KUHP terbaru berpotensi kian membatasi akses layanan kesehatan seksual dan reproduksi bagi perempuan, meningkatkan angka kehamilan dini, AKI, perkawinan anak, dan kriminalisasi korban kekerasan seksual.
Oleh
OLIVIA HERLINDA
·5 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Sebuah ironi, Kitab Undang -Undang Hukum Pidana (KUHP) disahkan justru pada minggu peringatan "16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan" (HAKTP). Ironis, karena beberapa pasal justru rentan merugikan perempuan.
Seperti UU Cipta Kerja, kritik juga mengiringi penyusunan Rancangan KUHP (RKUHP), seperti terbatasnya akses publik terhadap naskah RKUHP hingga minimnya pelibatan dan partisipasi berbagai elemen masyarakat sipil, terutama dari perspektif kesehatan dan gender.
Pemerintah terus menekankan bahwa revisi KUHP merupakan proses legislasi vital bagi modernisasi dan dekolonisasi hukum di Indonesia. Namun, publik sebagai pihak terdampak belum dilibatkan secara bermakna untuk memastikan regulasi yang dihasilkan memberikan kemaslahatan dan tidak justru melahirkan kerentanan baru atau justru memperdalam kerentanan yang sudah ada.
Kriminalisasi penyedia layanan aborsi pada Pasal 251, 463 -465 dalam KUHP berpotensi menutup dan mengurangi banyak akses ke layanan aborsi aman karena keengganan dan kekhawatiran penyedia layanan terkena kriminalisasi.
Sebaliknya, menutup akses pada aborsi aman tak mencegah /menurunkan angka aborsi, namun hanya menjadikan proses itu membahayakan nyawa wanita yang sedang mengandung.
Laporan WHO menunjukkan terbatasnya akses pada aborsi aman adalah satu dari lima penyebab utama, menyumbang 4,7-13,2 persen, angka kematian ibu mengandung, khususnya di negara berkembang, setiap tahunnya (WHO, 2021).
Di Indonesia, Angka Kematian Ibu (AKI) masih cukup tinggi, 230 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Data Kemenkes 2011 menyebutkan, 30 persen kematian ibu disebabkan oleh komplikasi aborsi yang tak aman yang mengakibatkan perdarahan hebat maupun infeksi (Sulistyarini, 2011).
TOTO SIHONO
ilustrasi
Riset Giorgio MM et al (2020), Estimating the Incidence of Induced Abortion in Java, menunjukkan mayoritas aborsi tak aman dilakukan melalui konsumsi obat dan ramuan tradisional tanpa bantuan atau supervisi tenaga medis.
Dari perspektif gender pun, pasal pidana aborsi ini sangat menitikberatkan beban pidana pada perempuan secara spesifik tanpa melihat andil orang lain seperti pasangan atau orangtua dalam pengambilan keputusan itu. KUHP ini belum memuat pidana terkait pemaksaan aborsi yang sering kali jadi permasalahan dan mendorong terjadinya kematian ibu atau permasalahan mental pada ibu.
Selain kriminalisasi; stigmatisasi terhadap aborsi dan individu yang mengaksesnya, serta minimnya regulasi yang menyajikan petunjuk teknis dan standar prosedur mengenai aborsi yang aman, juga membuat layanan aborsi aman di Indonesia sangat sulit diakses.
Profil Kesehatan Indonesia 2020 menyebutkan, kehamilan pada remaja perempuan adalah salah satu faktor yang meningkatkan AKI.
Akses layanan kontrasepsi
Pasal 408-410 KUHP yang mengatur mengenai alat pencegah kehamilan, juga berpotensi menurunkan angka capaian kesehatan seksual dan reproduksi di Indonesia. Hal ini akibat pendekatan yang sentralistik serta terbatasnya akses ke informasi kontrasepsi, edukasi seksual dan reproduksi yang komprehensif.
