Hampir semua provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi nasional memiliki tingkat rata-rata upah serta standar upah minimum yang rendah.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Anak-anak bermain di Kali Ciliwung dengan latar belakang hunian padat penduduk di kawasan Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur, Senin (16/1/2023). Badan Pusat Statistik mencatat tingkat kemiskinan September 2022 sebesar 9,57 persen atau lebih tinggi dari Maret 2022 yang 9,54 persen. Sejumlah faktor turut memengaruhi kondisi itu, termasuk peningkatan inflasi sebagai dampak kenaikan harga bahan bakar minyak.
JAKARTA, KOMPAS — Rendahnya tingkat upah dan pendapatan masyarakat ditengarai ikut mendorong angka kemiskinan di tengah inflasi tahun 2022. Sejalan dengan penyaluran bantuan sosial, penciptaan lapangan kerja yang layak serta perbaikan standar pengupahan dibutuhkan untuk memperkuat daya beli masyarakat dalam menyambut ketidakpastian ekonomi ke depan.
Persandingan data Profil Kemiskinan di Indonesia per September 2022 dan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) per Agustus 2022 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, hampir semua provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi memiliki tingkat rata-rata upah serta standar upah minimum yang rendah.
Ada total 16 provinsi yang memiliki tingkat kemiskinan dua digit di atas rata-rata persentase kemiskinan nasional 9,57 persen. Dari jumlah tersebut, sebanyak 14 provinsi mempunyai tingkat upah di bawah rata-rata nasional (Rp 3,07 juta per bulan). Sebagian besar juga merupakan daerah dengan standar upah minimum provinsi (UMP) paling rendah se-Indonesia.
Sebagai contoh, Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi ketiga (20,23 persen) memiliki rata-rata upah paling rendah secara nasional, yaitu Rp 2,1 juta per bulan. NTT juga merupakan provinsi dengan standar UMP paling rendah kelima sebesar Rp 1,97 juta per bulan.
Demikian pula, DI Yogyakarta selaku provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Jawa dan tertinggi ke-12 secara nasional (11,49 persen) memiliki rata-rata upah terendah ketujuh sebesar Rp 2,46 juta. Yogyakarta juga memiliki standar UMP paling rendah kedua, yaitu Rp 1,84 juta per bulan.
Hal serupa terlihat di Provinsi Aceh, yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi keenam (14,75 persen). Meski standar UMP Aceh termasuk yang tertinggi sebesar Rp 3,16 juta per bulan, realisasi rata-rata upah di wilayah itu jauh di bawah UMP, yakni Rp 2,32 juta per bulan, paling rendah kelima secara nasional.
Di luar itu, masih ada 11 provinsi lain dengan angka kemiskinan tertinggi serta standar upah di bawah rata-rata nasional, yaitu Maluku, Gorontalo, Bengkulu, Nusa Tenggara Barat (NTB), Sulawesi Tengah, Sumatera Selatan, Sulawesi Barat, Lampung, Sulawesi Tenggara, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Hampir semua provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi memiliki tingkat rata-rata upah serta standar upah minimum yang rendah.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, besaran upah dan pendapatan seseorang berkaitan erat dengan daya tahannya dalam menghadapi guncangan ekonomi, seperti kenaikan inflasi sebesar 5,51 persen pada tahun 2022.
”Semakin rendah upah seseorang, pemenuhan kebutuhan dasarnya tentu lebih terbatas. Ketika ada gejolak inflasi tahun lalu, buruh berupah pas-pasan yang tidak mendapat kenaikan upah signifikan tentu terkena dampak. Mereka sangat rentan dan lebih mudah untuk jatuh miskin,” katanya saat dihubungi, Rabu (18/1/2023).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Perkampungan padat penduduk dengan latar belakang gedung bertingkat di Jakarta, Jumat (23/12/2022). Pemerintah akan melanjutkan program perlindungan sosial untuk mendorong tingkat kemiskinan pada 2023 menurun di kisaran 7,5-8,5 persen, tingkat pengangguran terbuka berkisar 5,3-6,0 persen, dan perbaikan ketimpangan (gini ratio) menjadi 0,375-0,378.
Dalam rilis awal pekan ini, BPS mencatat, jumlah orang miskin di Indonesia bertambah 200.000 orang dari Maret ke September 2022. Total jumlah penduduk miskin per akhir tahun lalu pun mencapai 26,36 juta orang. Meningkatnya angka kemiskinan itu disebabkan oleh kenaikan harga barang kebutuhan pokok, seiring dengan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) pada periode tersebut.
