Sirnanya Swasembada Beras
Cadangan beras pemerintah jumlahnya kian berkurang. Bulog menyarankan pemerintah mengimpor beras. Langkah apa yang harus dilakukan Badan Pangan Nasional agar mampu menjaga harga beras stabil tiga bulan mendatang?
Belum lama ini, Dirut Bulog Budi Waseso menyarankan pemerintah mengimpor beras untuk memperkuat cadangan beras pemerintah yang jumlahnya kian berkurang.
Stok beras di Bulog sangat rendah, tersisa 614.000 ton pada minggu ketiga November. Seharusnya stok akhir tahun minimal 1,2 juta ton.
Sementara itu, harga gabah/beras terus merangkak naik sejak Agustus walaupun intervensi pasar Bulog tinggi, hampir mencapai 1 juta ton. BPS melaporkan, harga beras eceran kualitas umum di minggu kedua November hampir menembus Rp 12.000/kg, sedangkan pada minggu pertama Oktober masih di bawah Rp 11.000/kg. Harga gabah kering panen (GKP) tingkat petani Rp 5.010/kg.
Keinginan impor disampaikan Budi secara terbuka di media massa. Selama ini, Budi dikenal kurang menyukai impor beras. Pada awal diangkat sebagai Dirut Bulog, April 2018, ia berpolemik secara terbuka dengan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita tentang impor beras Bulog.
Gara-gara polemik terbuka ini, Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko diperintahkan Presiden untuk mendamaikannya.
Sekarang ini, keputusan impor beras di tangan Badan Pangan Nasional (Bapanas). Apakah Bapanas punya taring untuk merancang kebijakan yang mampu menjaga harga beras stabil tiga bulan mendatang?
Baca juga : Proyeksi Pertumbuhan Produksi Beras Terkoreksi
Stok beras Bulog
Bapanas lahir pertengahan 2021, berdasarkan Perpres No 66/2021. Lembaga ini diharapkan menjadi lembaga pangan nasional yang akan mengintegrasikan kebijakan pangan yang selama ini berserakan di beberapa kementerian/lembaga (K/L), dan kerap gaduh kalau terkait dengan impor pangan, khususnya beras.
Keputusan impor beras kerap tidak mulus meski kriteria impor telah disepakati. Kriteria impor ada tiga, yaitu (1) tingkat produksi padi/beras, (2) perkembangan harga beras, dan (3) capaian pengadaan dalam negeri dan stok beras Bulog. Apabila dua kriteria terpenuhi, keputusannya impor. Dua kriteria terakhir terungkap dari data aktual untuk besaran kenaikan harga ataupun besaran pengadaan dalam negeri.
Perbedaan kerap muncul terkait kriteria pertama karena bersandar pada data estimasi, bukan data aktual. Biasanya, kementerian teknis yang terkait dengan urusan produksi selalu berpendapat produksi beras ”cukup”. Demikian juga pemda sentra produksi padi, dan asosiasi petani, dengan alasan akan menekan harga gabah petani, terutama jika beras impor tiba pada musim panen raya.
ilustrasi
Bapanas melaporkan besaran stok beras nasional pada pekan pertama November 2022 sebesar 6,6 juta ton. Sebagian besar dikuasai masyarakat, terutama rumah tangga tani (51 persen), penggilingan padi (22 persen), dan pedagang (12 persen). Bulog menguasai 9,9 persen. Diperkirakan stok beras akhir tahun ini 6,3 juta ton.
Keputusan pelepasan stok beras masyarakat ke pasar umum tidaklah sama dengan keinginan pemerintah. Keputusan mereka bergantung pada ekspektasi harga beras menjelang panen, waktu tibanya panen raya, dan besaran stok Bulog. Rumah tangga tani cenderung menahan stok berasnya untuk keperluan rumah tangga kalau harga beras tidak stabil.
