Tak hanya payung hukum, pemerintah diminta mempertimbangkan berbagai aspek terkait rencana pemindahan ibu kota negara di tengah ekonomi yang belum pulih akibat pandemi Covid-19.
Dari Eropa-Amerika, Asia kini mengambil alih peran sebagai pusat pertumbuhan megakota. Pilihannya hanya menjadi lebih baik atau mengulang cerita buruk sejarah perkotaan Eropa pada tahun 1800-an.
Berbagai tantangan menyelimuti rencana pemerintah memindahkan ibu kota di tengah pandemi. Pemulihan kesehatan, ekonomi, dan meningkatkan kualitas SDM dinilai lebih penting.
Pembenahan hak masyarakat lokal yang lebih dulu bermukim, bukan hanya masyarakat adat, dinilai penting didahulukan sebelum rencana pemindahan ibu kota negara ke Kaltim terealisasi.
Sebanyak 82 persen lahan di calon ibu kota negara baru di Kalimantan Timur berupa perkebunan, pertambangan, dan lainnya. Lahan tersisa tak luput dari alih fungsi liar. Kehidupan sebagian masyarakat lokal pun terdesak.
Teluk Balikpapan, habitat pesut dan satwa dilidungi lain akan menjadi salah satu akses utama dalam proses pembangunan ataupun ketika ibu kota negara baru resmi pindah ke Kalimantan Timur.
Kamri, seorang warga di lokasi calon ibu kota negara baru, mengatakan daerahnya pasti akan ramai kelak. Awal-awal pasti ada pekerjaan angkut-angkut untuknya yang tidak lulus SD. Ke depan, ia tidak tahu akan kerja apa.
Masyarakat di sekitar lokasi ibu kota negara baru di Kalimantan Timur merasa senang sekaligus cemas. Pemerintah didesak menyiapkan dulu kebijakan yang melindungi hak-hak hidup masyarakat lokal.
Pembenahan menyeluruh, baik lingkungan nonperkotaan maupun perkotaan, menjadi pekerjaan rumah demi mewujudkan ibu kota baru yang berdampak baik bagi semua pihak.
Pemindahan ibu kota negara berpeluang menggeser arus kapital dan sumber daya manusia di wilayah timur Indonesia. Namun, seberapa kuat keterkaitan pergeseran tersebut dengan perbaikan ekonom dan kesejateraan masyarakat?