Isu pembangunan ibu kota baru dibahas dalam seri diskusi yang dihelat Ikatan Ahli Perencana di Go Work, FX Sudirman, Jakarta, Rabu (31/7/2019) sore. Diskusi dirangkum dalam Citiestalk ”Mencari Model Pembiayaan Kota Baru di Indonesia-Persiapan Ibu Kota Baru”.
Oleh
neli triana
·5 menit baca
Pemerintah Indonesia memastikan akan memindahkan lokasi ibu kotanya setidaknya mulai 2024. Hal ini berarti membangun kota baru dari awal. Yang menarik, hingga saat ini, Indonesia belum memiliki pengalaman membangun kota yang benar-benar baru dari titik nol.
Isu pembangunan ibu kota baru ini dibahas hangat dalam seri diskusi yang dihelat Ikatan Ahli Perencana di Go Work, FX Sudirman, Jakarta, Rabu (31/7/2019) sore. Diskusi yang dipadati peserta itu dirangkum dalam Citiestalk bertema ”Mencari Model Pembiayaan Kota Baru di Indonesia-Persiapan Ibu Kota Baru”. Diskusi ini merupakan lanjutan dari acara sebelumnya yang bertajuk ”Pemindahan Ibu Kota: Mencari Kota Layak Huni Indonesia” pada 27 Juni 2019.
Pada diskusi Rabu sore itu menghadirkan Executive Director Real Estat Indonesia (REI) Dhani Muttaqin, Executive Director Center for Infrastructure Studies of Indonesia (CISI) Tory Damantoro, pendiri Urban+ Sibarani Sofian, President Director Jacobs Indonesia Tim Anderson, serta President Indonesian Association of Urban & Regional Planners Bernardus Djonoputro sebagai fasilitator.
Saat membuka Citiestalk, Bernardus Djonoputro mengatakan, Indonesia belum memiliki pengalaman membangun kota baru. Yang terjadi, selama ini, pembangunan diserahkan kepada swasta. Tengok saja Bumi Serpong Damai (BSD) di Tangerang dan Tangerang Selatan, Banten.
Jadi, bagaimana nanti saat membangun ibu kota baru?
Terlebih, sesuai data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), ibu kota baru akan dibangun di Kalimantan di lahan seluas 40.000 hektar (ha). BSD yang sudah tampak begitu luas ternyata hanya seluas sekitar 6.000 ha. Itu pun belum semuanya menjadi area terbangun.
Untuk itu, rencana memindahkan ibu kota di kawasan lain yang jauh dari Jakarta dan di lahan yang sangat luas akan menciptakan tantangan amat besar.
Diinisiasi urbanisasi
Dhani Muttaqin mewakili para pengembang swasta yang tergabung di REI mengatakan, sebelum bicara membangun ibu kota baru, perlu dipahami pemicu dikembangkannya kota baru selama ini di Indonesia.
Menurut Dhani, gejala pembangunan kota baru karena diinisasi urbanisasi. Urbanisasi dipicu faktor migrasi, juga penambahan penduduk dalam satu kawasan karena reproduksi atau hal lain. Lama-kelamaan ada ledakan kebutuhan tempat tinggal, juga infrastruktur, seperti transportasi publik, jaringan jalan, sekolah, dan rumah sakit.
Mewadahi semua itu, diperlukan pengembangan kawasan di lokasi yang sama atau membuka kawasan-kawasan baru.
”Saat ini, di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) sudah ada 33 kawasan kota baru. Di Indonesia, sesuai rencana pemerintah, ada 22 kawasan pengembangan baru,” katanya.
Namun, pengembangan di Jabodetabek bukanlah yang patut dicontoh, apalagi untuk membangun ibu kota baru nanti.
Pengembangan di Jabodetabek bukanlah yang patut dicontoh, apalagi untuk membangun ibu kota baru nanti.
Kota-kota baru yang dibangun di sekitar ibu kota rata-rata berfungsi sebagai perumahan. Kawasan-kawasan baru di Bekasi, di Tangerang Raya, juga ke arah Depok dan Bogor, pada dasarnya sekadar tempat menginap. Setiap hari, sebagian besar warganya bolak-balik bekerja di Jakarta.
Di kawasan baru yang kini terus melebar itu, infrastruktur berupa jalan dan jaringan transportasi publik pun tidak memadai. Jadinya adalah Jabodetabek seperti saat ini yang berkutat pada kemacetan, daya dukung lingkungan terus tergerus, dan segudang masalah lain.
Dengan meluasnya kawasan pengembangan di sekitarnya, sesuai data Badan Pusat Statistik, baru 51,67 persen warga ibu kota yang memiliki rumah terhitung hingga 2017. Sisanya belum memiliki tempat tinggal dan 40 persen di antaranya merupakan masyarakat menengah ke bawah.