Pelepasan stok beras milik penggilingan padi dan pedagang bergantung pada ekspektasi harga. Kalau harga beras terus meningkat, mereka akan menahan stok, dilepas menjelang panen raya akhir Februari 2023.
Pemerintah hanya bisa mengerahkan stok Bulog untuk intervensi pasar atau kepentingan publik lainnya. Stok Bulog dalam jumlah yang wajar, apalagi menguasai beras kualitas premium, sangat diperhitungkan swasta dalam aksi spekulasi.
Stok Bulog dalam jumlah yang wajar, apalagi menguasai beras kualitas premium, sangat diperhitungkan swasta dalam aksi spekulasi.
Kalau stok Bulog ”kuat” dan melakukan intervensi pasar, harga beras akan turun. Masyarakat akan segera melepas stok berasnya. Jika tetap menahan stok dalam situasi harga menurun dan panen raya segera tiba, mereka akan rugi.
Apabila intervensi pasar masif telah dilakukan Bulog, tetapi harga beras tidak turun, taksiran stok yang dipegang swasta tak sebesar yang diduga. Ini artinya, stok beras yang dikuasai masyarakat rendah, tak seperti yang diperkirakan. Kerap kita salah tafsir, menganggapnya ulah mafia.
Stok beras Bulog berasal dari pengadaan dalam dan luar negeri. Sejak lama pemerintah berkeinginan memenuhi semua keperluan pengeluaran publik (PSO), terutama cadangan beras pemerintah (CBP) dari pengadaan dalam negeri. Peran beras impor dalam total pengadaan beras Bulog kian mengecil jumlahnya, kecuali 2018.
Pada periode 1990-1999, kandungan impor dalam total pengadaan Bulog 34 persen (1,3 juta ton per tahun), terus menurun jadi 11 persen (323.000 ton/tahun) periode 2014-2017. Pada 2018, angkanya sangat tinggi, 54 persen (1,77 juta ton).
Kemudian, pada 2019-2021, pengadaan Bulog seluruhnya dari produksi dalam negeri. Atas capaian ini, Presiden mendapat penghargaan dari IRRI.
Keputusan impor
Pada pertengahan November 2022, jumlah pengadaan dalam negeri Bulog baru mencapai 900.000 ton, terendah pascapenghentian program raskin. Biasanya pengadaan dalam negeri sekitar 1,2 juta ton.
Sementara, penyaluran keseluruhan PSO Bulog sudah 1,025 juta ton, termasuk untuk intervensi pasar yang cukup tinggi, 948.000 ton. Stok beras Bulog tinggal 614.000 ton minggu ketiga November. Ini berisiko tinggi menjelang akhir tahun sampai awal panen raya yang baru dimulai akhir Februari 2023.
Oleh karena itu, pemerintah perlu mengambil sejumlah langkah untuk memperkecil risiko terjadinya krisis beras. Pertama, keputusan impor beras atau tidak di tangan Bapanas. Dilematis buat lembaga baru ini. Keputusan untuk impor—tanpa melihat jumlahnya—membuat lembaga ini tak populer, apalagi Presiden baru saja menerima penghargaan swasembada IRRI. Sama saja membuat sirnanya swasembada beras.
Baca juga : Swasembada dan Penghargaan IRRI
Namun, sebaliknya, jika keputusannya tidak impor. Apabila dalam tiga bulan mendatang terjadi instabilitas harga beras yang sulit dikelola, Bapanas akan menjadi satu-satunya yang akan disalahkan.
Kedua, tampaknya kriteria impor beras terpenuhi, tetapi jumlah impor harus terukur. Terukur dalam pengertian jumlah, kualitas beras, dan waktu kedatangan beras impor.
Jangan mengulang kejadian 2018. Keputusan impor beras pada waktu itu tidaklah keliru. Yang keliru adalah jumlah impornya yang terlalu tinggi (1,77 juta ton), membuat Bulog runyam dalam penyalurannya, banyak beras turun mutu dan rusak.
M Husein Sawit, Anggota Dewan Penasihat PP Perhepi