Ada Dulu, Pembenahan Kemudian
Hampir 19 tahun jaringan angkutan umum modern tumbuh dan berkembang melayani warga Jakarta. Prinsip pembangunan oleh pengambil kebijakan, yaitu yang penting ”ada dulu, pembenahan kemudian” masih saja dirasakan publik.
Membuka tahun 2004, hampir 19 tahun lalu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merintis perubahan pembangunan angkutan umum massal modern di Jakarta. Koridor pertama bus Transjakarta Blok M-Kota diresmikan di tengah begitu banyaknya sorotan.
Bukan tanpa sebab kritik lebih banyak dilontarkan ketimbang pujian. Jalur khusus angkutan massal pertama milik Pemprov DKI itu mengurangi sekitar sepertiga badan jalan dari Blok M melewati poros sentral ibu kota di Sudirman-Thamrin sampai ke Kota, Jakarta Barat. Padahal, kala itu kemacetan parah mendera Ibu Kota, pengurangan satu lajur berarti kendaraan bermotor lain makin bersesak-sesak di ruang jalan tersisa.
Banyak pula pihak menyayangkan DKI memilih mengembangkan angkutan massal berbasis jalan bukan rel. Kala itu, kereta komuter Jabodetabek walau begitu buruk dan terbatas layanannya dinilai dapat dibenahi dan dilanjutkan menjadi lebih efektif dengan pembangunan jaringan kereta komuter di internal wilayah Jakarta.
Meskipun diakui lebih mahal biayanya, sebagian pakar transportasi dan tata ruang urban berpendapat, angkutan umum massal berbasis rel akan lebih efektif sebagai tulang punggung pergerakan kota besar dan padat seperti Jakarta karena mampu mengangkut lebih banyak penumpang. Contoh sukses kota yang menggantungkan tulang punggung mobilitas warganya lewat transportasi berbasis rel adalah Singapura dan Tokyo, Jepang. Kedua kota itu contoh tepat karena terbilang setara dengan Jakarta dari sisi luas wilayah maupun kepadatan penduduknya.
Baca juga: “Gangsta's Paradise”
Intervensi pemerintah pusat kemudian memberi warna baru pada Jakarta dengan hadirnya angkutan massal berbasis rel modern yang kelak diproyeksikan menjadi tulang punggung mobilitas warga di dalam Kota Jakarta dan di Jabodetabek.
Ketika akhirnya DKI tetap berkeras memilih membangun jaringan bus berjalur khusus di tengah median jalan dengan akses halte yang berbeda dari bus umum reguler, gegar budaya pun terjadi.
Perlu waktu bagi masyarakat awam juga para ahli menerima pilihan Pemprov DKI. Di sisi lain, tak mudah mengajak publik memahami bahwa butuh upaya keras dan tak selalu seketika dapat memberi dampak positif untuk mewujudkan angkutan umum yang mudah diakses, nyaman, murah, bebas macet sebagai alternatif pilihan dalam bermobilitas.
Bagi Pemprov DKI, koridor satu Transjakarta bagai pertaruhan yang tak bisa pula disebut berhasil dimenangkan. Pemprov DKI tak segera mampu mempercepat pembangunan koridor-koridor Transjakarta lainnya yang dijanjikan bakal saling tersambung sehingga seluruh ibu kota terlayani bus berjalur khusus. Baru pada 2017 atau 13 tahun kemudian, sebanyak 13 koridor utama yang ditargetkan terbangun.
Dalam perjalanannya selama hampir dua dekade bersikukuh mengembangkan angkutan umum berbasis jalan ini, DKI berkali-kali pula mengubah konsep pembangunan Transjakarta dan membuat penyesuaian-penyesuaian.
Baca juga: Kelaparan dan Malnutrisi di Perkotaan Itu Nyata
Jika semula semua koridor harus berjalur khusus, kini tidak semua koridor menerapkannya. Di koridor yang melewati jalan-jalan sempit, jalur khusus ditiadakan diganti jalur bersama dengan kendaraan lain. DKI juga membuka rute-rute baru untuk memperluas jangkauan layanan Transjakarta dengan tetap terhubung atau bersinggungan dengan 13 koridor utama.
Intervensi pemerintah pusat kemudian memberi warna baru pada Jakarta seiring hadirnya angkutan massal berbasis rel modern yang kelak diproyeksikan menjadi tulang punggung mobilitas warga di dalam Kota Jakarta dan di Jabodetabek. Didahului dengan revolusi pengelolaan dan layanan kereta komuter KRL Jabodetabek sejak sekitar tahun 2010, kemudian disusul mulai dibangunnya MRT Jakarta, lalu LRT Jakarta dan LRT Jabodebek.
Angkutan umum reguler sekelas mikrolet juga baru beranjak dirangkul oleh DKI. Dengan penataan kepemilikan armada wajib berbadan hukum dan dikelola profesional dalam satu payung JakLingko, sekaligus mengintegrasikannya dengan angkutan umum massal, angkutan kecil itu berganti nama menjadi mikrotrans.
