Stok Beras Akhir Tahun RI Rata-rata Hanya Tahan 1-3 Bulan
Persoalannya adalah stok beras akhir tahun itu dapat memenuhi konsumsi untuk berapa lama. Kalau stok beras akhir tahun China, bisa untuk memenuhi konsumsi 8-9 bulan ke depan, Pakistan sekitar 6 bulan, dan RI 1-3 bulan.
JAKARTA, KOMPAS – Meski Indonesia merupakan produsen beras terbesar keempat dunia, pemanfaatan atau daya tahan stok beras akhir tahun untuk memenuhi kebutuhan selama beberapa waktu ke depan masih rendah. Stok tersebut rata-rata hanya mampu memenuhi konsumsi masyarakat selama 1-3 bulan.
Oleh karena itu, peningkatan produkvitas masih diperlukan agar produksi tidak stagnan. Peningkatan produksi itu juga perlu dibarengi dengan berbagai langkah konkret untuk mengatasi tantangan yang masih sering muncul.
Hal itu mengemuka dalam diskusi “Outlook Sektor Pertanian 2023: Dampak, Tantangan, dan Upaya Menghadapi Resesi Global 2023” yang digelar Institute for Development of Economics and Finance (Indef) secara hibrida di Jakarta, Jumat (16/12/2022).
Deputi Bidang Statistik Produksi Badan Pusat Statistik (BPS) M Habibullah mengatakan, pada 2022, Indonesia merupakan negara produsen beras keempat dunia dengan total produksi sebanyak 31,9 juta ton. Namun lantaran penduduknya banyak, konsumsinya juga besar, yakni 30,2 juta ton, sehingga tercatat sebagai negara pengonsumsi beras terbesar keempat dunia.
Persoalannya adalah daya tahan stok beras akhir tahun itu dapat memenuhi konsumsi untuk berapa lama. Kalau stok beras akhir tahun China, rata-rata bisa untuk memenuhi kebutuhan 8-9 bulan ke depan, Pakistan sekitar 6 bulan, dan India 3-4 bulan.
“Bagaimana dengan Indonesia. Ada penelitian yang menyebutkan stok beras akhir tahun Indonesia dapat memenuhi kebutuhan konsumsi untuk 1,8 bulan. Namun pada umumnya bisa untuk 1-3 bulan ke depan,” ujarnya.
Persoalannya adalah daya tahan stok beras akhir tahun itu dapat memenuhi konsumsi untuk berapa lama. Kalau stok beras akhir tahun China, rata-rata bisa untuk memenuhi kebutuhan 8-9 bulan ke depan, dan Indonesia untuk 1-3 bulan.
Berdasarkan data BPS, 10 besar negara penghasil beras secara berurutan adalah China (148,99 juta ton), India (129 juta ton), Bangladesh (35,85 juta ton), Indonesia, Vietnam (27,19 juta ton), Thailand (19,7 juta ton), Myanmar (12,6 juta ton), Filipina (12,4 juta ton), Pakistan (8,7 juta ton), dan Jepang (7,56 juta ton).
Adapun 10 besar negara pengonsumsi beras secara berurutan adalah China (155,84 juta ton), India (110,79 juta ton), Bangladesh (36,5 juta ton), Indonesia, Vietnam (21,5 juta ton), Filipina (15,4 juta ton), Thailand (13 juta ton), Myanmar (10,25 juta ton), Jepang (8,2 juta ton), dan Nigeria (7,45 juta ton).
Baca juga: 4.900 Ton Beras Impor dari Vietnam Tiba di Indonesia
Melihat daya tahan stok beras akhir tahun Indonesia, pemerintah dan pemangku kepentingan terkait perlu meningkatkan produktivitas. Namun ada sejumlah tantangan, selain akurasi data, yang perlu diatasi agar surplus produksi beras Indonesia semakin meningkat, seperti kepemilikan lahan dan regenerasi petani.
Menurut Habibullah, berdasarkan Survei Pertanian Antar Sensus (Sutas) 2018, sebanyak 15,81 juta petani atau 58,07 persen dari total petani di Indonesia merupakan petani gurem. Mereka adalah petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar.
Selain itu, mayoritas petani di Indonesia berumur di atas 45 tahun. Dari 25,44 juta petani laki-laki, misalnya, sebanyak 60,33 persen adalah petani berusia di atas 45 tahun.
