Pimpinan Media Massa dan Masyarakat Sipil Minta Partisipasi Bermakna dalam Pembahasan RKUHP
Diskusi bersama sejumlah perwakilan masyarakat sipil dan pemimpin redaksi media massa terkait RKUHP dihadiri Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej serta sejumlah tim pakar RKUHP.
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat sipil dan pemimpin redaksi media massa meminta pemerintah segera membuka draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) sebelum dibahas bersama di DPR. Transparansi itu penting mengingat masih ada sejumlah pasal yang bermasalah karena dianggap melemahkan demokrasi.
Selain itu, sejumlah pasal juga dinilai tak selaras dengan semangat dekolonialisasi undang-undang peninggalan Belanda tersebut. Hal itu mengemuka dalam diskusi RKUHP bersama Forum Pemimpin Redaksi Media Massa yang disiarkan daring, Kamis (23/6/2022).
Diskusi bersama sejumlah perwakilan masyarakat sipil dan pemimpin redaksi media massa terkait RKUHP dihadiri Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej serta tim pakar RKUHP, seperti Harkristuti Harkrisnowo, Yenti Garnasih, Topo Santoso, dan Indriyanto Seno Adji.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, masyarakat sipil berharap pembentukan KUHP baru dilakukan dengan prinsip partisipasi publik bermakna (meaningful participation), seperti tertuang dalam pertimbangan putusan uji formil Undang-Undang Cipta Kerja. Oleh karena itu, draf terbaru RKUHP yang telah diperbaiki pemerintah harus dibuka. Draf terbaru mendesak segera dibuka sebagai bentuk transparansi terhadap publik sebelum RKUHP dibahas dan disahkan bersama DPR.
”Aliansi juga menolak jika pembahasan ulang RKUHP dibatasi hanya pada 14 masalah krusial. Hasil penyisiran kami, masih ada banyak pasal di luar 14 isu krusial itu yang bermasalah,” kata Isnur.
Baca juga: ICJR Minta Draf RKUHP Segera Dibuka ke Publik
Isnur menyebut sejumlah pasal bermasalah itu adalah yang mengatur tentang penghinaan kepala negara, kekuasaan umum, dan lembaga negara. Selain juga ada rumusan pasal yang karet yang juga dianggap merugikan demokrasi.
Pasal yang dimaksud adalah Pasal 240 RKUHP yang mengatur penghinaan terhadap pemerintah. Selain itu, juga Pasal 353 yang mengatur penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. Selain itu, juga Pasal 273 yang mengatur tentang ancaman pidana satu tahun bagi kegiatan demonstrasi tanpa pemberitahuan yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara bisa dipidana satu tahun penjara.
”Pasal-pasal tentang penghinaan itu menjadi perhatian utama bagaimana semangat demokratisasi dijaga dalam politik hukum negara. Kami mempertanyakan keberadaan pasal itu sementara Indonesia sudah banyak meratifikasi deklarasi universal hak asasi manusia terkait kebebasan berpendapat,” tanya Isnur.
Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Taufiq Rahman juga meminta pemerintah segera membuka draf RKUHP terbaru. Ada kesulitan akses terhadap draf terbaru RKUHP sehingga wartawan hanya bisa menulis berita menggunakan draf RKUHP tahun 2019. Selain itu, RKUHP juga akan mengatur banyak hal yang berkaitan dengan lini kehidupan masyarakat. Dalam draf RKUHP, norma pasal yang banyak dipertanyakan publik adalah yang berpotensi mengekang kebebasan masyarakat. Ini dinilai berpotensi memperburuk kualitas demokrasi di Indonesia.
Baca juga: Ironi RKUHP, antara Kebutuhan dan Kekhawatiran akan Pemberangusan Demokrasi
”Apakah tidak mungkin dalam pembahasan RKUHP ini diberi target tenggat yang cukup untuk menghindari penolakan dari publik. Apalagi, ini sudah memasuki tahun politik, di mana risiko secara politik juga akan lebih besar. Kami menyadari bahwa pemerintah telah memiliki lini masa target pengesahan. Namun, partisipasi masyarakat tetap harus dipenuhi,” kata Taufiq.
Senada, Pemimpin Redaksi Kumparan Arifin Asydhad juga mempertanyakan soal target pengesahan RKUHP pada masa sidang kali ini. Padahal, penolakan banyak dilakukan publik, terutama kelompok mahasiswa. Demonstrasi penolakan RKUHP mulai disuarakan karena pembahasannya dianggap tidak transparan dan kurang melibatkan konsultasi publik.
”Apakah konsultasi publik sudah optimal dilakukan? Ini harus dievaluasi kembali. Jika memang dirasa sosialisasi masyarakat masih kurang, ada baiknya pengesahan itu ditunda agar tidak dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, seperti kasus UU Cipta Kerja,” kata Arifin.
