Perangkap Maut di Jalanan Kota Kita
Terseret banjir saat berkendara di jalanan kota terus terjadi. Perangkap maut itu ada di kota-kota yang abai pada keamanan infrastruktur publik dan latah menyalahkan cuaca ekstrem.
Hujan lebat akhir-akhir ini dibarengi berbagai insiden dengan banyak korban jiwa. Tak hanya longsor dan banjir di daerah pelosok dan perkotaan, beberapa kali viral ada kejadian jalan-jalan beraspal tiba-tiba menjadi sungai berarus deras. Pengguna jalan terperangkap, bahkan ada pesepeda motor yang terseret arus dan ditemukan tewas puluhan kilometer dari lokasi ia terperosok.
Sebenarnya, infrastruktur publik -termasuk jaringan jalan di perkotaan yang sewaktu-waktu dapat berubah menjadi perangkap maut bagi siapa saja yang menggunakannya- tidak terjadi tahun ini saja. Harian Kompas edisi Sabtu, 18 Januari 1992, melaporkan, Kota Palembang di Sumatera Selatan dan Kota Jambi gelagapan setiap kali hujan deras menerjang. Jembatan, jalan permukiman, sampai jalan nasional penghubung antarprovinsi bisa begitu saja terputus.
Di Jabodetabek, sungai meluap dan memutus akses ke permukiman maupun jalan raya sudah rutin terjadi. Sampah menyesaki saluran air, sungai, sampai waduk seperti dianggap normal. Di Waduk Pluit di Jakarta Utara, 30 tahun lalu, air meninggi cepat karena terhalang tumpukan sampah. Akibatnya, seorang warga hanyut dan ditemukan tewas mengambang di waduk.
Isu banjir Jakarta bersama berbagai masalah kota besar ini dilabeli sebagai “penyakit seumur-umur” oleh artikel di harian ini terbitan 10 Oktober 1992. Tahun demi tahun kemudian, terbukti pembangunan infrastruktur publik bukannya membaik.
Baca juga : Ada Dulu, Pembenahan Kemudian
Januari 2002, ibu kota negara ini lumpuh, (Kompas, 31 Januari 2002). Terhitung sampai Februari 2002, sekitar 25 persen dari luas Jakarta tergenang, jalan-jalan utama dan di permukiman terputus, ratusan ribu orang mengungsi, dan lebih dari 30 warga tewas. Jatuhnya korban tewas, terluka, dan sakit karena berbagai sebab di antaranya hanyut; kesetrum akibat buruknya instalasi yang menyebabkan aliran listrik mengalir melalui genangan banjir; juga karena kotornya lingkungan kala kota terendam.
Kondisi lebih buruk terulang di 2007 ketika sedikitnya 60 persen area Jakarta tergenang. Pada 2012, meskipun tak sebesar lima tahun sebelumnya, banjir dan bencana ikutannya melanda sebagian Jakarta di akhir tahun. Di Banten, Tol Merak terendam 12 jam sehingga arus ekonomi nasional terganggu. Di Manado, Sulawesi Utara, dua warga tewas setelah kendaraannya menerjang genangan di jalan lingkar kota itu, (Kompas, 31 Desember 2012).
Dalam "Tajuk Rencana" edisi 27 Februari 2002, koran ini mengingatkan betapa tidak terurusnya infrastruktur publik di Indonesia, termasuk sarana prasarana jalan di berbagai daerah.
“Kerusakan infrastruktur tidak bisa dibiarkan terus. Kita harus mengambil langkah untuk dua kepentingan. Pertama, mencegah semakin banyaknya korban berjatuhan, dan kedua, menyelamatkan roda perekonomian nasional,” demikian sepenggal tuntutan dalam tulisan itu. Kalimat berikutnya menjadi peringatan tegas, bahwa “Kita akan membayar lebih mahal lagi apabila kita terlambat untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi”.
Baca juga: “Gangsta's Paradise”
Kerusakan infrastruktur tidak bisa dibiarkan terus. Kita harus mengambil langkah untuk dua kepentingan. Pertama, mencegah semakin banyaknya korban berjatuhan, dan kedua, menyelamatkan roda perekonomian nasional.
Dua puluh tahun kemudian, semua pihak sepakat banyak percepatan pembangunan di berbagai bidang telah dilakukan. Untuk pengendalian banjir Jakarta saja sudah terwujud Kanal Banjir Timur. Yang tengah berproses, di antaranya revitalisasi sungai dan semua "tempat parkir" air, juga proyek Bendungan Ciawi dan Sukamahi.
Namun, hujan dan banjir dalam beberapa pekan terakhir membuka mata publik bahwa semua infrastruktur fisik itu belumlah sempurna.
Di kota-kota di Indonesia, sudah jamak pembangunan jalan di mana pun tak selalu diiringi penyediaan saluran air dan tempat-tempat parkir air yang baik. Membangun jalan baru maupun perbaikan akses yang sudah ada tak selalu disertai penyediaan trotoar yang bagian bawahnya sekaligus untuk sistem drainase dan penempatan utilitas perkotaan seperti kabel listrik, air perpipaan, dan kabel internet. Praktik bongkar pasang di jalanan dan trotoar terkait utilitas ini saban hari masih dijumpai. Bonusnya kemacetan dan kesemrawutan.