“Hal ini tentu bakal menciptakan persoalan tersendiri ke depan,” katanya.
Baca juga: Regenerasi Petani dan Rendahnya Pendapatan di Sektor Pertanian
Bantuan benih
Dalam diskusi itu juga terungkap, perlunya pemerintah meningkatkan produksi komoditas-komoditas yang harganya mudah bergejolak, seperti cabai dan bawang merah. Salah satunya adalah dengan meningkatkan dan memperluas bantuan benih unggul.
Peneliti Indef M Rizal Taufikurahman menuturkan, bantuan benih cabai rawit, cabai besar, dan bawang merah yang bermutu dari pemerintah berkontribusi besar terhadap produksi komoditas-komoditas itu. Pada periode 2018-2021, produksi komoditas-komoditas itu trennya meningkat.
Bantuan benih cabai rawit, cabai besar, dan bawang merah yang bermutu dari pemerintah berkontribusi besar terhadap produksi komoditas-komoditas itu.
Ia menunjukkan, produksi bantuan benih cabai rawit pada 2018 dan 2021 masing-masing sebesar sebesar 219.040 ton dan 227,337 ton. Produksi bantuan benih itu dapat meningkatkan produksi total cabai rawit nasional pada 2018 dan 2021 masing-masing menjadi 1,34 juta ton dan 1,39 juta ton.
Hal serupa juga terjadi di komoditas bawang merah. Jika bantuan benih bawang merah meningkat 1 persen, makan akan meningkatkan produksi komoditas tersebut sebesar 0,268 persen.
Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan kualitas dan kuantitas, serta memperluas jangkauan bantuan benih bermutu itu agar produksinya terus meningkat. Selain itu, rekayasa genetika dan inovasi untuk benih komoditas pertanian yang tahan dan dapat adaptif terhadap perubahan cuaca juga diperlukan guna meningkatkan produksi.
Rizal juga berharap agar pemerintah belajar dari pengalaman tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya untuk menjaga stabilitas stok dan harga pangan penyebab inflasi pada 2023. Stok cadangan pangan pemerintah perlu benar-benar diperkuat agar pemerintah bisa mengintervesi pasar jika terjadi kenaikan harga.
“Beras, misalnya. Pada saat panen raya nanti, pemerintah harus segera menyerap sebanyak-banyaknya untuk mengamankan cadangan beras pemerintah. Begitu juga untuk komoditas lain, jika produksinya meningkat, pemerintah juga bisa turut menyerapnya,” kata Rizal.
Baca juga: Sirnanya Swasembada Beras
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar lnstitut Pertanian Bogor Hermanto Siregar menuturkan, pada 2023, sektor pertanian prospektif untuk mengendalikan inflasi dan mencegah penurunan pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, produktivitas pangan penyumbang inflasi perlu ditingkatkan dengan menambah atau mengintensifkan lahan, serta menyediakan benih dan pupuk yang cukup dan harga terjangkau.
“Kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi sekitar 3 persen. Berbagai upaya perlu dilakukan agar kontribusi sektor itu tetap terjaga atau bahkan dapat ditingkatkan menjadi 5 persen di tengah belum pulihnya sejumlah sektor lain,” tuturnya.
Pada 2023, sektor pertanian prospektif untuk mengendalikan inflasi dan mencegah penurunan pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dan Asisten Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Muhammad Saifulloh berpendapat senada. Pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan produksi dan menjaga ketahanan stok pangan.
Pemerintah telah menggulirkan sejumlah strategi menghadapi dampak rembetan krisis pangan global. Pertama, peningkatan produktivitas pangan, seperti padi, jagung, dan kedelai, serta komoditas penyebab inflasi musiman, seperti cabai dan bawang merah.
Pemerintah juga akan mensubstitusi atau mengurangi impor sejumlah komoditas pangan, antara lain kedelai, gandum, gula, dan daging sapi. Pemerintah juga akan mengembangkan sagu, singkong, dan sorgum untuk mendiversifikasi pangan nasional dan mensubstitusi gandum.
"Kami juga terus menggalakkan pemanfaatan pekarangan rumah untuk meningkatkan kemandirian ketahanan pangan rumah tangga," kata Syahrul.
Baca juga: Semoga Tak Menjadi Dongeng