DPR Targetkan RKUHP Disahkan Sebelum Masa Sidang Berakhir 7 Juli
”Kita targetkan masa sidang ini RKUHP rampung. Tinggal nanti tata beracaranya kita buat lagi. Pemerintah sudah oke. Jadi, itu nanti di rapat paripurna tingkat II diketok,” ujar Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat menargetkan pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dilakukan di masa sidang V Tahun Persidangan 2021-2022. Artinya, RKUHP yang memantik pro dan kontra itu akan segera disahkan dalam waktu dekat, sebelum masa sidang V berakhir pada 7 Juli 2022.
Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto mengatakan, pemerintah sudah setuju agar RKUHP segera disahkan. ”Kita targetkan masa sidang ini RKUHP rampung. Tinggal nanti tata beracaranya kita buat lagi. Pemerintah sudah oke. Jadi, itu nanti di rapat paripurna tingkat II diketok, selesai,” ujar Bambang, melalui keterangan tertulis, Jumat (24/6/2022).
Namun, Bambang tidak merinci kapan pembahasan terhadap RKUHP itu dibuka kembali guna membahas 14 isu krusial yang sebelumnya disosialisasikan pemerintah. Saat ini, DPR masih menunggu surat jawaban dari pemerintah. Sesuai hasil keputusan rapat antara Komisi III DPR dan pemerintah, 25 Mei 2022, DPR akan menyurati Presiden guna menginformasikan tindak lanjut atas pembahasan RKUHP itu ke tahap selanjutnya.
Pada 25 Mei, pemerintah yang diwakili oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej memaparkan kegiatan sosialisasi yang dilakukan pemerintah di 12 daerah terkait 14 isu yang menjadi perhatian publik. DPR dalam rapat itu menyatakan menerima dan menyetujui laporan sosialisasi dan akan melanjutkan pembahasan RKUHP dengan mekanisme carry over (operan) ke tahap selanjutnya.
Baca juga: Pimpinan Media Massa dan Masyarakat Sipil Minta Partisipasi Bermakna dalam Pembahasan RKUHP
Bambang mengatakan, 14 isu tersebut memang masih berproses di dalam pembahasan RKUHP. Namun, pembahasan tersebut prinsipnya sudah selesai dan tinggal disetujui. ”Itu hanya tinggal 14 isu dan selesai. Ada 14 isu yang dalam kaitannya itu adalah isu yang hidup, yakni kasus yang hidup di tengah masyarakat. Hal inilah yang kita tarik untuk diberi hukum formal,” kata kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) ini.
DPR juga telah bersurat kepada Presiden Joko Widodo untuk membawa RKUHP ke rapat paripurna. Namun, pemerintah sejauh ini belum memberikan surat jawaban karena ada diksi yang perlu disepakati. Terkait pro dan kontra mengenai pembahasan RKHUP tersebut, Bambang memastikan substansi RUU tersebut tidak akan menyengsarakan rakyat.
Baca juga: ICJR Minta Draf RKUHP Segera Dibuka ke Publik
”Sudah saya pastikan apa yang diributkan masyarakat hari ini sebenarnya sudah tertampung sebelumnya. Selain itu, KUHP dipastikan terbuka untuk publik. Saya meminta masyarakat untuk tidak khawatir. DPR telah bersurat ke Presiden, tetapi belum dikirim balik ke DPR. Memang sempat ada perbedaan kata-kata, tapi ini sudah selesai,” kata Sekretaris Fraksi PDI-P tersebut.
Bambang mengklaim RKUHP merupakan produk hukum terbaik yang dihasilkan oleh Komisi III DPR. ”RKUHP adalah masterpiece Komisi III, tentu bukan Komisi III yang hari ini saja, tapi sudah dari dulu. Ini adalah buah kita yang luar biasa,” katanya.
Sebelumnya, RKUHP telah disetujui dalam pembahasan tingkat I oleh Komisi III DPR periode 2014-2019. Namun, pengesahannya di rapat paripurna, September 2019, tidak jadi dilakukan karena adanya keberatan dan unjuk rasa besar-besaran dari masyarakat. Pemerintah dan DPR ketika itu sepakat untuk kembali melakukan sosialisasi terhadap muatan RKUHP. RKUHP kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Menengah 2020-2024 dan menjadi Prolegnas Prioritas 2022.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem Taufik Basari mengatakan, internal Komisi III DPR sepakat untuk tidak membahas ulang poin-poin yang telah disepakati di periode DPR sebelumnya. Namun, DPR fokus menuntaskan pembahasan terbatas pada 14 isu yang disosialisasikan oleh pemerintah dan menjadi keberatan masyarakat.
”Ada keinginan untuk segera menyelesaikan RKUHP ini karena RUU ini sebelumnya telah disepakati di tingkat I pada DPR periode sebelumnya. Namun, paling tidak terbuka pembicaraan kembali terhadap 14 isu yang disosialisasikan oleh pemerintah,” katanya.