Biaya hidup yang semakin mahal itu terlihat melalui meningkatnya garis kemiskinan sebesar 5,95 persen, dari Rp 505.469 per kapita per bulan (Maret 2022) menjadi Rp 535.547 per kapita per bulan (September 2022). Kenaikan garis kemiskinan itu menjadi yang tertinggi dalam sembilan tahun terakhir.
Tauhid mengatakan, perlu ada perbaikan standar pengupahan dan penciptaan lapangan kerja yang layak untuk memperkuat daya beli masyarakat, terutama di daerah-daerah yang menjadi basis kemiskinan. Menurut dia, bansos memang dibutuhkan untuk jangka pendek, tetapi harus ada solusi berkelanjutan.
”Tidak sehat kalau kita terus bergantung pada bansos. Harus ada terobosan memunculkan lapangan kerja formal dengan upah layak, terutama di sektor pertanian dan sektor rural lainnya. Sekarang ini, meski produksi bertambah, nilai jualnya tetap tidak signifikan sehingga menekan daya beli petani dan buruh tani,” ujarnya.
IVAN DWI KURNIA PUTRA
Poster aksi yang dibawa salah seorang warga ketika menggelar aksi di depan Monumen Nasional (Monas) dan berjalan ke Balai Kota Jakarta, Rabu (26/10/2022).
Tauhid juga mengingatkan agar kebijakan upah minimum yang kontroversial seperti pada tahun 2022 tidak diulangi lagi. Saat itu, rata-rata kenaikan UMP hanya 1,09 persen, jauh berada di bawah tingkat inflasi. Kebijakan pengupahan yang rendah itu, menurut dia, ikut berkontribusi pada tergerusnya daya beli buruh formal saat menghadapi gejolak inflasi tahun lalu.
Peneliti dari SMERU Research Institute, Ridho Al Izzati, menambahkan, peningkatan level pendapatan masyarakat pada dasarnya bisa membantu menurunkan kemiskinan atau mencegah munculnya orang miskin baru. Meski demikian, upaya perbaikan pendapatan itu lebih dibutuhkan di sektor informal ketimbang formal. Sebab, jumlah orang miskin yang bekerja di sektor informal lebih banyak.
Upaya perbaikan pendapatan lebih dibutuhkan di sektor informal ketimbang formal. Sebab, jumlah orang miskin yang bekerja di sektor informal lebih banyak.
Seiring dengan itu, upaya untuk mengendalikan inflasi agar tetap stabil dan rendah serta kebijakan perlindungan sosial yang berkelanjutan harus terus dijalankan sebagai bantalan sosial bagi warga rentan.
”Dibandingkan upah minimum yang berlaku di sektor formal, kebijakan yang fokus pada sektor informal akan memberi dampak lebih berarti, seperti bantuan bagi usaha mikro dan kecil atau bantuan bagi petani,” kata Ridho.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN (HAS)
Buruh bangunan beristirahat di sela-sela menyelesaikan perbaikan saluran air di Jalan Ciledug Raya, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Senin (16/1/2023). Saat ini Indonesia masih memiliki tantangan besarnya pekerja di sektor informal dan pekerja dengan jenis pekerjaan berketerampilan rendah. Data dari Badan Pusat Statistik pada Agustus 2022 menyebutkan, ada sekitar 54,31 persen angkatan kerja berpendidikan SMP ke bawah.
Secara terpisah, Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Maliki mengatakan, secara umum, daya beli rumah tangga memang akan sangat dipengaruhi oleh upah yang diterima pekerja formal serta keuntungan yang didapat oleh pelaku usaha mikro di sektor informal.
Namun, kebijakan UMP yang lebih progresif dinilai tidak akan banyak berdampak pada tinggi rendahnya tingkat kemiskinan. Ia menilai, angka kemiskinan tidak selalu sejalan dengan besaran UMP. ”UMP hanya berdampak pada mereka yang bekerja secara formal, sementara lebih dari 60 persen penduduk miskin kita bekerja informal,” kata Maliki.
Ke depan, untuk menjaga daya beli dan konsumsi masyarakat miskin dan rentan, pemerintah akan terus melanjutkan program bansos serta menjalankan program pemberdayaan masyarakat. ”Termasuk di dalamnya akses terhadap kewirausahaan dan dunia kerja untuk memberi pendapatan yang lebih layak dan berkelanjutan bagi masyarakat,” ujarnya.