UNCTAD menyebutkan pelemahan nilai tukar berdampak signifikan terhadap harga pangan di negara berkembang. Depresiasi nilai tukar membuat biaya pembelian pangan bertambah, sehingga menegasikan penurunan harga pangan.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Aktivitas bongkar muat gandum yang didatangkan dari Australia menggunakan Kapal Lodestar Pasific di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (20/12/2022). Selama periode Januari-November 2022, Badan Pusat Statistik mencatat Indonesia telah mengimpor gandum sebanyak 8,43 juta ton.
Negara-negara pengimpor pangan tengah terjerat double burden. Beban ganda itu adalah masih tingginya harga komoditas pangan dan depresiasi nilai tukar mata uang akibat penguatan dollar AS. Biaya impor semakin tinggi sehingga memengaruhi kenaikan harga di tingkat konsumen.
Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa Bidang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) melaporkan hal itu dalam “A Double Burden: The effects of Food Price Increases and Currency Depreciations on Food Import Bills.” Laporan yang dirilis pada 16 Desember 2022 itu menunjukkan salah satu imbas dari ketidakpastian ekonomi global di tengah berlanjutnya pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina.
UNCTAD menyebutkan, harga pangan global memang telah turun, tetapi masih tinggi dibandingkan sebelum pandemi. Indeks harga pangan Organisasi Pangan Dunia (FAO) pada November 2022 masih tinggi, yakni 135,7, setelah mencapai level tertinggi sepanjang masa pada Maret 2022 yang sebesar 159,3.
Bersamaan dengan itu, dollar AS semakin menguat karena Bank Sentral AS, The Federal Reserve, menaikkan suku bunga acuan untuk menekan inflasi. Mata uang negeri Paman Sam itu naik 24 persen sepanjang Mei-Oktober 2022.
“Kendati masih tinggi, harga pangan telah turun. Hal ini sedikit melegakan. Namun, posisi dollar AS yang merupakan mata uang utama perdagangan global semakin kuat. Kombinasi masih tingginya harga pangan dan penguatan dollar AS telah menjadi beban ganda negara-negara berkembang importir pangan,” sebut laporan itu.
Kombinasi masih tingginya harga pangan dan penguatan dollar AS telah menjadi beban ganda negara-negara berkembang importir pangan.
Berdasarkan hasil penelitian UNCTAD di Mesir, Etiopia, Mauritius, Pakistan, Peru, dan Thailand, nilai tukar dapat berdampak signifikan terhadap harga pangan, terutama gandum. Pada Oktober 2022, harga rata-rata gandum sudah 89 persen lebih tinggi dari Oktober 2020. Selama periode yang sama, rata-rata nilai tukar dollar AS terhadap mata uang nasional masing-masing tersebut naik antara 10-46 persen.
Hal itu menyebabkan biaya impor gandum dengan volume sama meningkat tajam. Mesir, misalnya, importir gandum terbesar dunia dengan total 13,2 juta ton pada 2020. Pada 2022, Mesir harus membayar tambahan biaya impor komoditas itu sebesar 3 miliar dollar AS. Peningkatan itu setara dengan 20 persen biaya impor pangan Mesir pada 2020.
Indonesia yang juga importir gandum juga terimbas kenaikan harga gandum global. Rembetannya bahkan menyebabkan harga tepung terigu meningkat. Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan menunjukkan, harga rata-rata nasional tepung terigu per 22 Desember 2022 sebesar Rp 13.100 per kilogram (kg). Harganya sudah naik 31 persen dari 22 Desember 2020 yang sebesar Rp 10.200 per kg.
Selain gandum, Indonesia juga mengimpor kedelai. Harga rata-rata nasional kedelai impor di tingkat konsumen pada 22 Desember 2022 mencapai Rp 15.100 per kg. Harga tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan 22 Desember 2020 yang hanya Rp 10.200 per kg. Artinya, dalam dua tahun terkahir, harganya telah naik 48,04 persen.
Bank Indonesia menyebutkan, per 21 Desember 2022, indeks nilai tukar dollar AS terhadap mata uang utama (DXY) masih tinggi, yakni di level 104,16. Dengan perkembangan itu nilai tukar rupiah telah terdepresiasi 8,56 persen secara tahun kalender dibandingkan dengan akhir 2021.