Fraksi Nasdem, menurut Basari, pada dasarnya menginginkan agar ada pembahasan mendalam mengenai berbagai isu lainnya. Namun, karena telah menjadi kesepakatan untuk melakukan pembahasan terbatas pada 14 isu yang dilaporkan oleh pemerintah, maka hal itu harus dihormati.
Ditemui sebelumnya di Kompleks Parlemen, Jakarta, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Dhahana Putra mengatakan, kepastian mengenai mekanisme selanjutnya dari pembahasan RKUHP tersebut masih menunggu pandangan dari DPR. ”Bisa juga nanti setelah disepakati kembali di panja lalu dibawa ke paripurna,” katanya.
Saat ini, pemerintah sedang melakukan perumusan dan penataan ulang terhadap draf RKUHP. Sebab, ada 14 poin perubahan yang harus dimasukkan ke dalam naskah yang baru. Dhahana mengatakan, pemerintah harus memastikan naskah itu tidak ada yang salah ketik dan rumusannya sesuai dengan yang disepakati dengan DPR. Selain itu, penghapusan dua poin, yakni mengenai pidana terhadap dokter gigi tidak berizin dan advokat curang juga akan berdampak pada perubahan susunan pasal per pasal di dalam naskah.
Pasal bermasalah di luar 14 isu krusial
Aliansi Nasional Reformasi RKUHP tetap akan mendesak pemerintah dan DPR untuk membuka peluang dibahasnya pasal-pasal bermasalah di luar 14 isu krusial. Berbagai catatan kritis akan disampaikan kepada pemerintah sebagai upaya untuk menghapus pasal-pasal yang masih mengancam kebebasan berekspresi serta overkriminalisasi terhadap warga negara. Langkah tersebut penting mengingat KUHP memuat pasal-pasal yang bisa menjerat setiap warga negara.
Maidina Rahmawati, peneliti Institute for Criminal Justice Reform, saat dihubungi, Jumat (24/6/2022), menyayangkan belum dibukanya draf resmi RKUHP versi terakhir. Dalam pertemuan antara tim penyusun RKUHP bentukan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan elemen masyarakat dan media pada Kamis (23/6/2022) disebutkan bahwa draf tersebut masih disempurnakan.
Adapun beberapa pasal yang ditengarai bermasalah di luar 14 isu krusial tersebut di antaranya pasal terkait pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi tanpa izin (Pasal 273), penghinaan terhadap pemerintah (Pasal 240 dan Pasal 241), penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara (Pasal 353 dan Pasal 354), pencemaran (masih dalam rumpun tindak pidana penghinaan, Pasal 439), serta menghalang-halangi proses peradilan (Pasal 626 Ayat (8) Huruf b).
Aliansi mempersoalkan ancaman pidana paling lama satu tahun penjara bagi pihak-pihak yang melakukan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi yang tanpa pemberitahuan dan mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, keonaran, dan huru-hara. Menurut Aliansi, unsur kepentingan umum di dalam ketentuan tersebut terlalu karet dan rentan disalahgunakan karena tak ada batasannya.
Selain itu, ketentuan Pasal 273 RKUHP tersebut menunjukkan perlunya perizinan terhadap kegiatan penyampaian ekspresi politik yang sah. Kondisi ini mirip dengan masa pendudukan Belanda dan rezim Orde Baru di mana birokrasi mengedepankan keamanan dan ketertiban umum untuk membatasi kegiatan masyarakat yang hendak menyatakan pendapat berbeda dengan penguasa.
Terkait dengan peristiwa huru-hara ataupun keonaran, KUHP sebenarnya telah menyediakan ketentuan lain, yaitu Pasal 261 terkait tindakan kekerasan terhadap orang atau barang secara bersama-sama di muka umum atau Pasal 361 terkait dengan kerumunan atau kelompok orang yang menimbulkan kekacauan dan tidak pergi sesudah diperintahkan sampai tiga kali oleh pejabat yang berwenang.
Ketentuan lain yang masih menjadi ganjalan bagi Aliansi Reformasi RKUHP adalah pasal penghinaan terhadap pemerintahan yang sah yang diancam dengan pidana penjara. Pasal-pasal semacam itu dinilai sudah tidak lagi relevan diatur, terutama karena menegasikan dan mengurangi kebebasan menyatakan pendapat serta prinsip persamaan kedudukan warga negara dan pemerintahan di hadapan hukum.
Meskipun dinyatakan bahwa ketentuan tersebut merupakan delik materiil yang menitikberatkan pada akibat ”terjadinya kerusuhan”, tidak dijelaskan apakah kerusuhan yang dimaksud adalah kerusuhan dalam arti fisik. Tidak ada penegasan bahwa kerusuhan itu tidak mencakup kerusuhan elektronik, seperti menjadi viral atau menjadi perbincangan warganet.
Salah satu yang turut menimbulkan keresahan di kalangan pegiat masyarakat sipil adalah ketentuan Pasal 354 yakni terkait menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan/gambar atau memperdengarkan rekaman/menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi konten yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara dengan maksud agar diketahui masyarakat luas. Tidak ada penjelasan bahwa pasal ini merupakan delik aduan. Padahal, tindakan tersebut diancam pidana paling lama dua tahun penjara.