RKUHP dan Keseimbangan Demokrasi
Perlu diakui sangat tidak mudah merumuskan RKUHP di negeri yang begitu majemuk suku, agama, dan budayanya. Pembahasan intensif antara pemerintah, DPR, akademisi, praktisi dan unsur masyarakat dilakukan sejak tahun 2015.
Sekelompok mahasiswa mengultimatum Presiden dan DPR akan menggelar demonstrasi yang lebih besar dari 2019 dengan slogan ”Semua Bisa Kena”, dengan alasan pembahasan RKUHP tidak transparan, dan menyertakan sejumlah pasal bermasalah.
Demonstrasi atau unjuk rasa jelas hak asasi yang dijamin penuh oleh konstitusi. Dalam kolom komentar para warganet di media daring, setidaknya ditemukan beberapa pandangan lain terhadap rencana demo 28 Juni itu. Karena itu, demo Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) itu belum tentu mewakili aspirasi dari seluruh lapisan masyarakat.
Potensi ditungganginya demo besar-besaran oleh ”kepentingan lain” yang tak bertanggung jawab justru dikhawatirkan dapat mendegradasi keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) secara tertib dan bertanggung jawab dalam pembahasan RKUHP.
Selain 14 isu krusial RKUHP versi September 2019 yang telah disosialisasikan pemerintah di 12 kota, ada beberapa pasal di Buku Kedua RKUHP yang dipermasalahkan, antara lain tindak pidana demonstrasi tanpa pemberitahuan, penyerangan harkat dan martabat presiden, dan penghinaan terhadap penguasa umum. Padahal, jika fokusnya menyeluruh, Buku Kesatu RKUHP mengenai Aturan Umum menawarkan perubahan revolusioner bagi masa depan hukum Indonesia.
Perlu diakui sangat tidak mudah merumuskan RKUHP di negeri yang begitu majemuk suku, agama, dan budayanya.
Miniatur konstitusi
Ikhtiar memperbarui Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indië yang telah diberlakukan sejak 1918, dan kemudian ditegaskan pemberlakuannya sebagai ”KUHP” di Indonesia melalui UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, telah dicetuskan resolusinya sejak 1963. Resolusi ini bukan agar Indonesia sekadar memiliki ”KUHP Nasional”, melainkan untuk memastikan agar beleid yang bisa dianggap sebagai ”miniatur konstitusi” ini dapat memberikan kepastian hukum yang berkeadilan berdasarkan Pancasila.
Karena faktanya, sampai saat ini belum ada terjemahan resmi dari empat versi KUHP (Moeljatno, Soesilo, Andi Hamzah, dan BPHN) yang beredar dan digunakan untuk mengadili jutaan rakyat Indonesia. Dalam perjalanannya, RKUHP yang disampaikan pertama kali ke DPR tahun 2012 pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum sempat dibahas.
Lalu, pada 2015, Presiden Joko Widodo menerbitkan surpres yang ditindaklanjuti dengan pembahasan intensif bersama DPR selama lebih dari empat tahun dengan melibatkan organisasi profesi, akademisi, praktisi, ahli, dan unsur masyarakat.
Baca juga Gerak Senyap Upaya Pengesahan RKUHP
Perlu diakui sangat tidak mudah merumuskan RKUHP di negeri yang begitu majemuk suku, agama, dan budayanya. Apalagi, secara universal, dikenal tiga jenis delik yang pengaturannya tak pernah sama di KUHP mana pun di seluruh dunia, yaitu delik politik, delik kesusilaan, dan delik penghinaan.
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, dalam Pasal 28 J Ayat 2 UUD 1945 dinyatakan bahwa setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan UU, dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Atas dasar itulah, hukum pidana berfungsi untuk melindungi kepentingan negara, masyarakat, dan individu. Meski demikian, suatu ketentuan pidana harus bersifat lex certa dan lex stricta, yaitu tidak boleh menimbulkan penafsiran lain yang terlalu luas dan berpotensi disalahgunakan sehingga diterapkan secara kaku atau berlebihan.
Keseimbangan demokrasi
Dalam opini ini, penulis mencoba untuk mengulas ratio legis dari beberapa pasal RKUHP yang dipermasalahkan dan dinilai memberangus demokrasi. Pertama, mengenai tindak pidana demonstrasi tanpa pemberitahuan di jalan umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, keonaran, atau huru-hara (Pasal 273 RKUHP).
Perlu dipahami, letak pasal ini berada pada Bab V tentang Tindak Pidana terhadap Ketertiban Umum. Jadi, yang hendak dilindungi RKUHP adalah ketertiban umum. Sebab, Pasal 10 UU No 9 Tahun 1998 yang mengatur kewajiban menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Polri untuk penyampaian pendapat di muka umum belum mengatur sanksi yang konkret jika tak dilakukan pemberitahuan sebelumnya. Padahal, untuk menghadapi suatu demonstrasi, dibutuhkan pengamanan dan pengalihan rute.
