Harga BBM Naik, Transportasi Publik Tetap Tak Dilirik
Kebijakan pemerintah belum berpihak pada pembangunan sistem transportasi publik perkotaan. Kenaikan harga bahan bakar minyak kali ini pun tidak sekaligus untuk menggenjot pembangunan angkutan umum dan ramah lingkungan.
Oleh
NELI TRIANA
·4 menit baca
SUPRIYANTO
Neli Triana, Wartawan Kompas
Tubuh BisKita Trans Pakuan menjulang di antara kepadatan kendaraan bermotor yang nyaris tak bergerak di seputaran Tugu Kujang di Kota Bogor, Jawa Barat, sore akhir pekan lalu. Kaca jendela yang lebar dan bening membagikan pemandangan para penumpang berjejalan di dalam bus. Duduk maupun berdiri. Bus yang masih baru, bersih, dan menarik itu bagai berjuang sendiri menebar pesona angkutan umum di tengah lautan kemacetan.
Tak aneh jika banyak orang beranggapan buat apa naik angkutan umum dan tetap terjebak macet menggila seperti sore itu. Jadi buat apa ada angkutan umum? Buat apa pula bus-bus baru itu diadakan, dipercantik dengan interior nyaman, berpendingin ruangan, tiketnya pun murah? Pemikiran tersebut masih melekat di benak sebagian warga, termasuk para pembuat kebijakan dan wakil rakyat.
Laporan Kontan.co.id menyebutkan, program subsidi transportasi publik lewat pembelian layanan angkutan umum (buy the service/BTS) menjadi sorotan Komisi V DPR RI dalam rapat dengar pendapat dengan Kementerian Perhubungan, akhir Juni lalu.
Komisi V meminta evaluasi Kemenhub terhadap program yang dijalankan resmi sejak 2020. Dari hasil evaluasi akan ditentukan apakah kebijakan yang baru berjalan sekitar dua tahun itu berhasil atau gagal. Jika dinilai gagal, program BTS berpotensi dihentikan.
Moda BisKita Trans Pakuan melintasi Jalan Raya Bogor, Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (12/11/2021). Animo warga untuk naik moda angkutan umum yang disubsidi negara ini cukup tinggi.
Berdasarkan data Kemenhub, kebijakan BTS dimulai sejak 2020. Pada 2022 ini, baru 10 kota di Indonesia yang menerapkannya, yaitu Medan, Palembang, Yogyakarta, Surakarta, Denpasar, Bandung, Surabaya, Makassar, Banjarmasin, dan Banyumas. Sebelum di 10 kota itu, BTS diuji coba pertama kali di Kota Bogor. Tahun 2022 ini, untuk 10 kota di luar Bogor, terdapat 46 koridor layanan dengan 841 unit armada bus pendukung.
Kurangnya keberpihakan pada angkutan umum juga terlihat dalam kebijakan penanganan dampak inflasi akibat kenaikan harga BBM.
BTS terwujud atas kerja sama pemerintah pusat, dalam hal ini Kemenhub, dengan pemerintah kota yang diwakili badan usaha bidang transportasi milik daerah. Pusat membeli layanan angkutan umum per kilometer sesuai standar pelayanan minimal (SPM) yang diusahakan oleh pemda. Besaran anggaran tiap tahun terus naik dan pada 2022 ini total untuk 10 kota mencapai Rp 530 miliar.
Rencana pemerintah pusat dan daerah, secara bertahap bus-bus baru dalam skema BTS akan terus diperbanyak untuk menggantikan angkutan umum konvensional yang tak ber-SPM serta diproyeksikan menjadi tulang punggung sarana mobilitas masyarakat. Kemacetan diharapkan berkurang, begitu juga dengan kerugian negara akibat pemborosan penggunaan bahan bakar minyak, menekan polusi udara, yang berarti mewujudkan kota yang lebih layak huni.
Penerapan program BTS ini baru dalam fase sangat awal setelah berpuluh tahun kebijakan negara ini menepikan pembangunan sistem layanan transportasi publik yang baik. Namun, dukungan sepertinya masih jauh panggang dari api.
Warga antusias mencoba Bus Transbanyumas Koridor 3 secara gratis di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Selasa (7/12/2021).
Tak lama setelah harga bahan bakar minyak resmi dinaikkan, Komisi V DPR RI menyetujui pagu alokasi anggaran Kemenhub berdasar nota keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2023 sebesar Rp 33,44 triliun pada Kamis (8/9/2022). Dana itu untuk semua kegiatan Kemenhub, termasuk di bawah direktorat jenderal perhubungan darat, laut, dan udara. Pagu yang disetujui itu bahkan tak sampai separuhnya dari Rp 73,84 triliun yang diajukan Kemenhub.
Kurangnya keberpihakan pada angkutan umum juga terlihat dalam kebijakan penanganan dampak inflasi akibat kenaikan harga BBM.
Pemerintah menyiapkan Rp 24,17 triliun yang terbagi dalam bantuan langsung tunai senilai Rp 12,4 triliun untuk 20,65 penerima, bantuan subsidi upah Rp 9,6 triliun bagi pekerja dengan gaji maksimal Rp 3,5 juta per bulan untuk 16 juta penerima, serta Rp 2,17 triliun berupa dukungan pemda dari 2 persen dana alokasi umum atau dana bagi hasil (DAU/DBH).
Untuk mengatur dukungan pemda, diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.07/2022 tentang Belanja Wajib dalam rangka Penanganan Dampak Inflasi Tahun Anggaran 2022. Dalam Pasal 2 disebutkan, daerah menganggarkan belanja wajib perlindungan sosial pada Oktober-Desember tahun ini.
Belanja wajib yang dimaksud, antara lain, pemberian bantuan sosial termasuk kepada tukang ojek, usaha mikro, kecil, dan menengah, serta nelayan. Selain itu, bisa juga untuk penciptaan lapangan kerja dan/atau pemberian subsidi sektor transportasi angkutan umum di daerah.
Dari PMK tersebut, subsidi angkutan umum hanyalah salah satu opsi bantuan dari sebagian kecil wewenang pemda. Jika pemda tidak merasa transportasi publik itu penting, tentu akan dikeluarkan dari sasaran penerima. Dengan hanya 2 persen dari DAU/DBH, realisasi besaran bantuan juga berbeda-beda di tiap daerah sehingga belum tentu mampu memenuhi kebutuhan yang muncul, termasuk untuk subsidi angkutan umum.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara saat bertandang ke harian Kompas, Rabu (7/9/2022), menyatakan sudah diprediksi bahwa kala pandemi Covid-19 melandai dan kegiatan masyarakat berangsur kembali menggeliat, akan terjadi inflasi. Indonesia sudah bersiap dengan langkah antisipasi, termasuk dengan program bantuan sosial. Saat prediksi itu menjadi kenyataan ditambah dengan situasi sulit lain yang menyebabkan harga BBM harus dinaikkan, formula antisipasi serupa dengan bantuan sosial di dalamnya kembali diterapkan.
Menghadapi inflasi kala pandemi surut dan potensi krisis ekonomi juga telah membuat Paris dan Perancis—sebagai negara induk kota itu— memasang kuda-kuda antisipasi dini. Salah satu program utamanya adalah menjadikan Paris kota 15 menit.
Untuk membiayai program yang diluncurkan sejak 2020 itu, anggaran kota selain untuk penanganan Covid-19, dialihkan, antara lain, untuk program prioritas pembangunan jaringan angkutan umum dan jalur pejalan kaki. Kapasitas dan cakupan layanan semua moda dalam sistem transportasi publik ditambah. Sepeda resmi jadi pelengkap moda transportasi kota.
Mulai tahun depan, ke mana-mana di dalam Kota Paris ditargetkan ditempuh maksimal 15 menit dengan semua fasilitas tersebut. Kota yang bergerak lebih efisien diyakini mampu memutar cepat roda ekonomi negara.
Di sini, rupanya memilih berpikir sederhana, dengan seadanya menyubsidi angkutan umum, ekonomi terbukti terus berputar dengan jutaan orang yang harus tetap berburu BBM agar sepeda motor dan mobilnya dapat melaju meskipun sembari bermacet-macet ria. Lagi pula bansos-bansos lain masih lancar dikucurkan. Tak perlu susah payah berpikir, membedah, lalu mengalihkan anggaran untuk pembangunan angkutan umum.
Bagaimana nasib kita ke depan? Ya, dipikir nanti saja.