Merawat Kultur Lari di Kala Pandemi
Saat ajang lari jalan raya mentok karena pandemi, lari virtual menjadi jalan keluarnya. Meski tidak sekompetitif lomba biasanya, lari virtual adalah pilihan terbaik saat ini.
Tengah hingga akhir tahun biasanya menjadi musim semi bagi para pelari rekreasional dan prestasi. Pada periode tersebut, ajang lari jalan raya berhamburan. Namun, tahun ini agak berbeda. Pandemi membuat ajang-ajang itu berguguran satu per satu.
Boston Marathon, salah satu ajang lari terbesar di dunia, harus dibatalkan tahun ini. Pembatalan ini adalah yang pertama dalam sejarah 124 tahun akibat pandemi. Peristiwa ini sangat langka karena aksi teror pada 2013 saja tidak bisa menghentikan ajang ini berlangsung pada tahun-tahun berikutnya.
Ajang lari terakhir yang gugur tahun ini adalah Paris Marathon. Pada 12 Agustus, penyelenggara akhirnya resmi membatalkan ajang yang dijadwalkan pada 15 November setelah dua penundaan sebelumnya.
Situasi serupa terjadi di Tanah Air. Maybank Bali Marathon, yang biasa diselenggarakan setiap akhir tahun, absen pada 2020. Sementara itu, Borobudur Marathon memutuskan tidak menggelar lomba seperti biasanya, dengan ribuan peserta berlari di area Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Fenomena ini tentu menjadi pukulan bagi para pencinta lari. Periode akhir tahun biasanya menjadi momen ziarah, untuk menguji kemampuan, setelah latihan dari awal hingga pertengahan tahun.
Kegundahan ini ternyata dirasakan pelari jarak jauh nasional Agus Prayogo. Menurut peraih emas nomor maraton SEA Games Manila 2019 ini, ajang lari dibutuhkan untuk mengasah kemampuan. Namun, pandemi membuat ajang yang biasa diikuti batal satu per satu.
”Beberapa bulan ini tidak ada race sama sekali. Pasti akan saya terima kalau ada undangan (lomba). Tetapi, tentu akan berkonsultasi dulu dengan pelatih dan organisasi. Saat ini serba susah. Prioritas utama kami adalah kesehatan atlet,” kata Agus dalam webinar Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI) tentang kelaikan ajang lari jalan raya, Sabtu (29/8/2020).
Nyaris mustahil
Ajang lari jalan raya masih sulit dilakukan karena situasi Covid-19 belum mereda, terutama di Indonesia. Sangat berisiko mengumpulkan ribuan peserta lari dalam waktu dan tempat yang sama sebelum ditemukannya vaksin. Hal itu bisa berdampak munculnya episentrum baru.
Risikonya masih sangat besar berdasarkan kriteria dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dengan penyelenggaraan ajang maraton seperti biasa, setidaknya ada tiga dari lima kriteria WHO yang dilanggar, yakni negara masih aktif dalam penanggulangan penyebaran virus, ajang melibatkan peserta internasional, dan jumlah massa yang besar.
Menurut dokter Wawan Budisusilo dari Komisi Medis PB PASI, dengan risiko yang tinggi, upaya penyelenggara untuk mencegah penyebaran virus juga semakin sulit. ”Kemungkinan memang bisa diselenggarakan jika memenuhi syarat-syarat, tetapi dengan protokol kesehatan yang ketat sekali,” katanya.
Hal tersulit adalah mengikuti anjuran Atletik Dunia (WA) untuk manajemen dan penanganan medis selama lomba. Dari sisi kesehatan, penyelenggara harus menjamin ribuan peserta bebas dari Covid-19. Pemeriksaan harus dilakukan dua minggu sebelum ajang. Setelah itu, peserta akan terus dipantau hingga hari lomba.
Selama lomba, penerapan zonasi yang sangat rumit wajib diterapkan. Dengan ribuan orang, pembatasan jarak minimal 1,5 meter persegi harus dilakukan. Hal ini sedikit sulit karena pasti akan memakan banyak tempat. Kemudian, saat lari, peserta akan saling berdekatan lagi.
”Juga pemisahan jalur lari dengan panitia dan penonton, termasuk menyiapkan jalur bagi pelari yang ingin menyusul. Pembatasan peserta saat start, pembagian medali, dan water station. Semua itu perlu karena virus ini menyebar lewat udara,” tutur Wawan.