Per 21 Desember 2022, indeks nilai tukar dollar AS terhadap mata uang utama (DXY) masih tinggi, yakni di level 104,16. Dengan perkembangan itu, nilai tukar rupiah telah terdepresiasi 8,56 persen secara tahun kalender dibandingkan dengan akhir 2021.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Gambar mata uang dollar AS terpasang di salah satu tempat penukaran uang di Jakarta, Jumat (31/8/2018).
Kondisi itu semakin meresahkan kalangan usaha dan industri nasional memasuki tahun 2023 yang disebut-sebut sebagai tahun kelam yang penuh ketidakpastian. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memproyeksikan nilai tukar rupiah pada 2023 berada di kisaran Rp 15.000-Rp 15.800 per dollar AS.
Ketua Umum Apindo Hariyadi B Sukamdani mengatakan, kondisi itu akan membuat pelaku usaha dan industri yang bergantung pada bahan baku impor akan semakin terbebani. Pasti akan ada biaya tambahan impor yang bakal memengaruhi biaya produksi dan harga jual produk jadi di tingkat konsumen.
Tak hanya menyangkut kedelai dan gandum, harga gula mentah yang dibutuhkan industri rafinasi penopang industri makanan-minuman juga akan terpengaruh. Mereka harus segera mengimpor gula mentah itu untuk mengantisipasi kenaikan harga gula atau depresiasi rupiah.
“Stok gula mentah untuk industri gula rafinasi mulai menipis. Pemerintah diharapkan tidak menunda-nunda impor gula mentah tersebut,” ujarnya dalam konferensi pers “Outlook Perekonomian 2023” yang digelar Apindo secara hibrida, Rabu (21/2/2022).
Tradingeconomics mencatat, harga gula berjangka per 23 Desember 2022 mencapai 0,21 dollar AS per pon atau sekitar Rp 1.638,5 per kg. Harganya sudah meningkat 9,26 persen secara bulanan dan 9,94 persen secara tahunan. Kenaikan harga itu dipengaruhi oleh gagal panen di Brasil akibat cuaca dan pemanfaatan tebu untuk bahan bakar nabati.
Sistem rantai pasok
Sementara itu, untuk membangun ketahanan pangan nasional, Indonesia tengah menyiapkan cadangan pangan pemerintah (CPP). Pada tahap awal, Indonesia menargetkan memiliki CPP beras, jagung pakan, dan kedelai dari total rencana 11 komoditas.
Berbagai upaya telah dilakukan meski masih harus bergantung pada impor. Perum Bulog telah diminta untuk mengimpor 500.000 ton beras dan 350.000 ton kedelai. Adapun ID Food mulai menyiapkan sistem rantai pasok pangan terintegrasi Supply Chain Control Tower (SCCT).
Direktur Utama ID Food Frans Marganda Tambunan menuturkan, sistem SCCT merupakan sistem pendukung CPP. Sistem itu berfungsi untuk memetakan permintaan, penawaran, dan distribusi bahan pangan.
"Inovasi digital ini mampu mengintegrasikan hulu-hilir pangan, mulai dari produsen ke distributor dengan dukungan operasional logistik dikelola sektor logistik ID Food Group," tuturnya melalui siaran pers di Jakarta.
Frans menjelaskan, di tingkat produsen, sistem SCCT akan mendata produsen berdasarkan komoditas di seluruh wilayah Indonesia dan spesifikasi produk. Selain itu, akan didata pula pola produksi pangan berdasarkan musim, tren harga pangan, dan sistem pembayaran di tingkat produsen.
Di tingkat distributor, sistem ini akan mendata distributor komoditas di berbagai daerah, sistem pembayaran, monitoring pergerakan harga pasar dan harga konsumen. Pendataan hulu-hilir pangan itu diharapkan dapat menjaga keseimbangan pasokan dan stabilitas harga.
"Pengoperasian sistem ini meliputi pemetaan aset logistik pangan, monitoring arus stok pangan, termasuk proses transaksinya dan evaluasi distribusi setiap komoditas pangan di masing-masing wilayah. Apabila terdapat peningkatan permintaan stok pangan, kami bisa mengetahuinya,” kata Frans.