RKUHP yang sempat mendulang kecaman dari publik pada 2019 kini tinggal selangkah lagi disahkan. Di tengah gerak senyap pemerintah dan DPR, RKUHP masih mengandung banyak persoalan.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·5 menit baca
Pemerintah dan DPR mempercepat pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP. Meski pemerintah dan DPR telah sepakat, RKUHP nyatanya masih meninggalkan berbagai persoalan yang sebelumnya memantik penolakan besar-besaran dari masyarakat.
Belum hilang dari ingatan bagaimana besarnya penolakan publik terhadap RKUHP pada 2019. Saat itu, kesepakatan antara DPR dan pemerintah soal RKUHP dalam rapat tertutup memancing aksi demonstrasi besar-besaran dari mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat di depan Gedung MPR/DPR. Untungnya, Presiden Joko Widodo masih mau mendengarkan permintaan masyarakat dan meminta agar pengesahan RKUHP ditunda.
Pembahasan RKUHP bisa dilakukan dengan gesit karena adanya mekanisme carry over.
Kali ini, pembahasan RKUHP bisa dilakukan dengan gesit karena adanya mekanisme carry over. Artinya, meskipun tidak rampung dibahas oleh DPR periode 2014-2019 sebelumnya, RKUHP ini bisa dilanjutkan pembahasannya oleh anggota DPR periode 2019-2024 saat ini tanpa harus mengulang dari awal.
Meskipun mekanisme carry over ini sah secara hukum, sesuai dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan pernah dilakukan sebelumnya saat UU Nomor 3 Tahun 2020 (UU Minerba) disahkan, bukan berarti dapat dilakukan tanpa adanya ruang diskusi publik. Bahkan, hingga beberapa saat sebelum direncanakan untuk disahkan, draf RKUHP yang final tak kunjung dibuka untuk publik.
Di satu sisi, pemerintah beralasan bahwa masyarakat, melalui berbagai organisasi, telah dilibatkan. Bahkan, pemerintah juga mengaku telah berkunjung ke 12 kota dengan melibatkan akademisi, mahasiswa, tokoh masyarakat, praktisi hukum, dan berbagai elemen masyarakat lainnya selama masa pembahasan setahun terakhir.
Namun, dengan masih gaib-nya draf final, publik tidak akan pernah tahu dan yakin bahwa pemerintah benar-benar mendengarkan usulan dari masyarakat atau tidak.
Dalam konteks kali ini, publik perlu untuk tahu dan bisa bersuara. Pasalnya, substansi dari RKUHP ini luas dan kompleks.
Dalam konteks kali ini, publik perlu untuk tahu dan bisa bersuara. Pasalnya, substansi dari RKUHP ini luas dan kompleks. Di dalamnya tidak hanya akan mengatur soal urusan publik, tetapi juga soal-soal privat yang sangat berpotensi menerabas asas perlindungan HAM.
Selain itu, RKUHP juga bisa saja bertabrakan dengan peraturan perundang-undangan lain, khususnya yang mengatur tindak pidana khusus, termasuk soal korupsi, narkotika, dan pelanggaran HAM. Apabila dipaksakan, beberapa upaya pemerintah seperti penuntasan kasus HAM berat justru akan semakin sulit.
Berdasarkan draf terakhir dan juga keterangan dari pemerintah, setidaknya terdapat 14 poin isu krusial yang mendapat perhatian. Dari keempat belas isu tersebut, mencuat beberapa pasal yang sangat berpotensi menimbulkan persoalan di kemudian hari.
Pasal pertama yang paling problematik dalam RKUHP ialah pasal penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Berdasarkan pasal ini, siapa pun yang dianggap menyerang harkat dan martabat presiden dan wakil presiden dapat diganjar hukuman pidana meskipun hal ini bisa terjadi apabila sang penyerang harkat dan martabat itu dilaporkan langsung oleh presiden atau wakil presiden karena sifatnya delik aduan.