Selain ribuan peserta, ajang lari turisme juga kerap mengundang banyak penonton. Sebut saja Borobudur Marathon. Rata-rata 20.000 penonton dari warga sekitar melihat aksi para pelari. Keberadaan penonton ini akan sulit dikendalikan.
Setelah syarat itu terpenuhi, penyelenggara masih perlu meminta izin dari pemerintah daerah. Di titik ini, izin akan menjadi serba tidak pasti karena perbedaan kasus Covid-19 di setiap daerah.
Sardjito Malo, International Tech Official Level 3 PB PASI, mengatakan, kondisi pandemi membuat lomba tidak akan optimal. Peserta dan nomor lomba paling tidak harus dikurangi hingga 50 persen. Persyaratan usia peserta juga dibatasi, tidak bisa terlalu muda ataupun tua.
Bagi ajang lari yang menjual turisme, mereka juga akan terkendala menjual keindahan trek lari. PB PASI menyarankan trek lomba dibuat berputar. Nomor maraton, misalnya, pelari tidak akan berlari 42,195 kilometer dari titik A ke titik B. Mereka akan berlari dari titik A ke titik A sebanyak empat kali sampai menyentuh jarak tersebut. Semua itu untuk memastikan pelari tetap berada di zona yang aman.
”Dengan kondisi ini, persyaratan yang sudah ketat jadi semakin ketat. Beberapa lomba maraton besar dibatalkan karena tidak bisa memenuhi syarat ini,” jelas Sardjito.
Lari virtual
PB PASI menyarankan lomba biasa diganti menjadi lari virtual. ”Sebagai solusi, akan ada yang disebut lari virtual. Jadi, meskipun virtual, tetapi memenuhi ketentuan lomba lari jalan raya. Sebab, prinsipnya olahraga untuk meningkatkan kesehatan. Jangan sampai malah banyak yang sakit,” tambah Sardjito.
Risiko lari virtual lebih rendah karena tidak akan mengumpulkan banyak orang dalam satu waktu dan tempat. Para peserta bisa berlari di daerah masing-masing dan waktu yang ditentukan sendiri. Mereka akan mengenakan alat pelacak yang sudah ditentukan oleh penyelenggara.
Syarat penyelenggaran lari virtual lebih mudah. Peserta hanya diminta tetap mematuhi protokol kesehatan seperti jaga jarak dan memakai masker sebelum dan sesudah berlari. Lalu, peserta tinggal menentukan area lari yang sudah dikenal dan tidak ramai.
Salah satu ajang yang akan mengimplementasikan lari virtual adalah Borobudur Marathon. Ajang tahunan pada November ini akan mengganti konsepnya dari lari di Magelang menjadi lari di daerah masing-masing, khusus 2020.
Konsep larinya lebih mudah. Peserta bisa memilih lomba beberapa kategori mulai dari maraton penuh, separuh maraton, sampai 10K. Mereka boleh menuntaskan lari dalam beberapa kali percobaan.
”Kami memberikan waktu dua minggu untuk semua peserta bisa menyelesaikan. Maraton bisa 4 kali, jadi dicicil sekitar 10 kilometer dalam dua pekan. Karena di masa pandemi, kan jarang latihan, jadi kami tidak mau memaksakan. Nanti kalau dipaksa justru bahaya,” kata pelaksana Borobudur Marathon, Budhi Sarwiadi.
Tidak akan ada pemenang dalam lari virtual. Ajang ini hanya untuk bisa melanjutkan kegiatan lari agar tidak terlalu lama berhenti. ”Tetap menjaga kultur lari meskipun tidak ada race. Masyarakat bisa tetap bergerak, tetapi tidak terlalu jauh jaraknya dalam ajang lari pertama di tengah pandemi. Yang terpenting keselamatan tetap terjaga,” sebut Budhi.
Sisi turisme tetap dihadirkan dengan memberi hampers yang berasal dari usaha kecil dan menengah (UKM) lokal di daerah tersebut. Meski fisik tidak hadir, dampak para pelari tetap bisa dirasakan warga lokal. Begitu pun sebaliknya.
Lari virtual memang bukan ajang yang ideal bagi pencinta lari. Begitu juga dengan tahun 2020 bersama ancaman Covid-19. Namun, hal itu menjadi pilihan terakhir agar bisa tetap berlari dengan aman, tanpa membahayakan diri dan lingkungan sekitar.
Terpenting adalah kultur lari bisa terus dirawat oleh para pencintanya di kala pandemi. Hal itu niscaya akan beriringan dengan kondisi fisik dan mental yang sehat.