Wamenkumham Eddy Hiariej menuturkan, titik berat legislasi sesuai diatur di konstitusi berada pada DPR. Saat ini, fokus pemerintah adalah menyelesaikan draf berdasarkan masukan, merapikan typo atau salah ketik, rujukan, serta sinkronisasi antara batang tubuh dan tujuan. Sesuai kesepakatan antara Komisi III DPR dan pemerintah dalam rapat dengar pendapat (RDP), RKUHP memang akan disahkan pada Juli 2022. Namun, pada 7 Juli nanti, DPR sudah akan memasuki masa reses dan baru akan masuk kembali pada 16 Agustus 2022.
”Kalau melihat sisa waktu kurang dari dua minggu sebelum DPR memasuki masa reses, rasanya RKUHP belum akan disahkan pada Juli ini. Namun, sekali lagi, kami masih menunggu karena legislasi ini otoritasnya tidak hanya di pemerintah, tetapi titik beratnya justru di DPR,” kata Eddy.
”Contemp of court”
Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Julius Ibrani menyampaikan, masyarakat sipil keberatan dengan pasal tentang penghinaan martabat pengadilan (contempt of court) yang diatur di RKUHP. Menurut dia, definisi penghinaan itu subyektif dan bisa mengancam prinsip keterbukaan publik.
Selama ini, pengalaman PBHI mengadvokasi kasus-kasus hukum di pengadilan, majelis hakim bisa menentukan secara sepihak kategori penghinaan. Padahal, sebenarnya, kuasa hukum hanya memberikan masukan agar sidang berjalan secara adil dan obyektif.
”Pada saat mendampingi korban demo buruh yang dianggap merusak properti perusahaan, kami memberikan masukan kepada majelis hakim agar memutar rekaman CCTV sebagai alat bukti. Namun, kami justru ditegur karena dianggap mengajari majelis hakim. Jika pasal contempt of court diberlakukan, kami khawatir hal-hal seperti ini akan masuk dalam rumusan penghinaan karena dianggap tidak menghormati majelis hakim,” terang Julius.
Julius menilai, jika pasal contempt of court diberlakukan, kelompok yang akan dirugikan di antaranya adalah pers dan advokat pendamping korban. Seharusnya, RKUHP bisa lebih melindungi kebebasan pers dan profesi advokat.
Andriy Bima dari TV One juga mempertanyakan soal pasal contempt of court tersebut. Menurut dia, pers membutuhkan kepastian hukum untuk dapat meliput sidang-sidang yang terbuka untuk umum dan menjadi perhatian masyarakat. Sejak 2008, Mahkamah Agung sebenarnya sudah mengatur pelarangan soal penyiaran secara live sidang perkara tertentu. Namun, aturan itu ditentang karena dianggap bertentangan dengan asas keterbukaan informasi publik.
”Jangan sampai hal-hal yang seperti itu dianggap sebagai contempt of court. Pers membutuhkan perlindungan agar bisa melaksanakan tugasnya dengan kepastian dan perlindungan hukum. Ini semoga bisa menjadi perhatian pemerintah,” kata Andriy.
Anggota tim pakar RKUHP, Harkristuti Harkrisnowo, mengatakan, ada mispersepsi publik terhadap konsepsi Pasal 273 yang mengatur tentang ancaman pidana satu tahun bagi kegiatan demonstrasi tanpa pemberitahuan. Menurut dia, norma itu hanya berlaku pada aktivitas demonstrasi yang tanpa pemberitahuan.
Demonstrasi harus dilakukan dengan pemberitahuan secara tertulis. Jika demonstrasi dilakukan tanpa pemberitahuan kemudian terjadi kerusuhan dan keonaran, baru bisa dikenai ancaman pidana satu tahun. ”Kalau demonstrasinya ada pemberitahuan itu paling hanya dibubarkan,” kata Harkristuti.
Terkait dengan norma contempt of court, Harkristuti menjelaskan, pasal itu sebenarnya hanya untuk mencegah live streaming atau siaran langsung persidangan jika hakim tidak memberikan izin. Siaran langsung tidak diperkenankan karena pemeriksaan perkara sedang berproses. Jika disiarkan secara langsung, pihak-pihak yang beperkara akan berusaha tampil sebagus mungkin.
Indriyanto Seno Adji menambahkan, contempt of court mengatur soal teknis peliputan media massa. Menurut dia, dalam konvensi internasional, kebebasan informasi dan ekspresi dibatasi terkait tujuh hal. Salah satu pembatasan itu di antaranya terkait dengan penghinaan dari kekuasaan kehakiman. Itulah yang menjadi acuan pengaturan pasal penghinaan tersebut.
”Kenapa itu diatur, karena itu berkaitan dengan keadilan. Bukan pembuatan beritanya, tetapi proses yang ada di dalam due process of law. Amerika Serikat yang liberal saja ditentukan kok karena menyangkut kerahasiaan, kejahatan luar biasa, dan privacy interest,” kata Indriyanto.