Wamenkumham: KUHP Tidak Lagi Menekankan ”Balas Dendam”
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru tidak lagi menekankan pada paradigma ”balas dendam”. Akan ada bentuk pidana alternatif, seperti kerja sosial.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru, yang disebut KUHP nasional, arahnya adalah perubahan pola pikir dalam penegakan aturan hukum. Tidak lagi menekankan pada paradigma ”balas dendam”, melainkan pada keadilan restoratif dan rehabilitatif. Akan ada bentuk pidana alternatif, seperti kerja sosial.
Demikian inti dari sosialisasi KUHP Nasional di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Kamis (25/5/2023), dalam acara Kumham Goes to Campus 2023. Dalam kesempatan itu, KUHP nasional (KUHP baru) disosialisasikan di hadapan mahasiswa, dosen, aparat penegak hukum, jaksa, advokat, dan masyarakat umum.
Hadir dalam kegiatan itu Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej, pakar hukum pidana Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo, pakar hukum pidana Universitas Jember Arief Amrullah, dan akademisi Fakultas Hukum Universitas Trisakti Albert Aries.
”Dalam rangka sosialisasi KUHP nasional ini, ada dua hal yang ingin saya sampaikan. Pertama, bahwa proses ini bukan berada di lorong gelap yang bekerja diam-diam atau klandestin. Ini perjalanan panjang selama 60 tahun sehingga tidak benar kalau pemerintah dan DPR tidak melibatkan publik. Bahwa, tidak mungkin semua usulan bisa diundangkan di KUHP. Dan, celakanya ada perbedaan pendapat. Makanya ada solusi terbaik untuk semua,” kata Edward.
KUHP nasional tersebut akan diberlakukan tahun 2026. Dalam masa transisi tiga tahun sebelum diterapkan, Kemenkumham kini sedang dalam tahap sosialisasi sambil menunggu lahirnya peraturan pelaksana KUHP nasional tersebut.
Selanjutnya, menurut Edward, hal terpenting adalah adanya perubahan paradigma dalam KUHP nasional yang telah diundangkan pada Januari 2023 itu. Perubahan tersebut, menurut Edward, membuat KUHP nasional saat ini gencar disosialisasikan.
”Ini perlu disosialisasikan dengan gencar karena adanya perubahan paradigma mindset penegakan hukum. Mengubah mindset atau pola pikir, bukan hanya aparat penegak hukum, melainkan juga masyarakat,” kata Edward. Perubahan itu, menurut dia, adalah KUHP tidak lagi menjadi sarana ”balas dendam”, tetapi lebih menitikberatkan pada keadilan restoratif dan rehabilitatif.
”Misal, kita jadi korban kejahatan, dahulu kita ingin pelaku segera ditangkap dan dihukum. Mindset-nya adalah membalas pelaku kejahatan itu. Namun, sekarang, titik beratnya adalah bahwa korban harus dipulihkan,” kata Edward.
Harkristuti menambahkan, KUHP baru tersebut memiliki landasan pikir, di antaranya, bahwa pandangan retributif atau pembalasan atau lex talionis sudah harus ditinggalkan. Di samping itu, perlunya nilai-nilai kearifan lokal mendapatkan tempat.
”Tujuan pemidanaan nantinya adalah bukan untuk balas dendam, melainkan untuk pencegahan, pemasyarakatan dan rehabilitasi, penyelesaian konflik, pemulihan keseimbangan dan penciptaan rasa aman dan damai, serta penumbuhan penyesalan terpidana,” katanya.
Dengan berbagai pertimbangan itu, menurut Harkristuti, strategi pemidanaan baru akan diterapkan, yakni adanya alternatif pidana penjara. Bentuknya adalah pidana pengawasan dan kerja sosial. ”Tujuannya adalah mengurangi penjatuhan pidana penjara yang memicu overpopulasi lapas, mengurangi efek buruk pidana perampasan kemerdekaan, dan seterusnya,” katanya.
Bentuk pidana tersebut nantinya merupakan diskresi hakim. ”Jika ada pertentangan antara hukum dan keadilan, hakim harus mengutamakan keadilan. Termasuk akan sangat mungkin adanya pemaafan peradilan, yaitu hakim memutuskan tanpa menjatuhkan pidana atau tanpa mengenakan tindakan,” kata Harkristuti.
Meski begitu, menurut dia, hakim tetap harus mempertimbangkan beberapa faktor. Ini, misalnya, ringannya perbuatan pelaku, keadaan pelaku, serta segi keadilan dan kemanusiaan.
Arief Amrullah dalam kesempatan itu menambahkan bahwa KUHP nasional mengakomodasi hukum-hukum tidak tak tertulis di masyarakat. Tujuannya agar kearifan lokal tidak hilang.
Adapun Albert Aries mengatakan bahwa dalam KUHP nasional ada tindak pidana khusus dan tindak pidana baru. ”Ini hadir untuk memberikan keadilan dan melindungi integritas peradilan,” ucapnya.
Dia menyebut, tindak pidana khusus yang diatur dalam KUHP nasional adalah tindak pidana berat terhadp HAM, terorisme, korupsi, pencucian uang, dan narkotika. Adapun tindak pidana baru, misalnya, kohabitasi (hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan), penyesatan terhadap proses peradilan, mengganggu dan merintangi proses peradilan, serta melakukan hubungan seksual dengan hewan.
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Alumni, dan Kewirausahaan Mahasiswa Universitas Brawijaya Setiawan Noerdajasakti mengapresiasi kegiatan sosialisasi KUHP nasional tersebut. Sebab, ada adagium hukum, yaitu ignorantia jurist non excusat atau bahwa semua dianggap tahu hukum sehingga ”ketidaktahuan hukum tidak membenarkan”.
”Setiap orang dianggap tahu hukum dan tidak bisa beralasan tidak tahu hukum sehingga tindakannya dibenarkan. Itu sebabnya penting untuk belajar aturan-aturan hukum, terutama KUHP ini,” katanya.