Pemerintah dan swasta
Berkaca dari Jabodetabek, Dhani melanjutkan, untuk membangun kota baru yang baik, ada tugas-tugas pemerintah dan swasta yang harus sama-sama dipenuhi.
Pemerintah wajib memiliki kebijakan perencanaan strategis, perencanaan tingkat nasional-regional-spasial, dan menyediakan insentif, seperti mempermudah proses bisnis, tetapi ketat dalam hal perizinan.
Selain itu, penting bagi pemerintah menyediakan infrastruktur dasar, seperti jalan, jembatan, air bersih, dan energi seperti listrik. Fasilitas publik, seperti jaringan transportasi umum dan pengelolaan sampah, pun disediakan sejak awal.
Selanjutnya, kata Dhani, pemerintah bisa menyediakan lahan, antara lain melalui skema kerja sama dengan pihak lain.
Swasta, dalam hal ini, dapat digandeng untuk penyediaan lahan, perencanaan tata lahan, pembiayaan pembangunan kawasan, pembangunan fasilitas umum dan sosial, seperti tempat ibadah dan taman, serta sebagai pengelola kawasan.
Tory Damantoro menambahkan, membangun kota, termasuk ibu kota baru, harus diawali dengan perencanaan dan target yang jelas serta terarah.
”Membangun ibu kota dengan kira-kira 1,5 juta jiwa penghuninya yang rata-rata merupakan aparatur sipil negara. Kualitas infrastruktur yang men-deliver public service yang dibutuhkan seperti apa? Apa mau seperti Jabodetabek sekarang yang tiap saat saluran dibongkar untuk proyek kabel listrik, kabel optik, agar tidak tersumbat sampah? Itu ditentukan dulu, baru merencanakan pembiayaannya,” tutur Tory.
Membangun ibu kota dengan kira-kira 1,5 juta jiwa penghuninya yang rata-rata merupakan aparatur sipil negara. Kualitas infrastruktur yang men-deliver public service yang dibutuhkan seperti apa? Apa mau seperti Jabodetabek sekarang yang tiap saat saluran dibongkar untuk proyek kabel listrik, kabel optik, agar tidak tersumbat sampah? Itu ditentukan dulu, baru merencanakan pembiayaannya.
Ia menambahkan, dengan memahami pasti seperti apa nanti kota baru itu dikembangkan, akan kelihatan peluang-peluang pembiayaan dan kegiatan di kawasan baru yang bakal menumbuhkan revenue.
Sibarani Sofian menegaskan, membangun kota baru, sebagai ibu kota, pusat ekonomi, atau fungsi lain, tetap harus dilandasi dengan desain kota secara menyeluruh yang melibatkan people, nature, dan business.
”Kadang kepentingan pelestarian alam dengan kebutuhan orang atau warga, juga kepentingan bisnis, seperti sukar menyatu. Nanti ada yang dikalahkan. Padahal, jika sedari awal perencanaannya baik dan mempertimbangkan ketiga faktor utama itu, kota yang memungkinkan kebutuhan ketiganya terpenuhi bisa terwujud. Apalagi, saat ini teknologi sudah maju dan bisa diterapkan,” kata Sibarani.
Kadang kepentingan pelestarian alam dengan kebutuhan orang atau warga, juga kepentingan bisnis, seperti sukar menyatu. Nanti ada yang dikalahkan. Padahal, jika sedari awal perencanaannya baik dan mempertimbangkan ketiga faktor utama itu, kota yang memungkinkan kebutuhan ketiganya terpenuhi bisa terwujud. Apalagi, saat ini teknologi sudah maju dan bisa diterapkan.
Pemerintah, lanjut Sibarani, memang harus berperan sebagai pemimpin dan endorser yang bisa menghela pihak swasta melaksanakan proyek kota dengan baik.
Tim Anderson pun mengingatkan, membangun kota yang difungsikan khusus sebagai ibu kota tentunya harus bisa mewujudkan kota yang mencerminkan seluruh Nusantara, wajah bangsa. Dari sana baru ditelusuri kebutuhan untuk mewujudkan aspirasi itu.
”Sekali lagi, perencanaan awal jadi penentu. Ibu kota tentunya punya banyak hal yang lebih rumit dibandingkan kota baru yang sudah ada,” kata Tim.
Sekali lagi, perencanaan awal jadi penentu. Ibu kota tentunya punya banyak hal yang lebih rumit dibandingkan kota baru yang sudah ada.
Demi ibu kota baru, juga agar Jakarta dapat fokus menjadi pusat perekonomian nan mumpuni dengan segenap warganya terayomi secara layak, peran pemerintah sebagai pengambil kebijakan memang harus lebih perkasa.