Kesadaran pemerintah daerah bisa dibilang rendah, kalau tak bisa dikatakan nol. Pemerintah pusat sepertinya sama saja, karena tidak membuat regulasi jelas dan tegas sekaligus contoh baik yang wajib diduplikasi di semua daerah lengkap dengan pengawasan serta sanksi.
Kala hujan mengakrabi banyak daerah seperti sekarang, pemegang kebijakan di pusat dan daerah bisa dengan mudah mengatakan cuaca ekstrem pemicu utama bencana. "Kaset" lama diputar lagi bahwa daya tampung infrastruktur belum memadai menampung dampak cuaca ekstrem tersebut. Antisipasi yang dilakukan tak selalu relevan menjawab kebutuhan pembangunan infrastruktur publik nan mumpuni.
Baca juga: Kelaparan dan Malnutrisi di Perkotaan Itu Nyata
Sesungguhnya, mengesalkan sekaligus menggelikan menempatkan cuaca ekstrem sebagai "tersangka" utama pemicu kasus bencana. Ini karena penyimpangan cuaca bukanlah hal baru seperti pernah diberitakan di harian ini, seperti 7 September 1992 lalu. Selanjutnya, hampir tiap beberapa tahun, ada berita peringatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) tentang anomali cuaca dan cuaca ekstrem juga kaitannya dengan kerusakan lingkungan lokal dan global.
Di luar itu, setiap tahun, hujan dan kemarau selalu hadir dengan dampaknya masing-masing. Akan tetapi, data tahunan itu tak selalu menjadi dasar pembangunan daerah yang tepat. Kejadian-kejadian memilukan seperti tak pernah dijadikan pembelajaran pengambil kebijakan. Kalaupun ada, program mitigasi seringkali hanya di lokasi-lokasi tertentu dan tak memerhatikan keseimbangan lingkungan dengan pembenahan tata ruang kawasan lebih luas.
Strategi penanggulangan
Ebru Gencer, Regina Folorunsho, Megan Linkin dan timnya dalam “Disasters and Risk in Cities” dalam Climate Change and Cities: Second Assessment Report of the Urban Climate Change Research Network (2018) menjelaskan, dibutuhkan strategi untuk menanggulangi bencana terkait perubahan iklim di perkotaan. Strategi atau alat yang diperlukan di antaranya penerapan aturan standar bangunan, seperti kode bangunan, persyaratan antibanjir, antigempa, dan persyaratan retrofit atau penerapan teknologi antisipasi bencana lainnya.
Selanjutnya, butuh peraturan pembangunan termasuk zonasi dan subdivisi seperti zona banjir, patahan, lereng curam, daerah erosi pantai. Selain itu perlu ada standar zonasi lahan sensitif seperti lahan basah, bukit pasir, dan lereng bukit. Kebijakan fasilitas umum juga harus kritis mengharuskan lokasi fasilitas ini di luar area bahaya sekaligus sebagai penghambat atau sarana mengurangi dampak kerusakan pada gedung utama seperti perumahan maupun perkantoran.
Perlu pula pembebasan tanah dan properti di daerah berbahaya melalui dana publik dan penggunaan properti ini untuk ruang terbuka, rekreasi, atau lahan yang belum dikembangkan. Kelak tabungan lahan ini bermanfaat dalam upaya pengurangan risiko maupun tempat relokasi warga dari kawasan rentan bencana.
Baca juga: Rencana Detail Tata (R)Uang
Agar dapat terlaksana, dibutuhkan kebijakan perpajakan dan fiskal untuk memberikan insentif bagi penduduk perkotaan sehingga mengurangi biaya publik dalam menerapkan peraturan keselamatan atau menyediakan lahan untuk relokasi maupun pengurangan kepadatan di daerah berbahaya.
Yang tak kalah penting adalah penyebaran informasi untuk mempengaruhi perilaku publik, terutama pelanggan real estat dengan mewajibkan pengungkapan bahaya dari pengembang, memberikan informasi publik dengan memasang tanda peringatan di area berbahaya tinggi, dan pendidikan profesional tentang konstruksi bangunan aman.
Namun, menurut Gecer dkk rekomendasi di atas sulit dilakukan karena ada ada empat hambatan utama penanganan bencana.
Baca juga: Bantuan Setara Rp 20.000 Per Hari demi Menjaga Daya Beli
Hambatan pertama adalah ketidakpercayaan pada niat politik pengelola kota, kurangnya komunikasi dan ketidaksadaran tentang apa yang dilakukan tiap lembaga terkait dalam penanggulangan bencana, serta kurangnya koordinasi. Kendala kedua, ada masalah ketidakmampuan untuk meningkatkan atau melanjutkan program/proyek yang berhasil karena dihentikan ketika terjadi perubahan rejim pemerintahan.
Ketiga, selalu terbentur sarana atau cara yang tidak memadai untuk mengkomunikasikan risiko dan bencana kepada penduduk perkotaan. Terakhir yang keempat, masih masifnya praktik korupsi dalam proses pembuatan dan implementasi kebijakan. Pada akhirnya, korupsi ini mempengaruhi kepercayaan warga kota pada institusi mereka dan mengacaukan kondisi sosial di kawasan urban.
Apa yang diuraikan di atas sudah berkali-kali pula dibahas, ditulis, dan diserukan banyak pihak di dalam negeri. Namun, Indonesia masih saja terjerat dalam empat persoalan tersebut dan belum jua tersadarkan untuk segera melepaskan diri. Miris.
Baca juga: Catatan Urban