Kesadaran untuk Bugar Tumbuh di Tengah Pandemi Covid-19
Di balik dampak negatif pandemi Covid-19, itu memicu semangat warga untuk lebih aktif berolahraga. Selain menjaga kesehatan, olahraga bisa tetap menjaga kodrat manusia sebagai makhluk sosial dan menjernihkan pikiran.
Di balik dampak negatif pandemi Covid-19, tetap ada hikmah yang bisa dipetik. Kesadaran masyarakat untuk lebih bugar tumbuh di tengah pandemi. Waktu luang yang lebih banyak dan niat meningkatkan daya tahan tubuh membawa masyarakat lebih aktif berolahraga ketimbang masa-masa sebelum pandemi.
Di antara puluhan hingga ratusan orang di sekitar Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta Pusat, Sabtu (18/6/2022) pagi, lelaki paruh baya tampak sangat bersemangat berlari memutari arena tersebut. Dengan tubuh tinggi di atas rata-rata, sekitar 180 sentimeter, dan berbaju warna mencolok, yakni biru cerah, pergerakannya lebih menyita perhatian ketimbang warga lain yang sama-sama sedang mengolah raganya.
Baca juga : Borobudur Marathon 2022, Wadah Kaderisasi Atlet
Lelaki itu nyaris tidak berhenti berlari dan mengurangi kecepatannya dari sekitar pukul 09.00 sampai pukul 10.00. ”Saya baru saja menuntaskan lari 10 kilometer. Saya memang mengusahakan lari 10 kilometer per hari agar bisa dapat sekitar 300 kilometer per bulan. Saya sudah memulai aktivitas lari sejak lima tahun lalu. Kata orang saya memulai lari agak terlambat karena memulainya dari usia di atas 40 tahun. Tapi, mau bagaimana lagi,” ujar lelaki yang bernama Antares (57) tersebut seusai menyelesaikan larinya.
Antares mengatakan, dia tidak menghentikan aktivitas larinya walau pandemi. Malah, warga Jakarta itu berusaha untuk menambah intensitas larinya. ”Ya, biar tambah sehat (meningkatkan daya tahan agar tidak mudah tertular Covid-19). Selain itu, tentu saya menjaga makan dan istirahat yang berkualitas,” ungkap karyawan senior di salah satu kantor swasta Jakarta tersebut.
Jika pun ada dampaknya, menurut Antares, pandemi membuatnya tidak lagi berlari di tempat yang ada kerumunan, seperti di kawasan GBK. Selama pandemi, dia lebih banyak berlari sendirian di sekitar kompleks rumah atau lari di atas treadmill di rumah. Jadi, sepanjang pandemi, hanya tempat berlarinya yang berubah.
Sebelum pandemi, saya cukup sering ikut perlombaan maraton, seperti di Bali, Singapura, dan Uni Emirat Arab. Tapi, pas pandemi, tidak ada perlombaan, semuanya berhenti.
”Selain itu, saya tidak bisa lagi ikut lomba. Sebelum pandemi, saya cukup sering ikut perlombaan maraton, seperti di Bali, Singapura, dan Uni Emirat Arab. Tapi, pas pandemi, tidak ada perlombaan, semuanya berhenti,” kata Antares yang berlatih secara otodidak dari aplikasi lari dan tidak pernah bergabung dengan komunitas lari.
Beralih dari lari
Manajer Event Kompas Sri Aswito Zainul yang membawahi penyelenggaraan ajang perlombaan lari tahunan Borobudur Marathon menuturkan, minat olahraga masyarakat sejatinya tidak turun selama pandemi. Akan tetapi, tidak semuanya konsisten berlari. Sebagian mulai beralih ke olahraga lain, seperti sepeda. ”Mungkin karena bersepeda lebih aman ya, lebih mudah untuk menjauhi kerumunan,” jelasnya.