Secara a contrario, juga terdapat sanksi pidana dalam Pasal 18 UU No 9 Tahun 1998 bagi orang yang menghalangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum sehingga pengaturan kedua tindak pidana ini merupakan suatu keseimbangan.
Selain itu, tindak pidana ini jenisnya adalah delik materiil yang mensyaratkan terjadinya akibat setelah semua unsur tindak pidana terpenuhi. Meski terdapat perdebatan mengenai parameter dari ”terganggunya kepentingan umum”, secara hukum unsur tindak pidana ini akan sulit terpenuhi, khususnya jika demonstrasi telah diberitahukan kepada Polri.
Jadi, yang hendak dilindungi RKUHP adalah ketertiban umum.
Kedua, mengenai tindak pidana penyerangan harkat dan martabat presiden (Pasal 218 RKUHP). Pengaturan pasal ini bukan dimaksudkan untuk menghidupkan kembali Pasal 134 KUHP tentang Penghinaan Presiden yang dianulir Mahkamah Konstitusi (MK), melainkan sebagai konsekuensi logis dari pertimbangan hukum MK mengenai keberadaan Pasal 207 KUHP, yaitu dalam hal penghinaan ditujukan kepada presiden dan/atau wakil presiden selaku pejabat (als ambtsdrager) yang bisa dituntut hanya jika ada pengaduan.
Pertanyaannya, mengapa harkat dan martabat presiden perlu dilindungi hukum pidana?
Jawabannya bukan karena presiden dan wakil presiden adalah ”simbol negara”, sebagaimana layaknya Garuda Pancasila, melainkan karena keduanya primus inter pares, yang dimaknai sebagai ’pertama di antara yang sederajat’, sebab keduanya terpilih secara demokratis dalam pemilu yang diikuti 190 juta pemilih, sebagaimana masih eksisnya pengaturan serupa di Italia, Portugal, Polandia, Denmark, Belanda, Spanyol, dan Swedia.
Baca juga DPR Targetkan RKUHP Disahkan Sebelum Masa Sidang Berakhir 7 Juli
Masyarakat juga perlu senantiasa diedukasi untuk dapat membedakan antara kritik dan delik, misalnya menghina seseorang dengan sebutan ”kebun binatang”. Pasal ini juga sekaligus menutup ruang gerak simpatisan/sukarelawan untuk ”melaporkan” tindak pidana penghinaan terhadap ”panutannya”, serta sekaligus menguji kepemimpinan seorang pemimpin agar tidak ”baperan” dalam menggunakan haknya untuk mengadu (Juru suo uti nemo cogitur).
Terakhir, mengenai penghinaan terhadap penguasa umum dan lembaga negara (Pasal 351 RKUHP), menurut pandangan penulis pengaturan tindak pidana ini dimaksudkan agar seseorang tak melakukan perbuatan yang dapat mendegradasi reputasi dari suatu lembaga negara, yang juga akan berbahaya jika bisa sembarangan dihujat oleh masyarakat, sebagaimana diatur dalam ketentuan serupa di Norwegia, Italia, dan Denmark.
Namun, perlu ada penegasan mengenai alasan penghapus pidana atas tindak pidana ini, yaitu jika dilakukan untuk membela diri atau kepentingan umum, serta tetap merupakan delik aduan, sekalipun tindak pidana itu dilaku- kan melalui sarana teknologi informasi.
Tidak akan sempurna
Dianutnya model Rekodifikasi Terbuka-Terbatas mendorong RKUHP untuk menyusun ketentuan tindak pidana, baik yang masih ada di KUHP maupun yang tersebar core crimes-nya di beberapa UU pidana khusus, misalnya beberapa pasal tindak pidana korupsi yang masuk RKUHP, yang sempat mendapat prasangka akan melemahkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Prasangka itu telah diklarifikasi tim perumus RKUHP, misalnya dengan menjelaskan adanya ketentuan penghubung (bridging articles) dalam Pasal 622 RKUHP yang menegaskan bahwa tindak pidana khusus dalam RKUHP dilaksanakan penegak hukum sesuai UU masing-masing, sebagaimana asas lex posterior generalis non derogat priori specialis (ketentuan umum yang berlaku kemudian tak mencabut ketentuan khusus).
Munculnya prasangka-prasangka lain terhadap RKUHP sesungguhnya merupakan hal yang wajar, dan bisa datang dari berbagai perspektif yang berbeda-beda. Namun, perbedaan pandangan atas suatu norma atau materi muatan dalam RKUHP seharusnya tidak menjadi alasan untuk terus mempertahankan status quo dari KUHP saat ini, atau menegasikan upaya pemerintah dan DPR menyelesaikan pembahasan RKUHP yang pasti tidak akan pernah sempurna, serta perlu disesuaikan terus dengan kebutuhan hukum masyarakat.
Albert Aries, Pengajar FH Universitas Trisakti dan Anggota Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki)