Semoga Tak Menjadi Dongeng
Pemerintah memiliki misi besar penyediaan cadangan pangan pemerintah. Sejumlah langkah mulai digulirkan untuk merealisasikannya, termasuk upaya mengatasi persoalan klasik data dan pembiayaan sektor pangan.
Tahun ini merupakan tahun pembelajaran ketahanan pangan bagi Indonesia. Setelah karut-marut persoalan minyak goreng pada awal tahun, Indonesia didera masalah kenaikan harga kedelai dan beras yang memuncak di pengujung tahun.
Agar persoalan-persoalan klasik pangan lebih terantisipasi di masa mendatang, Pemerintah Indonesia berupaya memiliki cadangan pangan pemerintah (CPP). CPP merupakan persediaan pangan pokok tertentu yang dikuasai dan dikelola pemerintah.
Ada 11 komoditas pangan yang ditetapkan sebagai CPP, yakni beras, jagung, kedelai, bawang, cabai, daging ayam, telur ayam, daging ruminansia, gula konsumsi, minyak goreng, dan ikan. Pada tahap pertama pengadaan CPP, pemerintah akan fokus memperkuat stok beras, jagung pakan, dan kedelai.
Perum Bulog dan ID Food atau Holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pangan di bawah Badan Pangan Nasional (NFA) akan menjadi aktor kunci penyediaan CPP tersebut. Kebijakan itu diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 Tahun 2022 tentang CPP yang diundangkan pada 24 Oktober 2022.
Penyediaan CPP tiga komoditas prioritas, apalagi nanti 11 komoditas, tak mudah. Dalam waktu enam tahun terakhir sejak Perpres Nomor 48 Tahun 2016 tentang Penugasan kepada Perum Bulog dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional berlaku hingga muncul Perpres No 125/2022, baru satu komoditas yang dikuasai pemerintah, yakni beras.
Dalam waktu enam tahun terakhir sejak Perpres Nomor 48 Tahun 2016 berlaku hingga muncul Perpres No 125/2022, baru satu komoditas yang dikuasai pemerintah, yakni beras.
Baca juga: Regulasi Pangan Ompong
CPP beras itu pun masih belum stabil sehingga harga komoditas tersebut kerap bergejolak seperti yang terjadi beberapa bulan terakhir ini. Badan Pusat Statistik mencatat, harga beras pada tahun ini mulai merangkak naik sejak Agustus 2022. Harga beras pada waktu itu Rp 11.555 per kilogram (kg), kemudian naik menjadi Rp 11.720 per kg pada September 2022.
Pada Oktober 2022, harganya kembali naik menjadi Rp 11.850 per kg. Per 24 November 2022, harga beras medium tersebut naik menjadi Rp 12.100 per kg untuk kualitas II dan Rp 12.300 per kg untuk kualitas I.
Kepala NFA Arief Prasetyo Adi mengatakan, kenaikan harga beras yang terjadi saat ini lebih disebabkan oleh persepsi pasar terhadap stok beras Bulog yang terbatas. Oleh karena itu, pemerintah telah meminta Bulog meningkatkan serapan agar memiliki cadangan beras minimal 1,2 juta ton.
Pemerintah, melalui Bulog, bahkan mengambil opsi impor beras sebanyak 500.000 ton untuk menstabilkan harga beras. Namun, dalam rapat dengar pendapat di Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Rabu (23/11/2022), impor beras menjadi opsi kedua setelah ada kesanggupan Kementerian Pertanian menyediakan beras bagi Bulog sebanyak 600.000 ton.
”Kementerian Pertanian menyatakan sanggup untuk memenuhi cadangan beras dari produksi dalam negeri sebanyak 600.000 ton yang akan dibeli oleh Bulog dengan harga komersial dalam waktu enam hari sejak rapat hari ini. Apabila tidak terpenuhi, data yang diyakini Kementerian Pertanian tidak valid,” kata Ketua Komisi IV DPR Sudin saat membacakan simpulan rapat tersebut.
Baca juga: Impor Beras Tunggu Janji Kementerian Pertanian Terpenuhi
Permintaan Komisi IV kepada Kementerian Pertanian itu muncul setelah NFA dan Kementerian Pertanian adu data terkait stok dan konsumsi beras nasional. Hal ini menunjukkan persoalan data pangan masih menjadi masalah di Indonesia.
Tak hanya beras. Beberapa bulan terakhir ini, kenaikan harga kedelai impor juga membikin repot. Berdasarkan data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan, dalam dua bulan terakhir, harga kedelai impor yang dipasarkan di dalam negeri naik 4,93 persen dari Rp 14.200 per kg pada 22 September 2022 menjadi Rp 14.900 per kg pada 23 November 2022.