Kedua, pasal yang masih problematik dari RKUHP ini ialah Pasal 280 yang mengatur tentang contempt of court. Dalam pasal ini, siapa pun yang dianggap tidak memenuhi perintah persidangan, bersikap tidak hormat terhadap hakim dan persidangan, atau merekam atau memublikasikan proses persidangan bisa diganjar dengan pidana denda paling banyak kategori II.
Selanjutnya, pasal yang cukup banyak menuai kontroversi sebelumnya ialah Pasal 415 soal perzinaan. Dalam pasal tersebut, setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan pasangan resminya dapat dijatuhi hukuman pidana.
Selain kini tidak dapat ditarik kembali sebelum pemeriksaan di persidangan seperti pada KUHP sebelumnya, infiltrasi negara dalam ruang privat ini juga perlu dipertanyakan urgensinya.
Tak hanya itu, masih ada beberapa pasal lain yang sebelumnya terkandung dalam draf RKUHP per 28 Agustus 2019 yang masih belum jelas ujungnya. Pasal-pasal itu meliputi Pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden, Pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah, Pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa, dan Pasal 262 tentang penyiaran berita bohong.
Selain itu, Pasal 263 tentang berita tidak pasti, Pasal 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan, Pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama, Pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, Pasal 440 tentang pencemaran nama baik, dan Pasal 444 tentang pencemaran orang mati.
Sampai saat ini, belum jelas akan seperti apakah bentuk dari RKUHP. Apabila dilihat melalui keterangan pemerintah dan draf sebelumnya, RKUHP masih menjadi ”makhluk” yang bisa mengancam kebebasan publik dan demokrasi di Indonesia.
Pasal ”penyerangan harkat dan martabat” presiden dan wakil presiden sebagai contohnya. Pasal ini bak memberikan amunisi tambahan, selain UU Informasi dan Transaksi Elektronik serta aturan ”karet” lainnya, terutama bagi pemerintah, untuk menekan pihak-pihak yang tak sepakat dengannya.
Ironisnya, pasal ini kental dengan bau kolonial, sesuatu yang sangat berlawanan dengan semangat RKUHP yang ingin mengenyahkan pengaruh pemerintah kolonial dari kitab perundang-undangan Indonesia.
Tak hanya itu, meski diberi cap delik aduan, pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa klausul delik aduan ini bisa saja tidak berlaku. Kasus penangkapan dua warga, yaitu LS (49) dan pemilik akun @masmalih376, pada 2020 dan 2021 karena menghina Presiden Joko Widodo menjadi bukti.
Siapa pun yang dianggap menghina, atau dalam konteks RKUHP nanti ”penyerangan harkat dan martabat” presiden atau wakil presiden, bisa saja langsung ”diamankan” oleh pihak kepolisian meskipun pihak yang dihina tidak membuat laporan.
Selanjutnya, beberapa pasal, termasuk pasal contempt of court ini, juga bisa dimaknai secara rancu. Apabila tidak dijelaskan secara rinci, maksud dari ”bersikap tidak hormat” misalnya, pasal ini bisa digunakan untuk membungkam kritik terhadap proses peradilan yang tidak adil. Kerancuan ini juga diperparah dengan semakin tertutupnya ruang persidangan apabila RKUHP ini nantinya disahkan.
Terakhir, RKUHP ini turut menyasar lapisan masyarakat paling lemah yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah. Hal ini terlihat dari Pasal 432 RKUHP yang menyebutkan bahwa setiap orang yang bergelandangan di jalan atau tempat umum bisa dijatuhi pidana denda paling banyak kategori I. Artinya, masyarakat golongan rentan akan berpotensi untuk menjadi semakin rentan dengan disahkannya RKUHP ini.
Tentu, segala kekhawatiran ini masih berupa spekulasi yang belum tentu akan terjadi di kemudian hari. Maka, agar tak menjadi simpang siur, pemerintah perlu segera membuka draf RKUHP yang pada Juli 2022 nanti akan disahkan.
Jangan sampai, niat baik dari pemerintah dan DPR untuk menciptakan karya ”monumental” berbentuk RKUHP ini ditanggapi dengan pahit oleh publik seperti pada 2019. (LITBANG KOMPAS)