Episode (Impor) Pangan RI
Di tengah ketidakpastian ekonomi global pada 2023, gejolak harga dan stok komoditas pangan impor masih bisa terjadi. Tantangan musiman komoditas pangan di dalam negeri dan menambah stok pangan bakal berlanjut.
Episode Indonesia meredam kenaikan harga beras dan kedelai impor di dalam negeri tengah berlangsung. Adu akurasi data beras, mogok berjualan tahu, tingginya harga kedelai global dan depresiasi rupiah, serta komitmen menyediakan 600.000 ton beras agar tidak impor menjadi bagian skrip dan frame epidose (impor) pangan kita tahun ini.
Pada akhirnya, pemerintah menugaskan Perum Bulog mengimpor beras sebanyak 500.000 ton dan kedelai 350.000 ton. Beras itu berasal dari Thailand, Vietnam, Myanmar, dan Pakistan. Adapun kedelai impor berasal dari dari Amerika Serikat dan Afrika Selatan.
Sebagian beras impor, sekitar 10.000 ton, telah tiba pada pertengahan Desember lalu dan akan menyusul hingga 200.000 ton hingga akhir tahun ini. Sisanya sebanyak 300.000 ton akan datang bertahap pada Januari-Februari 2023. Sementara kedelai impor diperkirakan baru masuk Indonesia pada Januari 2023.
Saat ini, harga kedua komoditas itu masih bertahan tinggi. Berdasarkan data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan, harga rata-rata nasional beras medium per 23 Desember 2022 sebesar Rp 11.400 per kilogram (kg). Harganya sudah naik 7,69 persen dibandingkan Juli 2022 yang seharga Rp 10.400 per kg. Harga beras medium itu masih berada di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah berdasarkan wilayah, yakni Rp 9.450 per kg-Rp 10.250 per kg.
Begitu juga dengan kedelai impor yang diperdagangkan di pasar dalam negeri. Komoditas yang semula bisa dibeli dengan harga Rp 10.000 per kg-Rp 11.000 per kg itu kini harganya tembus Rp 15.100 per kg. Dibandingkan sebelum Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022, harganya sudah meningkat 17,05 persen.
Pada akhirnya, pemerintah menugaskan Perum Bulog mengimpor beras sebanyak 500.000 ton dan kedelai 350.000 ton.
Apa masalahnya? Untuk beras, pemerintah sempat percaya diri bakal dapat memenuhi kebutuhan beras di dalam negeri seusai menerima penghargaan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan Lembaga Penelitian Padi Internasional (IRRI). Penghargaan tersebut diberikan untuk mengapresiasi keberhasilan Pemerintah Indonesia mencapai swasembada beras 2019-2021. Sepanjang periode tersebut, RI dinilai konsisten memproduksi beras sebanyak 31,3 juta ton per tahun.
Pada tahun ini, pemerintah juga mengklaim produksi dan stok beras masih berlimpah meskipun diwarnai perdebatan data produksi dan stok. Hitungan Kementerian Pertanian (Kementan), surplus beras pada akhir tahun ini bisa mencapai 6,9 juta ton sehingga tidak perlu impor.
Faktanya, pasar tidak terpengaruh. Harga beras masih terus naik karena pasar melihat stok beras Bulog masih jauh dari yang ditargetkan pemerintah, yakni minimal 1,2 juta ton. Per 6 Desember 2022 atau sebelum impor, stok beras Bulog tersisa 494.202 ton. Stok itu terdiri dari 295.337 ton cadangan beras pemerintah (CBP) dan 198.965 ton beras komersial.
Kementan bahkan menyanggupi menyediakan 600.000 ton beras untuk memperkuat CBP Bulog. Namun, Bulog hanya bisa menyerap sebagian kecil. Di sisi lain, Bulog dinilai tidak optimal menyerap beras dan gabah petani sejak awal 2022.
Persoalan lainnya, meski Indonesia merupakan produsen beras terbesar keempat dunia, pemanfaatan atau daya tahan stok beras akhir tahun untuk memenuhi kebutuhan selama beberapa waktu ke depan masih rendah. Stok tersebut rata-rata hanya mampu memenuhi konsumsi masyarakat selama 1-3 bulan ke depan (Kompas, 17/12/2022).
Baca juga: Stok Beras Akhir Tahun RI Rata-rata Hanya Tahan 1-3 Bulan
Beban ganda
Lain halnya dengan kedelai. Selama ini, produksi kedelai lokal tidak pernah mencukupi kebutuhan kedelai nasional sehingga Indonesia bergantung pada kedelai impor. Berdasarkan Prognosa Neraca Pangan Nasional, kebutuhan kedelai nasional pada 2022 sebanyak 2,94 juta ton dan produksi kedelai lokal hanya 288.635 ton.
