Kuasa pasar untuk mengendalikan stok dan harga masih kuat. Sejumlah oknum tetap bisa ambil untung dengan berbagai alasan dan cara. Jika terus terjadi dan gagal dikendalikan, mereka yang ”buntung” akan terus kena pentung.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
Pendapatan masyarakat menengah ke bawah masih belum benar-benar pulih. Pemutusan hubungan kerja juga tengah marak. Mendapatkan pekerjaan juga susah. Namun, untuk mendapatkan pangan pokok dengan harga terjangkau, mereka yang tengah ”buntung” kok justru ”dipentung”.
Beli beras medium harganya masih mahal. Padahal, pemerintah melalui Perum Bulog sudah mendatangkan 470.000 ton beras impor dari total kuota impor 500.000 ton. Kendati sebagian beras impor itu telah didistribusikan, harga beras medium masih relatif mahal.
Beli minyak goreng, termasuk Minyakita yang merupakan ”senjata” pemerintah meredam harga minyak goreng, juga mahal. Padahal, kebijakan kewajiban memasok kebutuhan pasar domestik (DMO) minyak sawit mentah dan tiga produk turunannya masih berlaku. Selain itu, rasio pengali ekspor atas realiasi DMO itu juga sudah diturunkan dari 1:9 menjadi 1:6 akhir tahun lalu.
Berdasarkan Sistem Informasi Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan, harga rata-rata nasional beras medium per 10 Februari 2023 mencapai Rp 11.700 per kilogram. Harga beras medium itu naik 3,54 persen secara bulanan dan 12,5 persen secara tahunan. Harganya masih di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah berdasarkan wilayah, yakni Rp 9.450-Rp 10.250 per kg.
Adapun harga rata-rata nasional Minyakita yang mencapai titik tertinggi Rp 15.300 per liter kini turun tipis menjadi Rp 15.200 per liter. Harga minyak goreng itu masih jauh di atas HET, yakni Rp 14.000 per liter.
Konon katanya kenaikan harga beras dan Minyakita itu adalah persoalan hukum dasar ekonomi, penawaran dan permintaan. Namun, ada faktor lain yang menyebabkan harga kedua komoditas itu naik meski pemerintah sudah mengintervensi pasokan dan harga. Hal itu mulai dari masih terjadi penumpukan stok Minyakita yang belum didistribusikan, penurunan produksi, hingga aksi ambil untung.
Dalam konteks beras, Satuan Tugas Pangan Kepolisian Daerah Banten menangkap tujuh tersangka yang diduga mengoplos beras Bulog, termasuk beras impor, sebanyak 350 ton, pada 10 Februari 2023. Mereka membeli beras Bulog seharga Rp 8.300 per kg kemudian mencampur dengan beras lain dan menjualnya seharga Rp 11.800-Rp 12.000 per kg (Kompas, 11/2/2023).
Bulog juga mengungkapkan ada indikasi penyelundupan beras Bulog ke Timor Leste melalui Kabupaten Belu, Atambua, Nusa Tenggara Timur. Beras yang akan digunakan untuk menstabilkan harga beras di dalam negeri itu akan dijual di Timor Leste seharga Rp 20.000 per kg.
Ada faktor lain yang menyebabkan harga kedua komoditas itu naik meski pemerintah sudah mengintervensi pasokan dan harga. Hal itu mulai dari masih terjadi penumpukan stok Minyakita yang belum didistribusikan, penurunan produksi, hingga aksi ambil untung.
Terkait Minyakita, pada 7 Februari 2023, Kemendag menjumpai 515 ton stok Minyakita yang diproduksi pada Desember 2022 masih menumpuk di Kawasan Berikat Nusantara Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. Stok tersebut belum didistribusikan lantaran belum mendapatkan DMO.
Dua hari setelah itu, Satgas Polda Jawa Tengah menemukan 15,5 ton atau 19.548 liter Minyakita di gudang sebuah toko di Kendal. Toko tersebut menahan dan membatasi penjualan Minyakita sedikit demi sedikit, serta menjualnya seharga Rp 15.400 per liter (Kompas, 9/2/2023).
Dari sisi DMO, kepatuhan eksportir merealisasikan kewajiban itu juga terus turun selama tiga bulan terakhir. Kemendag mencatat, realisasi DMO pada November 2022 mencapai 100,94 persen dari target pemenuhan 300.000 ton per bulan. Kemudian pada Desember 2022 dan Januari 2023 realisasinya turun masing-masing menjadi 86,31 persen dan 71,81 persen.
Ini terjadi lantaran pasar ekspor utama CPO tengah lesu. Hal itu terindikasi dari hak ekspor CPO dan tiga produk turunannya yang menumpuk sebanyak 6,17 juta ton sejak November 2022 hingga Januari 2023. Produsen juga mulai mengurangi produksi Minyakita lantaran harus menanggung kerugian Rp 2.000-Rp 6.000 per liter dari sisi biaya produksi dan distribusi. Sebelumnya, kerugian itu dapat dikompensasi dari ekspor.
Selain itu, ada peralihan pola konsumsi sebagian masyarakat menengah ke atas dari minyak goreng premium ke Minyakita. Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menyebutkan, hal itu menyebabkan permintaan dan produksi minyak goreng premium turun. Jumlah produksi minyak goreng premium pada 2021 yang sebanyak 1,22 juta ton menurun menjadi 1 juta ton pada 2022.
Untuk meredam kenaikan harga beras dan Minyakita, pemerintah pusat dan daerah terus menggelar operasi pasar. Operasi pasar beras masih menggunakan cara-cara umum, seperti menjual beras Bulog seharga Rp 8.300 per kg melalui pedagang besar di pasar induk dan ritel modern, serta menggelar pasar murah di sejumlah daerah.
Sementara terkait minyak goreng untuk rakyat, pemerintah memperketat kebijakan. DMO dalam bentuk minyak goreng dinaikkan 50 persen dari 300.000 ton per bulan menjadi 450.000 ton per bulan selama Februari-April 2023. Selama tiga bulan tersebut, pemerintah juga membekukan 66 persen hak ekspor CPO dan tiga produk turunannya.
Pemerintah juga membatasi penjualan minyak goreng curah 10 kg per orang per hari dan Minyakita 2 liter per orang per hari. Pemerintah melarang memperdagangkan Minyakita secara daring atau boleh dijual di pasar rakyat. Penjualan Minyakita secara paketan dengan produk lain (bundling) juga dilarang.
Kuasa pasar untuk mengendalikan stok dan harga masih kuat. Sejumlah oknum tetap bisa ambil untung dengan berbagai alasan dan cara. Jika hal ini terus terjadi dan pemerintah gagal dapat mengendalikan, mereka yang ’buntung’ akan terus kena pentung.
Selain itu, pemerintah mendadak berupaya merealisasikan cadangan minyak goreng pemerintah (CMGP) melalui Bulog dan ID Food sebanyak 29 juta liter per bulan. Dari jumlah total itu, ID Food akan mendapatkan penyaluran 22 juta liter dan Bulog 7 juta liter.
Satgas Pangan telah turun gunung. Berbagai kebijakan silih berganti digulirkan dan diperkuat. Namun, kuasa pasar untuk mengendalikan stok dan harga juga masih kuat. Sejumlah oknum tetap bisa ambil untung dengan berbagai alasan dan cara. Jika hal ini terus terjadi dan pemerintah gagal mengendalikan, mereka yang ”buntung” akan terus kena pentung.