Bersuara Bersama Korban, Putuskan Rantai Kekerasan pada Perempuan
Berbagai regulasi perlindungan perempuan terus dilahirkan, tetapi kekerasan terhadap perempuan masih menjadi fenomena gunung es.
Kampanye 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan (K16HAKTP) 2022 menjadi momentum bagi para perempuan untuk terus menyuarakan kepada publik agar menghentikan berbagai praktik kekerasan terhadap perempuan. Tak hanya itu, kampanye ini juga menjadi ruang untuk memperkuat dukungan bagi perempuan korban agar berani bersuara dan melawan kekerasan.
Sejak Jumat (25/11/2022), berbagai kegiatan digelar organisasi perempuan, organisasi keagaman, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA).
Misalnya, Perempuan Mahardhika menggelar Diskusi Publik 16HAKTP di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dengan mengangkat berbagai situasi kondisi perempuan, termasuk perempuan pekerja. Begitu juga Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menggelar rangkaian diskusi publik dengan menghadirkan sejumlah pembicara.
Hak asasi manusia adalah juga hak perempuan, dan pemenuhan HAM tidak dapat dilepaskan dari upaya menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk bersama-sama melawan dan menolak segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Karena itulah, pada masa K16HAKTP pada 25 November-10 Desember 2022, Kementerian PPPA mengangkat tema ”Bersatu Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan”. Tema ini selaras dengan tema internasional ”UNITE! Activism to End Violence Against Women and Girls”.
”Kami mengajak seluruh pemangku kepentingan agar bersatu dalam upaya memutus mata rantai kekerasan terhadap perempuan di Indonesia yang saat ini masih menjadi fenomena gunung es,” ujar Bintang Darmawati.
Bintang menyerukan kepada seluruh perempuan Indonesia agar berani bicara untuk mengungkapkan kasus kekerasan ini mulai dari sekarang. Jika ada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, langsung hubungi call center atau pusat panggilan 129 atau Whatsapp 08111-129-129.
”Masyarakat bisa berperan sebagai saksi yang bisa melapor jika melihat ada tindak kekerasan di sekitar mereka. Kami akan mendampingi korban dan memastikan korban mendapatkan layanan yang cepat dan tepat sesuai dengan kebutuhan perempuan dan anak korban kekerasan,” tutur Menteri PPPA.
Karena itulah, selain lomba video kreatif antikekerasan, dialog dengan perempuan yang berhadapan dengan hukum, selama masa K16HAKTP, Kementerian PPPA juga akan mengadakan kampanye antikekerasan terhadap perempuan dan advokasi antikekerasan terhadap perempuan, khususnya di lingkungan kampus.
Sebagai UU baru, masih banyak pihak, termasuk aparat penegak hukum dan penyelenggara layanan, yang belum mengenali, apalagi memahami secara utuh materi muatan UU TPKS.
Rangkaian K16HAKTP 2022 juga digelar Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dengan berkolaborasi bersama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk Provinsi DKI Jakarta dalam rangka mewujudkan #JakartaRamahPerempuan#.
Kolaborasi juga dilakukan bersama dengan Suara Hati Foundation dengan melibatkan para seniman perempuan dan sosok publik di beberapa titik di Bandara Soekarno Hatta, Stasiun Gambir, dan Margonda City.
Selain itu, Komnas Perempuan juga melakukan kampanye 16 hari dengan mendukung rangkaian Konferensi Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Jepara, lalu melakukan kunjungan daerah di Kepulauan Riau, Manado-Tomohon, Surabaya, Gorontato, dan Samarinda.
Kenali UU TPKS
Komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang menyatakan, dalam rangkaian K16HAKTP 2022, Komnas Perempuan dan jaringannya dengan mengusung tema ”Ciptakan Ruang Aman dan Kenali UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual”.