Baca juga: Borobudur Marathon Usung Misi Jadi Agenda Internasional
Fenomena itu membuat penyelenggara lomba lari kesulitan untuk mendapatkan peserta. ”Ada dua kemungkinan membuat sulit mendapatkan peserta, yakni masyarakat yang masih takut untuk berkerumun dan faktor ekonomi. Tak dimungkiri, pandemi berdampak pada perekomonian. Maka itu, ikut lomba lari belum menjadi prioritas utama. Tapi, sehabis pandemi (situasi lebih aman), perlombaan lari kemungkinan akan kembali semarak,” ucap Aswito.
Aswito menyampaikan, pandemi membuat penyelenggara lomba lari turut kesulitan untuk menggelar perlombaan. Borobudur Marathon. Misalnya, ajang itu biasanya diikuti sekitar 10.000 pelari, seperti 10.900 pelari pada 2019 yang terdiri dari 2.300 peserta maraton, 4.300 peserta setengah maraton, dan 4.300 peserta 10K dengan 300 peserta dari luar negeri pada 2019.
Namun, karena pandemi, Borobudur Marathon 2020 cuma menggelar satu nomor, yakni maraton. Ajang itu juga berlangsung dengan sistem gelembung serta peserta dibatasi 26 pelari elite atau atlet nasional, terdiri dari 17 pelari putra dan 9 pelari putri.
Pada 2021, Borobudur Marathon bisa menggelar dua nomor, yakni maraton dan setengah maraton. Ajang itu tetap berlangsung dengan sistem gelembung, tetapi jumlah pesertanya bertambah, yakni 42 pelari elite di maraton dan 128 pelari umum di setengah maraton.
Baca juga: Makna Geliat Borobudur Marathon
Borobudur Marathon tahun ini direncanakan menggelar lima nomor, yakni maraton, setengah maraton, 10K, dan 5K. Maraton khusus untuk pelari elite dengan menerapkan sistem gelembung, sedangkan nomor lain terbuka untuk umum dengan syarat calon pelari telah menerima tiga kali vaksin Covid-19. Jumlah peserta keseluruhan bakal bertambah, antara lain 50 kuota untuk maraton dan 5.000 kuota untuk setengah maraton.
Fenomena sepatu roda
Pernyataan Aswito berkorelasi dengan fenomena tumbuhnya peminat sepatu roda di tengah pandemi. Tak sedikit peminat sepatu roda berasal dari pelari yang jenuh karena tidak ada kompetisi sepanjang pandemi, terutama dua tahun awal bencana tersebut.
Misalnya dialami oleh Suhaili Yarham (32). Sebelum pandemi, warga Pondok Aren, Tangerang Selatan, itu biasanya rutin lari minimal seminggu sekali di kawasan GBK. Di samping lari, dia rutin bermain tenis meja di kantor sehabis jam kerja.
Akan tetapi, akibat pandemi, Suhaili tidak berani untuk keluar rumah atau bertemu dengan orang banyak. Di sisi lain, dia terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh kantornya di daerah Jakarta. Untuk itu, dirinya tidak pernah lagi lari dan bermain tenis meja.
Baca juga: Suka-suka di Atas Sepatu Roda
Jenuh tidak ada aktivitas dan khawatir dengan kebugarannya, Suhaili pun mencari-cari olahraga lain. Mulai akhir 2021 atau saat pandemi mulai terkendali, dia memilih mencoba bermain sepatu roda. Dirinya bergabung dengan komunitas di kawasan GBK dan rutin berlatih dua-tiga kali seminggu dengan durasi 3-4 jam per sesi latihan.
Aktivitas bermain sepatu roda itu menjadi program utamanya dalam meningkatan daya tahan tubuh agar tidak mudah terpapar Covid-19, di luar menjaga pola makan dan istirahat yang sehat. Itu pula penghiburannya yang belum mendapatkan pekerjaan baru, paling tidak sampai Maret tatkala dirinya kembali dapat pekerjaan di bidang yang sama.
Saya tertarik dengan sepatu roda karena terlihat seru aja mainnya. Kita juga harus belajar lagi dari awal. Rasanya ada tantangan yang menarik dicoba.
