secangkir kopi susu di kafe-kafe naik 30 sen sejak beberapa bulan lalu. Harga kopi susu takaran cangkir reguler dan besar sekarang masing-masing seharga 4,30 dollar AS dan 5,30 dollar AS. The New Daily menyebutkan, kenaikan harga itu disebabkan oleh kenaikan harga susu sebesar 60 sen per liter.
Di wilayah perkotaan Amerika Serikat, harga makanan di luar rumah meningkat 7,7 persen. Biro Statistik Tenaga Kerja Amerika Serikat merilis, per Juni 2022, Indeks Harga Konsumen di wilayah perkotaan meningkat 9,1 persen secara tahunan, tertinggi sejak November 1981.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Pekerja mengambil gorengan yang dijual pedagang makanan keliling di dekat proyek pembangunan di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Kamis (12/5/2022).
Potret kenaikan harga makanan itu terpatri dalam frasa buatan yang tengah populer digunakan di sejumlah negara, yakni lunchflation (lunch dan inflation). Frasa itu yang menggambarkan inflasi atau kenaikan harga sekotak atau seporsi makan siang yang menggerus daya beli masyarakat tengah melanda sejumlah negara. The Spoon, media Amerika Serikat yang menyajikan reportase harian serta wawasan tentang makanan dan revolusi teknologi pangan, sampai-sampai menelurkan sebuah artikel menggelitik menyangkut produk kotak makan siang.
”Bagi Anda yang bekerja di luar rumah (dan tidak disediakan makanan gratis dan lezat oleh tempat kerja), Anda mungkin mencoba mencari cara untuk melawan masalah lunchflation yang tiba-tiba sangat nyata. Cara termudah dan paling jelas adalah mengemas makan siang Anda sendiri menggunakan kotak makan,” sebut The Spoon dalam artikelnya ”Here Are Four Tech-Powered Lunchboxes That Might Help You Fight Lunchflation” pada 13 Juni 2022.
Lunchflation menggambarkan inflasi atau kenaikan harga sekotak atau seporsi makan siang yang menggerus daya beli masyarakat tengah melanda sejumlah negara.
Lunchflation ini merupakan imbas dari transmisi kenaikan harga pangan global yang berlangsung sejak periode awal pandemi Covid-19. Penguncian wilayah untuk menekan penularan Covid-19 di negara-negara produsen pangan membuat rantai pasok pangan terganggu. Gangguan distribusi juga menyebabkan biaya logistik melonjak tinggi dan berpengaruh terhadap harga pangan.
Sepanjang dua tahun pandemi Covid-19, anomali cuaca di sejumlah negara produsen pangan terjadi silih berganti. Banjir, kekeringan, embun beku, hingga gelombang panas mengurangi hasil panenan. Hal itu diperparah dengan invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022 yang diikuti dengan restriksi pangan oleh negara-negara produsen pangan.
Harga komoditas pangan yang semula diperkirakan turun pada 2022 justru semakin melambung. Harga energi juga melonjak tinggi sehingga berbuntut pada kenaikan harga bahan bakar minyak, gas, dan listrik. Lonjakan harga pangan dan energi itu tak hanya mengerek kenaikan biaya produksi, melainkan juga laju inflasi.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi, perdagangan, dan inflasi dalam laporan terbaru Dana Moneter Internasional (IMF) tentang World Economic Outlook Update: Gloomy and More Uncertain yang dirilis pada 26 Juli 2022.
Dalam laporan terbarunya ”Gloomy and More Uncertain” yang dirilis pada 26 Juli 2022, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan, inflasi di negara-negara maju pada tahun ini mencapai 6,6 persen dan negara-negara berkembang 9,5 persen. IMF merevisi naik inflasi setiap negara maju dan berkembang masing-masing 0,9 persen dan 0,8 persen.
Krisis biaya hidup
Indonesia juga mengalami imbas serupa. Di tengah belum pulihnya daya beli, masyarakat harus membayar mahal minyak goreng, membeli tempe yang ukurannya mengecil, dan menikmati mi instan yang porsinya berkurang dan harganya naik. Harga nasi goreng dan menu makanan lain juga mulai naik tipis di sejumlah warung makan sekitar perkantoran, bahkan pedagang kaki lima.
Kenaikan harga pangan dan energi tersebut mulai membawa efek lanjutan, yaitu krisis biaya hidup. Lembaga Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Bidang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) menyebutkan, setiap kenaikan 10 persen harga pangan akan menurunkan 5 persen pendapatan keluarga.
UNCTAD juga melaporkan, negara-negara yang memiliki utang besar sudah mulai terpapar krisis itu. Bahkan, penduduk miskin negara tersebut rentan jatuh ke ”lubang” yang lebih dalam, yakni kelaparan. Negara-negara tersebut berada di kawasan Afrika Sub-Sahara, Timur Tengah, Afrika Utara, Eropa Timur, Asia Tengah, Asia Selatan, Asia Timur, Amerika Latin, dan Karibia.
Perkembangan inflasi dan indeks harga konsumen Juni 2022. Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Indonesia masih jauh dari ”lubang” krisis pangan itu. Stok pangan pokok masih tersedia. Kendati begitu, inflasi dan garis kemiskinan sudah meningkat. Tingkat inflasi tahunan Indonesia per Juni 2022 sudah mencapai 4,35 persen atau di atas sasaran inflasi Bank Indonesia yang sebesar 2-4 persen.
Indonesia masih jauh dari ”lubang ” krisis pangan itu. Stok pangan pokok masih tersedia. Kendati begitu, inflasi dan garis kemiskinan sudah meningkat.
Di tengah daya beli yang belum sepenuhnya pulih, garis kemiskinan atau tingkat minimum pendapatan yang perlu dipenuhi untuk memperoleh standar hidup yang mencukupi, per Maret 2022, meningkat 3,97 persen menjadi Rp 505.469 per kapita per bulan dari September 2021. Makanan berkontribusi paling besar terhadap garis kemiskinan itu, yakni sebesar 74,08 persen atau Rp 374.455 per kapita per bulan.
Kini, setiap negara berharap perang Rusia-Ukraina segera usai. Sejumlah ekonom dan lembaga dunia juga memperkirakan era harga tinggi komoditas akan berakhir. Harga komoditas akan berangsur-angsur turun dan membentuk harga kesimbangan baru pada 2023-2024 yang lebih tinggi dari tahun 2019 atau periode sebelum pandemi.
Namun, jika hal itu benar terjadi, apakah harga produk makanan olahan yang sudah naik akan turut menyesuaikan? Atau mungkin masyarakat terpaksa harus membiasakan diri dengan lunchflation? Hal itu akan terjawab oleh sekotak makan siang dan seporsi makanan.