”K16HAKTP dilakukan setiap tahun untuk untuk menegaskan bahwa hak asasi manusia adalah juga hak perempuan, dan pemenuhan HAM tidak dapat dilepaskan dari upaya menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan,” ujar Veryanto.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan periode 2012–2021 menunjukkan, sekurangnya ada 49.762 laporan kasus kekerasan seksual. Bahkan, pada Januari-November 2022 Komnas Perempuan menerima 3.014 kasus kekerasan berbasis jender terhadap perempuan, termasuk 860 kasus kekerasan seksual di ranah publik/ komunitas dan 899 kasus di ranah personal.
Dalam rangka K16HAKTP, Komnas Perempuan meminta Kementerian PPPA dan Kementerian Hukum dan HAM memastikan implementasi UU TPKS termasuk perumusan aturan turunan dan pelaksanaan sosialisasi secara meluas.
Demikian juga aparat penegak hukum agar mengimplementasikan UU TPKS dalam menangani kasus kekerasan seksual di seluruh wilayah kerja masing-masing dengan berpihak pada korban serta mempercepat peningkatan kapasitas aparat dalam menjalankan UU TPKS.
Undang-Undang No 12 Tahun 2012 tentang TPKS yang disahkan pada Mei 2022 memuat banyak terobosan karena berpihak pada hak korban. UU ini perlu disosialisasikan agar dapat segera diimplementasikan dan dipergunakan untuk kepentingan korban.
Agar dapat diimplementasikan, UU TPKS tersebut membutuhkan aturan-aturan turunannya, terutama untuk memandu aparat penegak hukum. Karena itulah, pemerintah diharapkan segera mempercepat penyusunan rancangan peraturan pelaksana UU tersebut.
Baca juga: Pengesahan UU TPKS, Momentum Hentikan Kekerasan Seksual
”Sebagai UU baru, masih banyak pihak, termasuk aparat penegak hukum dan penyelenggara layanan, yang belum mengenali, apalagi memahami secara utuh materi muatan UU TPKS. Oleh karena itu, penting untuk kita sama-sama mengenali UU TPKS dan mengawal implementasinya,” ujar Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam diskusi pada Rabu (23/11/2022) di Jakarta.
Media ikut mengawal implementasi UU TPKS. Saat ini, pemerintah sedang menyusun berbagai aturan turunan yang dimandatkan UU TPKS, baik dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) maupun peraturan presiden (perpres).
Aturan turunan yang dimandatkan, antara lain, PP restitusi korban kekerasan seksual, unit pelayanan terpadu satu atap untuk korban, pencegahan tindak pidana kekerasan seksual, dan pendidikan serta pelatihan petugas di unit pelayanan terpadu. Selain itu, ada pula aturan turunan terkait dengan pemantauan implementasi UU TPKS dalam bentuk perpres.
”Saatnya kita melanjutkan babak baru perjuangan dengan mengawal implementasi dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di lapangan,” ujar Andy.
Komisioner Komnas Perempuan Tiasri Wiandani menjelaskan, Pasal 4 Ayat 1 UU TPKS mengatur sembilan jenis kekerasan seksual, yakni pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Komnas Perempuan mencatat enam elemen kunci dalam UU TPKS, yaitu tindak pidana kekerasan seksual; sanksi dan tindakan; hukum acara tindak tidana kekerasan seksual dari pelaporan sampai dengan pelaksanaan putusan. Kemudian hak korban atas perlindungan; penanganan dan pemulihan; pencegahan; koordinasi dan pemantauan; termasuk di dalamnya peran serta masyarakat dan keluarga dalam pencegahan dan penanganan TPKS.
Materi muatan UU TPKS juga diharapkan menjadi landasan hukum dan kerja aparat penegak hukum, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat. UU TPKS bertujuan mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual dan menjamin kekerasan seksual tidak berulang.
Baca juga : Menanti Terbitnya Aturan Pelaksanaan UU TPKS
Menurut Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Polucy Research (TII), Nisaaul Muthiah, kehadiran UU TPKS menjadi penting karena hingga kini penanganan kekerasan terhadap perempuan masih menghadapi tantangan.