”Saya tertarik dengan sepatu roda karena terlihat seru aja mainnya. Kita juga harus belajar lagi dari awal. Rasanya ada tantangan yang menarik dicoba. Lagi pula saya belum pernah sama sekali mencoba olahraga ini,” tutur pemuda keturunan Sumatera Barat tersebut.
Manfaat sepatu roda
Dengan rajin bermain sepatu roda, Suhaili mengaku tubuhnya jauh lebih bugar daripada sebelum pandemi. Apalagi olahraga itu memaksa semua anggota tubuh bergerak. ”Sekarang, kalau capai, itu tidak membuat badan sakit-sakit karena lebih terbiasa olahraga. Kalau dulu sebelum pandemi, capainya buat badan sakit-sakit karena memang tidak seberapa rutin olahraga. Yah, pandemi memaksa kita untuk lebih baik,” ucapnya sambil tertawa.
Baca juga: Naura Rahmadija Hartanti Mendulang Emas Sepatu Roda
Fenomena di sepatu roda sangat dirasakan atlet sepatu roda Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Mochammad Rizdwan Nurdiansyah (22). Rizdwan merantau ke Jakarta sejak enam bulan lalu. Dia hijrah karena merasakan peminat sepatu roda di Jakarta terus bertambah selama pandemi. Jumlah yang bermain di kawasan GBK, misalnya, dari biasanya berkisar 20-30 orang menjadi meningkat lebih kurang 50-60 orang, terutama pada akhir pekan.
Rizdwan pun meraup berkah. Dia mendapatkan kerja sampingan sebagai pelatih untuk lima orang yang ingin belajar sepatu roda dari nol, mulai dari anak-anak usia sekolah dasar hingga orang dewasa dengan usia tertua 50-an tahun.
Dari melatih, dirinya mendapatkan penghasilan sekitar Rp 3 juta per bulan. ”Bisa dibilang, ini berkah pandemi ya. Sebab, sebelumnya, saya hanya pengangguran,” ucap Rizdwan yang akan mengikuti Pekan Olahraga Daerah Jawa Barat pada November nanti.
Mempertahankan kodrat
Secara umum, di tengah kebebasan yang terenggut pada masa pandemi Covid-19, itu menuntun sejumlah individu mencari jalan keluar untuk tetap mempertahankan kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Kemudian, mereka juga berusaha menghadirkan pola hidup sehat demi menghindari virus dan menjaga pikiran agar tidak larut dalam lara akibat keterbatasan aktivitas.
Baca juga: Ayo Tetap Berlari meski Hanya Virtual!
Berdasarkan survei yang dirilis oleh Barbend, situs olahraga dan kebugaran asal New York, Amerika Serikat, Mei 2022, 54 persen dari 1.000 warga AS yang menjadi responden mengungkapkan, pandemi mengubah kebiasaan olahraga mereka. Tiga jenis olahraga yang mengalami peningkatan pegiat ialah lari, yoga, dan bersepeda.
Peminat lari di AS meningkat dari 26 persen menjadi 42 persen, lalu yoga yang dijalani oleh 6 persen responden menjadi 15 responden mengikuti kelas yoga di masa pandemi. Adapun responden yang rutin bersepeda sebelum pandemi hanya di angka 6 persen, sedangkan setelah pandemi peminat olahraga sepeda mencapai 10 persen dari responden.
Data tersebut serupa terjadi di Indonesia. Sejak pandemi, aktivitas sosial yang umumnya dilangsungkan secara daring memberikan kesempatan bagi sebagian individu untuk memulai gaya hidup sehat atau setidaknya kembali menjalani olahraga yang sempat ditinggalkan sebelum kasus Covid-19 merebak di Tanah Air.
Baron Martanegara, pendiri Brompton Owners Group Indonesia (BOGI), merasakan betapa melejitnya aktivitas orang bersepeda di masa pandemi. Tingginya kegemaran orang bersepeda, ujarnya, terlihat dari peningkatan pesat harga sepeda, salah satunya jenama Brompton, di Indonesia.