Harga tersebut sudah naik 19,2 persen dari awal Januari 2022 yang sebesar Rp 12.900 per kg. Hal itu membuat pemerintah lagi-lagi meminta Bulog mengimpor kedelai 50.000-350.000 ton. Selain itu, pemerintah memperpanjang program Bantuan Selisih Harga Pembelian Bahan Baku Kedelai Impor bagi Perajin Tahu-Tempe sebesar Rp 1.000 per kg sampai akhir Desember 2022.
Baca juga: Bulog Akan Operasi Pasar Beras dan Impor Kedelai
Strategi realisasi
Untuk merealisasikan CPP, NFA menjalin konsolidasi dengan pemerintah daerah. NFA meminta agar setiap pemda memiliki neraca pangan, cadangan pangan pemerintah daerah (CPPD), dan lumbung pangan masyarakat (LPM). Adapun Kementerian Pertanian tetap menggulirkan program swasembada, salah satunya komoditas kedelai.
Menurut Arief, CPPD sangat penting untuk menopang CPP. Dalam menetapkan jumlah dan jenis serta mengelola CPPD, setiap pemda perlu memiliki neraca pangan.
”Dengan memiliki neraca pangan, pemda dapat mengetahui seberapa besar ketersediaan pangan, jumlah kebutuhan pangan yang harus dipenuhi, dan sumber-sumber pangan tersebut diperoleh. Dengan begitu, pemerintah daerah dapat menentukan kebijakan pangan yang paling tepat di daerahnya masing-masing,” ujarnya.
NFA meminta agar setiap pemda memiliki neraca pangan, cadangan pangan pemerintah daerah, dan lumbung pangan masyarakat.
Menurut Arief, penguatan CPPD itu juga perlu diikuti dengan penguatan LPM sebagai pilar ketahanan pangan masyarakat. Sejak 2009, pemerintah sebenarnya telah membangun dan mengisi LPM. Pemda diharapkan dapat menjaga dan mendampingi para pengelola LPM agar LPM dapat terus berkelanjutan dan bermanfaat bagi masyarakat.
Pada tahun ini, pengelolaan LPM juga didukung dengan pengalokasian dana desa paling sedikit 20 persen. Namun, dalam realisasinya, baru 17 persen dana desa digunakan untuk penguatan ketahanan pangan.
Sementara itu, untuk merealisasikan CPP kedelai nasional, pemerintah lebih mengedepankan produksi kedelai di dalam negeri. Impor merupakan opsi kedua yang akan diambil jika terjadi kekurangan stok atau lonjakan harga.
Kementerian Pertanian akan meningkatkan produktivitas dan memperluas areal tanam kedelai. Pada tahun ini, Kementerian Pertanian mengembangkan 52.000 hektar (ha) tanaman kedelai dengan dana APBN dan 600.000 ha tanaman kedelai di sejumlah daerah melalui program kredit usaha rakyat (KUR). Dari pengembangan itu, produksi kedelai diharapkan mencapai 1,04 juta ton.
Kemudian pada 2023, Kementerian Pertanian mengalokasikan anggaran pengembangan produksi dan produktivitas kedelai sebesar Rp 498 miliar. Dana itu akan digunakan untuk pengembangan 250.000 ha tanaman kedelai dengan target produksi sebanyak 590.000 ton.
Baca juga: Kedelai dan Keledai
Untuk memantik minat petani menanam kedelai, pemerintah telah menentukan harga acuan pembelian dan penjualan kedelai lokal. Harga acuan pembelian kedelai lokal telah dipatok Rp 10.775 per kg, sedangkan harga acuan penjualan di tingkat konsumen Rp 12.000 per kg.
Bisri Mustofa, petani kedelai di Desa Pojok, Kecamatan Pulokulon, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, mengatakan, minat petani bertanam kedelai naik turun seiring dengan fluktuasi harga kedelai. Pada 2017-2019, harga kedelai lokal sempat anjlok di bawah Rp 6.000 per kg pada 2017-2019.
”Pada tahun ini, harganya cukup bagus karena bisa menembus Rp 10.000 per kg. Saya berharap pada tahun depan harganya akan semakin bagus dan bisa lebih terjamin serapannya,” ujarnya.
Pemerintah juga akan membangun CPP ikan. Saat ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan tengah merumuskan jumlah dan jenis ikan yang akan dikategorikan sebagai CPP dan memilih beberapa jenis ikan berdasarkan preferensi konsumsi masyarakat.