Angkutan umum milik individu yang beroperasi dengan sistem kejar setoran alias berusaha mendapatkan pemasukan dari sebanyak-banyaknya penumpang perlahan tergantikan dengan sistem layanan sesuai standar pelayanan minimum (SPM), seperti halnya standar untuk Transjakarta, MRT, dan LRT. Pemerintah daerah membeli layanan sesuai SPM per kilometer dari para operator.
Baca juga: Rencana Detail Tata (R)Uang
Keberadaan Transjakarta didukung mikrotrans yang terlihat begitu melimpah banyak ternyata belum menjawab kebutuhan warga untuk dilayani dari first mile (titik awal keberangkatan) hingga end mile (tujuan akhir).
Semangat kebijakan tersebut adalah operator hanya perlu fokus memberi layanan sesuai SPM kepada pengguna tanpa perlu memikirkan pendapatan dari pelanggannya. Masyarakat dijanjikan mendapat kualitas layanan lebih baik dengan tiket ramah kantong. Selisih pendapatan dari tiket dengan harga layanan per kilometer menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menyubsidinya.
Sekarang, kasatmata Jakarta adalah kota yang memiliki jaringan transportasi publik paling komplet lagi paling luas cakupannya se-Indonesia. Namun, jika melihat lebih dekat, integrasi antarmoda antara Transjakarta dengan MRT dan LRT maupun mikrotrans masih serupa bibit yang perlu perawatan intensif, masih tahap sangat awal, baik terkait sistem tiket maupun kemudahan berpindah dari satu moda ke moda lain.
Persoalan infrastruktur dasar juga masih belum beres. Lihat saja halte atau tempat pemberhentian bus di luar 13 koridor utama yang belum seragam. Tempat pemberhentian mikrotrans banyak yang tak layak. Bahkan, ada yang sekadar tiang di pinggir jalan dengan papan penanda tempat pemberhentian angkutan.
Pengguna Transjakarta dalam dua pekan terakhir terimbas sistem baru satu penumpang satu kartu yang tidak disertai ketersediaan mesin pemindai kartu yang memadai. Akibatnya, terjadi kekacauan aliran naik turun penumpang hampir di semua rute, termasuk antrean panjang yang memakan waktu lama hanya untuk mengakses bus.
Baca juga: Bantuan Setara Rp 20.000 Per Hari demi Menjaga Daya Beli
Di sisi lain, keberadaan Transjakarta didukung mikrotrans ditambah dengan MRT dan LRT yang terlihat begitu melimpah, ternyata belum menjawab kebutuhan warga untuk dilayani dari first mile (titik awal keberangkatan) hingga end mile (tujuan akhir). Saat keluar dari rumah, belum banyak warga yang bisa mengakses dengan mudah layanan mikrotrans. Sebagian warga masih harus berjalan lebih dari 10-15 menit untuk sampai ke pemberhentian mikrotrans terdekat yang akan mengantar mereka ke halte Transjakarta atau stasiun MRT, KRL, dan LRT.
Tak heran jika masyarakat pun masih memilih menggunakan kendaraan pribadi dan ojek serta taksi daring atas dasar kemudahan akses. Iming-iming tiket murah angkutan umum, tak perlu pusing cari parkir, sampai ikut mewujudkan lingkungan yang lebih baik dengan menggunakan angkutan umum, tak mempan menggaet pelanggan, karena kualitas akses layanan transportasi publik sejatinya belum baik.
Dengan pekerjaan rumah yang masih berderet dan butuh penyelesaian segera, fokus pembangunan angkutan umum, khususnya Transjakarta, seakan justru terpecah.
DKI gencar merevitalisasi halte, bahkan sampai membangun halte ikonik serba besar, megah, dan dipromosikan sebagai spot nongkrong kekinian untuk warga. Bisa jadi, yang tertarik berwisata memenuhi anjungan atap halte nantinya bukanlan pengguna angkutan umum sehari-hari. Makin bermasalah ketika halte ikonik seperti di Halte Bundaran Hotel Indonesia dan Halte Tosari dihujani kritik para arsitek, sejarawan, pemerhati kota, dan arkeolog karena berpotensi mencederai kawasan bersejarah Bundaran HI beserta Tugu Selamat Datang di poros Sudirman-Thamrin.
Baca juga: Harga BBM Naik, Transportasi Publik Tetap Tak Dilirik
Membangun dengan prinsip yang penting ada dulu, terlebih jika bermotif hanya ingin dinilai sukses dalam sekejap ini, tak seharusnya dibiasakan. Pembenahan dan banyak penyesuaian perlu dilakukan segera agar aneka moda yang tersedia melimpah itu benar-benar dapat dimanfaatkan publik secara maksimal sesuai fungsinya.
Sejatinya, membangun jaringan transportasi publik bukanlah perkara mudah dan bukanlah pekerjaan singkat. Kesinambungan dan percepatan program pembangunan jaringan angkutan umum untuk mengurangi kemacetan dan mewujudkan lingkungan kota lebih sehat demi kenyamanan warganyalah yang seharusnya diperjuangkan setiap pengelola kota, terutama para pemimpinnya.
Baca juga: Catatan Urban