Baca juga: Merawat Kultur Lari di Kala Pandemi
Akibat minim kebebasan
Menurut Baron, pencinta olahraga sepeda bertambah di masa pandemi adalah hal lumrah. Itu disebabkan minimnya kebebasan orang untuk melakukan aktivitas luar ruangan, misalnya berwisata, sehingga mereka mencari hobi baru untuk memanfaatkan waktu dan materi yang dimiliki.
Fenomena bersepeda itu ada plus dan minusnya. Saya senang jadi banyak orang yang menjaga kebugaran dengan bersepeda, tetapi di sisi lain tren itu dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk mengeruk keuntungan dengan menaikkan harga sepeda.
”Fenomena bersepeda itu ada plus dan minusnya. Saya senang jadi banyak orang yang menjaga kebugaran dengan bersepeda, tetapi di sisi lain tren itu dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk mengeruk keuntungan dengan menaikkan harga sepeda,” ujar Baron, di Jakarta, Selasa (21/6/2022).
Di BOGI, kata Baron, penambahan anggota komunitas pun sempat terjadi. Namun, ia menuturkan, seiring berjalannya waktu, individu yang bertahan sebagai pegiat sepeda adalah yang merasa cocok untuk aktivitas itu, bukan yang sekadar mengikuti tren.
Baca juga: Para Atlet Kembali Tancap Gas
”Harapan saya, orang yang merasakan manfaat sepeda, misalnya untuk kebugaran, tetap menjalani aktivitas itu. Sebab, selain sehat, kita juga bisa melepaskan stres dan menambah teman untuk silaturahmi dengan bersantai bersama teman-teman di komunitas,” tutur Baron yang menginisiasi lahirnya BOGI pada 2013.
Sehabis pandemi mereda, BOGI sudah menjalani dua agenda yang diberi tajuk B100K di Padang, Sumatera Barat, dan Bali pada tahun ini. Selain itu, Baron mengungkapkan, BOGI berencana kembali mengadakan jambore nasional, Brompton Day Out, November mendatang, di Jakarta. Acara itu sempat vakum di era pandemi dalam dua tahun terakhir.
Balik ke yoga
Sementara itu, Nabila (30), pegawai konsulat asing di Surabaya, Jawa Timur, memugar semangatnya untuk menjalani yoga setelah sempat vakum pada awal 2020. Sebelumnya, Nabila rutin menjalani yoga sejak pertengahan 2015. Aktivitas itu dilakukannya baik bersama komunitas di kantor maupun dengan mengikuti kelas yoga yang dipandu instruktur profesional.
Baca juga: ”Namaste”, Salam Bahagia dalam Yoga
Akibat aktivitas pekerjaan yang lebih rutin dijalani dari rumah, intensitas yoga yang dijalani Nabila pun meningkat. Jika sebelumnya ia menjalani yoga satu atau dua kali per pekan, aktivitas itu bertambah menjadi minimal empat kali per pekan sejak pertengahan 2020. ”Yoga adalah exercise yang mudah dijalani karena tidak butuh banyak alat dan bisa dilakukan di mana saja. Setelah rutin yoga badan menjadi lebih enteng begitu juga dengan pikiran,” kata Nabila.
Di samping untuk menjaga kebugaran tubuh, yoga bagi Nabila adalah ”pelarian” keluar dari masalah personal yang dialaminya di awal pandemi. Menurut dia, yoga telah menyelamatkannya untuk tidak tenggelam dalam perasaan sedih.
”Sejujurnya, masa awal pandemi jadi masa paling sedih dalam hidupku karena ada masalah personal. Dengan yoga aku merasakan damai dalam hatiuntuk lebih tegar, berusaha melepaskan, dan memaafkan keadaan. Bisa dibilang yoga adalah penguatku,” ucapnya.
Pandemi Covid-19 belum akan berubah menjadi endemi dalam waktu dekat. Peningkatan jumlah orang yang terpapar Covid-19 justru meningkat dalam beberapa pekan terakhir. Menjaga kebugaran tubuh dengan berolahraga tanpa melupakan protokol kesehatan adalah keharusan.