Rencana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur memberi harapan pemerataan ekonomi. Namun, publik belum sepenuhnya yakin hal itu segera terwujud dan mencermati dampak sosial-lingkungan yang mungkin terjadi.
Oleh
M Puteri Rosalina (Litbang Kompas)
·4 menit baca
Presiden Joko Widodo pada Agustus 2019 mengumumkan rencana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur. Alasan pemindahan adalah untuk mengurangi ketimpangan, memeratakan pembangunan, dan menumbuhkan pusat ekonomi baru. Selain juga karena alasan daya dukung dan daya tampung Pulau Jawa yang terus berkurang.
Menurut paparan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), di ibu kota baru pemerintah akan mengembangkan sektor baru: industri teknologi bersih, farmasi terintegrasi, industri pertanian berkelanjutan, ekowisata, bahan kimia dan produk kimia, serta energi rendah karbon. Selain itu juga tetap mengembangkan sektor yang sudah ada, seperti pertanian, ekowisata, pertambangan, dan perkebunan.
Bappenas memproyeksikan ibu kota negara (IKN) baru akan mengembangkan ekonomi regional menjadi 180 miliar dollar AS dan menciptakan 4,3 juta-4,8 juta lapangan pekerjaan di Kaltim pada 2045. Masyarakat cukup optimistis dengan rencana dan prediksi pemerintah tersebut.
Hal itu terungkap dalam jajak pendapat Kompas, akhir Maret lalu. Tiga perempat lebih publik yakin pemindahan IKN ke Kaltim bisa meningkatkan roda perekonomian di Kalimantan dan kawasan Indonesia Timur.
Harapan akan perekonomian yang lebih maju juga terlontar dari Heriyanto (57), warga Desa Tengin Baru, Kecamatan Sepaku, yang ditemui Kompas awal Maret lalu. Dalam keyakinannya, jika ibu kota sudah pindah, Kecamatan Sepaku akan dilengkapi berbagai infrastruktur fisik yang akan memicu ekonomi desanya.
Selama ini, prasarana fisik di Sepaku masih terbatas yang berdampak pada kelancaran distribusi pertanian. Jalan mulus baru terbangun setelah Sepaku ditetapkan menjadi salah satu wilayah IKN. Sebelumnya, warga Kecamatan Sepaku harus melalui jalan berbatu dan beraspal di beberapa titik sepanjang 42 kilometer untuk mencapai persimpangan Km 38, akses menuju Balikpapan dan Samarinda.
Keyakinan Heriyanto tersebut serupa dengan hampir 70 persen responden jajak pendapat Kompas. Ke depan, IKN pasti akan dilengkapi infrastruktur perkotaan, seperti air, listrik, jalan, pengelolaan sampah, dan telekomunikasi. Pembangunan IKN sejauh ini direncanakan berkonsep Kota Kompak, Efisien, dan Sirkular. Kota baru tersebut diharapkan menjadi kota percontohan yang berkelanjutan.
Optimisme menurun
Namun, angan tersebut sedikit tertahan dengan pandemi Covid-19. Rencana pemerintah untuk melakukan soft groundbreaking pada akhir 2020 dengan membangun jalan akses dari Balikpapan ke lokasi IKN belum terealisasi. Rencana tersebut baru akan terlaksana pada semester I tahun 2021.
Pemunduran rencana tersebut sedikit banyak membuat tingkat optimisme masyarakat pada realisasi pemindahan IKN menurun. Tahun 2019, setelah Presiden mengumumkan rencana kepindahan IKN, 64 persen meyakini pemindahan tersebut bakal terwujud pada 2024. Namun, akhir Maret lalu, tingkat keyakinan menurun menjadi 60 persen.
Setahun pandemi, memang tidak ada proyek fisik di calon lokasi inti ibu kota. Pembangunan fisik yang ada berupa peningkatan jalan akses utama dari simpang Km 38-Samboja menuju Semoi-Sepaku-Petung. Lalu, pembangunan Bendungan Sepaku Semoi di Kecamatan Sepaku yang akan menjadi salah satu sumber air baku IKN.
Hal lain yang melatarbelakangi penurunan optimisme kepindahan terkait penyelesaian RUU Ibu Kota Negara. Hampir 60 persen tidak yakin pemerintah dan DPR bisa menyelesaikan aturan pemindahan IKN pada tahun ini. Meski demikian, akhir Maret lalu, RUU IKN telah masuk ke Program Legislasi Nasional Prioritas 2021, yang artinya UU IKN selesai tahun ini.
Persoalan pembiayaan pembangunan IKN yang mencapai Rp 466 triliun juga berdampak pada tingkat keyakinan masyarakat. Bappenas menyebutkan porsi terbesar sumber pembiayaan ibu kota akan diperoleh lewat skema kerja sama pemerintah dan badan usaha.
Skema pembiayaan inilah yang membuat pendapat publik terbelah. Sebanyak 42 persen yakin skenario tersebut berjalan. Namun, 45,5 persen lainnya tidak yakin karena pembiayaan dari investasi sulit diperoleh di masa pandemi ini.
Kualitas lingkungan
Di sisi lain, pembangunan IKN juga memunculkan kekhawatiran pada menurunnya kualitas lingkungan. Hampir tiga perempat responden mengkhawatirkan kerusakan lingkungan alam Kalimantan.
Kondisi saat ini saja, hutan Kalimantan telah menyusut hampir 50 persen sejak 1950. Deforestasi hutan, selain untuk perkebunan sawit, juga untuk ekspansi konsesi pertambangan dan hutan tanaman industri. Belum lagi urusan pencemaran perairan sungai, laut, dan danau karena limbah industri ataupun transportasi laut.
Dampak terbaru kerusakan alam adalah banjir besar yang melanda Kalimantan Selatan, Januari lalu. Selain itu, kekhawatiran pada kepunahan flora dan fauna endemik Kalimantan. Menurut laman International Union for the Conversation of Nature and Natural Resources (IUCN), ada sejumlah fauna dan flora dalam status kritis dan terancam punah, di antaranya bekantan, pesut, beruang madu, dan orangutan, sedangkan jenis tanaman meliputi meranti, bangkirai, dan kruing.
Hampir 70 persen responden juga cukup resah dengan sejumlah masalah sosial yang akan muncul. Paparan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, ”Inklusi Masyarakat Lokal dalam Perencanaan Pembangunan IKN” (Yogaswara, 2020), menyebutkan sejumlah masalah sosial yang mungkin timbul.
Masalah sosial itu adalah tumpang tindih kepemilikan dan batas tata guna tanah, hilangnya identitas masyarakat asli, kesempatan kerja dan berusaha terbatas, hingga ketimpangan pendidikan antara penduduk lokal dan pendatang. Hal tersebut sejak sekarang harus diidentifikasi terlebih dulu untuk meminimalkan konflik yang akan terjadi.
Sebagian besar publik berharap pemindahan IKN untuk menciptakan pemerataan dan pertumbuhan ekonomi bisa segera terwujud. Saatnya menanti kerja nyata pemerintah untuk menyelesaikan regulasi IKN dan memulai pembangunan fisik di lokasi inti pada semester II mendatang.