Profil Kesehatan Indonesia 2020 menyebutkan, kehamilan pada remaja perempuan adalah salah satu faktor yang meningkatkan AKI. WHO (2019) juga menyebutkan, 55 persen kehamilan tak diinginkan pada remaja perempuan berujung pada praktik aborsi tak aman, dengan risiko peningkatan AKI.
Pasal 408-410 berisiko membatasi akses anak dan remaja ke informasi dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi. Terbatasnya akses ini berkaitan erat dengan kenaikan angka kehamilan remaja yang dapat berujung pada peningkatan AKI.
Studi Bank Dunia (2017) menunjukkan 47,3 dari setiap 1.000 remaja perempuan di Indonesia pernah melahirkan, sedikit lebih tinggi dari rata-rata dunia (44 dari setiap 1.000 remaja perempuan). Kemenkes merekomendasikan peningkatan akses dan pemahaman akan alat kontrasepsi sebagai komponen penting edukasi seksual dan reproduksi komprehensif guna mencegah risiko kehamilan terlalu dini.
Akses ke layanan kesehatan reproduksi untuk anak dan remaja saat ini sangat terbatas.
Data Rifaskes 2019 menunjukkan, hanya 20,8 persen puskesmas yang memiliki dan dapat menunjukkan Pedoman Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas Remaja (PRSR) sebagai panduan untuk ketersediaan, standar dan kualitas layanan. Proporsi ketiadaan PRSR ini lebih tinggi lagi pada puskesmas di wilayah pedesaan (63,3 persen) dan wilayah terpencil/sangat terpencil (75,5 persen).
Kriminalisasi pelaku edukasi berisiko semakin membatasi ketersediaan layanan dan upaya aktif penjangkauan oleh relawan di pelosok Indonesia.
ilustrasi
Perzinahan dan kekerasan seksual
Pasal 411 dan 412 tentang perzinaan dan kohabitasi juga berisiko menempatkan korban kekerasan seksual pada kerentanan untuk dilaporkan atau diadukan dan terancam pidana.
Data dari 129 lembaga layanan (Komnas Perempuan, 2022) menunjukkan kasus pemerkosaan dominan terjadi di ranah relasi personal (25 persen). Banyaknya kasus pemerkosaan yang dilakukan orang-orang dalam relasi personal, berisiko menempatkan korban pada posisi sulit dan rentan untuk dilaporkan atau diadukan, menggunakan pasal karet perzinahan dan kohabitasi dalam KUHP.
Selain itu, ketentuan aduan oleh orangtua dan aturan pidana tentang perzinahan dan kohabitasi berpotensi menempatkan remaja, terutama remaja perempuan, pada kerentanan yang lebih tinggi pada terjadinya praktik perkawinan anak, karena timpangnya relasi kuasa antara anak dan orangtua.
KUHP terbaru tak hanya menciderai demokrasi Indonesia, namun berpotensi melanggengkan stigma, diskriminasi, dan kekerasan pada perempuan.
Perkawinan anak sering dipandang oleh orangtua atau keluarga sebagai jalan keluar untuk menghindari stigma dan ancaman pidana (Partners for Law in Development, 2019). Terlebih dengan adanya celah pengajuan dispensasi di UU No 16/2019 tentang Perkawinan, yang akan kian memperparah situasi perkawinan anak di Indonesia.
KUHP terbaru tak hanya menciderai demokrasi Indonesia, namun berpotensi melanggengkan stigma, diskriminasi, dan kekerasan pada perempuan. KUHP ini berpotensi kian membatasi akses layanan kesehatan seksual dan reproduksi bagi perempuan, meningkatkan angka kehamilan dini, AKI, perkawinan anak, dan kriminalisasi korban kekerasan seksual. Untuk itu, KUHP yang baru disahkan patut dikaji kembali dengan pelibatan bermakna kelompok masyarakat sipil dan yang terdampak, terutama dari perspektif kesehatan dan gender.
Olivia HerlindaDirektur Kebijakan di Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives