Sejumlah tujuan ditetapkan dalam Pembangunan Ibu Kota Negara di Kalimantan Timur. Salah satunya mendongkrak gravitasi ekonomi RI sehingga tak terpusat di Jawa.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Rencana pemindahan Ibu Kota disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraan di depan sidang bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 16 Agustus 2019. Ketika itu, presiden meminta izin untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Pulau Kalimantan, yang kemudian dipastikan berlokasi di Kaltim.
Hampir dua tahun berselang setelah pengumuman presiden itu, informasi terkait rencana pemindahan Ibu Kota ibarat timbul tenggelam. Awal Maret 2021, dalam wawancara dengan tim Kompas, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, menyampaikan beberapa pernyataan krusial terkait Ibu Kota baru.
Ibu Kota Negara disebut akan menjadi jumpstart guna mengatasi dampak pandemi, dan kembali ke trajectory perekonomian RI mewujudkan Visi Indonesia 2045, agar keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah.
Peningkatan kapasitas Kaltim, diharapkan juga membuat gravitasi ekonomi tak terpusat di Jawa.
Rencana ini juga terkait proyeksi Kaltim sebagai basis perekonomian yang kokoh, dan bisa menjadi bantalan saat terjadi guncangan-guncangan. Peningkatan kapasitas Kaltim, diharapkan juga membuat gravitasi ekonomi tak terpusat di Jawa. Bukan Jawa-sentris, tetapi Indonesia-sentris.
Presiden "menghangatkan" kabar Ibu Kota Negara ini dengan mengumumkan rancangan pradesain Istana Negara karya Nyoman Nuarta, via Twitter. Sembari mengumumkan rancangan pradesain itu, presiden juga berharap masukan.
Berbagai konsep terkait pemindahan Ibu Kota itu sangat ideal. Terlebih, DKI Jakarta sebagai ibu kota Indonesia saat ini, sudah terlalu berat untuk dibenahi. Bahkan, biaya untuk memperbaiki Jakarta disebut lebih besar ketimbang membangun Ibu Kota di Kaltim.
Namun, tetap perlu dicermati sejumlah potensi masalah yang biasa muncul jika ada proyek pembangunan berskala besar. Sebut saja kerusakan lahan akibat pembalakan liar hingga tambang ilegal, yang sejak lama terjadi sekitar kawasan pengembangan IKN. Atau, dampak sosial, ekonomi dan budaya terhadap warga suku asli setempat, salah satunya suku Dayak Paser Mului.
Belum lagi tanda tanya terkait dampak terhadap fauna khas Kalimantan seperti pesut pesisir (Orcaella brevirostris), dan bekantan (Nasalis larvatus). Jika dalam puluhan tahun terakhir sudah terjadi degradasi terhadap kualitas habitat mereka, bagaimana jika nanti ada kawasan Ibu Kota Negara, berikut volume kepadatan dan kesibukan warganya?
Ada sejumlah negara yang pernah memindahkan ibu kota mereka, seperti Brasil, India, Myanmar dan Mesir. Pengalaman negara-negara tersebut patut menjadi cermin bagi Indonesia, guna meminimalisasi masalah-masalah yang timbul di kemudian hari.
Pastinya, dalam proses pemindahan Ibu Kota Negara, yang harus dipastikan adalah kepentingan negara dan masyarakat, bukan kepentingan segelintir kelompok saja. Niat mulia memindahkan Ibu Kota karena Jakarta yang sudah sarat problem, perlu dikawal agar implementasinya tak berbuah kekecewaan, melainkan benar-benar kebanggaan.