Direktur Pemasaran Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Erwin Dwiyana mengatakan, KKP masih melakukan pembahasan lintas kementerian dan lembaga terkait neraca komoditas serta penghitungan CPP, khususnya ikan. Dari ragam komoditas ikan air tawar, air payau, dan air laut di Indonesia, jenis ikan yang akan dipilih untuk cadangan pangan adalah ikan yang dinilai paling banyak dikonsumsi masyarakat.
”Komoditas ikan air tawar yang dipilih di antaranya nila, patin, dan lele. Untuk ikan air laut dipilih kembung dan cakalang. Adapun untuk ikan air payau dipilih bandeng,” ujarnya.
Baca juga: Cadangan Ikan Sesuai Pilihan Publik
Pembiayaan
Selain pendataan, pembiayaan juga menjadi kendala utama penyediaan CPP. Bulog, pengelola CPP, kerap kesulitan mendapatkan dana pengadaan pangan. Pemerintah kerap terlambat membayarkan klaim atas komoditas pangan yang diserap dan dibeli Bulog untuk menjaga stabilitas stok dan harga pangan.
Hal itu membuat Bulog kerap meminjam uang dari bank. Per akhir 2021, Bulog memiliki utang Rp 13 triliun terhadap sejumlah bank pelat merah. Pemerintah juga memiliki utang sekitar Rp 4,5 triliun kepada Bulog. Sebagian besar utang piutang itu terkait dengan pengadaan cadangan beras pemerintah.
Pada tahun ini, pemerintah berupaya mengatasi persoalan itu. Salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pemberian Subsidi Bunga Pinjaman dalam Rangka Penyelenggaraan CPP. Regulasi itu diundangkan pada 2 November 2022.
Melalui regulasi itu, pemerintah akan memberikan subsidi bunga pinjaman dari APBN kepada Bulog dan BUMN kluster pangan untuk pengadaan CPP. Peraturan menteri keuangan itu hanya membolehkan penyelenggara CPP mendapatkan pinjaman dari bank milik negara dengan jangka waktu pinjaman paling lama enam bulan.
”Saat ini, NFA masih berkoordinasi dengan Kementerian BUMN dan Himpunan Bank-bank Negara (Himbara) untuk menghitung besaran bunga pinjaman dan subsidi bunganya. NFA berharap suku bunga pinjaman itu sebesar suku bunga acuan Bank Indonesia, BI 7-day Reverse Repo Rate,” kata Arief.
Baca juga: Bunga Pinjaman Pengadaan Cadangan Pangan Diharapkan 4,75 Persen
Corporate Secretary PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Aestika Oryza Gunarto menuturkan, BRI menyambut baik kebijakan pemberian subsidi bunga pinjaman untuk pengadaan CPP. Kebijakan itu diperlukan untuk mendukung ketahanan pangan nasional yang penugasannya diberikan kepada Bulog dan BUMN Pangan.
”Terkait besaran tingkat bunga, BRI akan menganalisisnya berdasarkan prinsip kehati-hatian mengingat saat ini belum terdapat skema pembiayaan dan jaminan yang ditetapkan,” ujarnya.
Sementara Sekretaris Perusahaan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Rudi As Aturridha menilai sektor pangan sebagai salah satu sektor yang sangat defensif karena terkait dengan kebutuhan primer manusia. Seperti pada masa pandemi Covid-19, sektor pangan masih mampu bertahan dan tumbuh di saat banyak sektor lainnya terkontraksi.
Per September 2022, Bank Mandiri telah menyalurkan kredit ke sektor pangan sebesar Rp 205,3 triliun atau tumbuh 11,6 persen secara tahunan. Kredit itu disalurkan ke sektor perkebunan sebesar 48,4 persen dan industri makanan-minuman 39,2 persen. Sisanya disalurkan ke beberapa sektor lain, seperti pertanian, peternakan, dan perikanan.
”Sektor pangan merupakan salah satu tulang punggung pertumbuhan kredit Bank Mandiri. Kontribusinya terhadap total portofolio kredit mencapai 22,6 persen. Kualitas kredit sektor ini juga sangat baik lantaran rasio kredit bermasalah (NPL)-nya terjaga di kisaran 1 persen,” kata Rudi.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya agar dapat memiliki CPP. Ke depan, CPP tersebut diharapkan tidak menjadi dongeng. Aneka regulasi baru dan program-program pangan juga diharapkan tidak menjadi regulasi dan program ompong.