Untuk menutup kekurangannya, Indonesia merencanakan impor kedelai sekitar 2,4 juta ton secara bertahap sepanjang tahun ini. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor kedelai Indonesia sepanjang Januari-November 2022 terealisasi sebanyak 2,16 juta ton. Saat ini, stok kedelai pada akhir Desember 2022 diperkirakan hanya 58.000 ton, cukup untuk memenuhi kebutuhan selama 7 hari.
Di sisi lain, harga kedelai impor masih tinggi. Pada penutupan perdagangan Chicago Board of Trade, Jumat (23/12/2022), harga kedelai berjangka mencapai 14,8 dollar AS per gantang. Harga tersebut naik 3,05 persen secara bulanan dan 7,91 persen secara tahunan.
Satu gantang setara dengan 27,21 kg. Dengan harga kedelai 14,8 dollar AS per gantang dan kurs Jisdor Bank Indonesia Rp 15.605 per dollar AS, harga kedelai dunia setara dengan Rp 8.488 per kg. Depresiasi rupiah terhadap dollar AS juga turut berpengaruh. Saat ini, harga kedelai impor yang diperdagangkan di pasar dalam negeri Rp 15.100 per kg atau sudah hampir dua kali lipat harga kedelai global.
Tak hanya beras dan kedelai. Indonesia juga mengimpor beras premiun dan beras patah untuk campuran pakan ternak, gandum, gula mentah, bawang putih, dan daging jenis lembu. Harga komoditas-komoditas itu pasti akan terpengaruh pelemahan nilai tukar rupiah.
Baca juga: Kebutuhan Beras untuk Operasi Pasar Diprediksi Naik 2-4 Kali Lipat
Bank Indonesia menyebutkan, per 21 Desember 2022, indeks nilai tukar dollar AS terhadap mata uang utama (DXY) masih tinggi, yakni di level 104,16. Dengan perkembangan itu, nilai tukar rupiah telah terdepresiasi 8,56 persen secara tahun kalender dibandingkan dengan akhir 2021.
Di tengah ketidakpastian ekonomi global yang bakal berlanjut hingga 2023, gejolak harga dan stok komoditas pangan impor masih bisa terjadi. Apalagi jika depresiasi rupiah masih berlanjut, biaya impor komoditas-komoditas tersebut akan semakin tinggi.
Lembaga Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) bahkan menegaskan, negara-negara pengimpor pangan tengah terjerat double burden. Beban ganda itu adalah masih tingginya harga komoditas pangan dan depresiasi nilai tukar mata uang akibat penguatan dollar AS. Biaya impor semakin tinggi sehingga memengaruhi kenaikan harga di tingkat konsumen (Kompas, 24/12/2022).
Baca juga: Beban Ganda Negara Pengimpor Pangan
Berbarengan dengan itu, Indonesia juga bakal dihadapkan pada tantangan klasik atau musiman komoditas pangan di dalam negeri, seperti cabai dan bawang merah. Di sisi lain, masih ada pekerjaan rumah mengamankan CBP agar impor beras dan adu data tak lagi berulang. Pengalaman jatuh bangun sepanjang tahun ini bisa menjadi ”guru” yang baik.
Masih ada pekerjaan rumah mengamankan CBP agar impor beras dan adu data tak lagi berulang. Pengalaman jatuh bangun sepanjang tahun ini bisa menjadi ”guru” yang baik.
Memasuki tahun politik, jangan sampai pemerintah melupakan misi besar memiliki 11 komoditas pangan sebagai cadangan pangan pemerintah (CPP). Ke-11 komoditas itu adalah beras, jagung, kedelai, bawang, cabai, daging ayam, telur ayam, daging ruminansia, gula konsumsi, minyak goreng, dan ikan.
Pada tahap pertama pengadaan CPP, pemerintah akan fokus memperkuat stok beras, jagung pakan, dan kedelai. Bulog dan ID Food atau Holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pangan di bawah Badan Pangan Nasional (NFA) akan menjadi aktor kunci penyediaan CPP itu.
Tak cukup hanya memperkuat regulasi. Aksi konkret dan keberpihakan fiskal juga diperlukan di tengah semakin menggunungnya utang pemerintah kepada Bulog yang mencapai Rp 5,2 triliun. Semoga episode (impor) pangan kita pada tahun depan bisa sedikit lebih happy ending.
Baca juga: Semoga Tak Menjadi Dongeng