Atasi Kecenderungan Overkriminalisasi dalam Pembuatan Regulasi
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat untuk membahas kembali Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Setelah disahkan, KUHP diharapkan bisa menjadi utama dalam perumusan delik ataupun ancaman pidana.
Oleh
Susana Rita/Iqbal Basyari
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kecenderungan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat mencantumkan ketentuan pidana ataupun membuat delik pidana baru di dalam hampir setiap produk peraturan perundangan telah menghasilkan fenomena overkriminalisasi. Untuk itu, Kitab Undang-undang Hukum Pidana nasional sebagai kodifikasi hukum pidana, yang kini rancangannya akan kembali dibahas pemerintah dan DPR, harus dijadikan pedoman utama dalam perumusan delik ataupun ancaman pidana ke depan.
Harapan tersebut diungkapkan oleh Ketua Pusat Riset Pengembangan Peradilan Pidana Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi, saat menyerahkan hasil prosiding Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP 2021 kepada Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej, Selasa (22/6/2021), secara daring. Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP 2021 diselenggarakan atas kerja sama empat perguruan tinggi yang diikuti oleh 26 panelis untuk membahas draf RKUHP versi tahun 2019.
Menurut Fachrizal, ada banyak hal mendasar yang telah coba ditelaah melalui konsultasi nasional tersebut, salah satunya adalah bagaimana menempatkan KUHP nasional tersebut menjadi satu bentuk kodifikasi hukum pidana. Hal itu mengandung konsekuensi pada perlunya revisi terhadap Undang-Undang 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sebab, perlu ada pengaturan mengenai sejumlah hal, di antaranya bagaimana menentukan kriteria jika ada delik-delik pidana di luar KUHP, pedoman menentukan jenis dan ancaman pidana, penegasan dimungkinkannya revisi KUHP melalui UU lain, dan kewajiban memublikasi UU yang telah diubah, misalnya oleh putusan Mahkamah Konstitusi.
Dalam materi prosiding yang disampaikan Anugerah Rizki Akbari dari Pusat Studi Kriminal Universitas Padjajaran disebutkan, saat ini, Indonesia sedang mengalami ekspansi hukum pidana yang begitu dramatis berikut penggunanan hukuman yang juga tidak kalah tingginya. Dari riset yang dilakukan Rizki pada 2015, Indonesia memiliki kecenderungan untuk merumuskan ketentuan pidana di hampir setiap undang-undang yang disahkan dari waktu ke waktu. Tren itu juga diikuti dengan kecenderungan untuk terus menciptakan tindak pidana baru sejak 1998 hingga 2014. Dalam penelitiannya, Rizki menemukan 442 dari 716 delik baru tersebut dikategorikan sebagai pelanggaran, yang sebenarnya mengindikasikan nilai kriminalitas yang tidak serius.
Dijelaskan pula, pascareformasi, terlihat pula tendensi untuk merumuskan hukuman secara kumulatif pada berbagai peraturan perundang-undangan. Kondisi itu diperparah dengan semakin banyaknya pidana minimum khusus yang dirumuskan pembentuk undang-undang serta kecenderungan menggunakan hukum pidana meski pada saat yang bersamaan UU menyediakan alternatif penyelesaian sengketa untuk kondisi tersebut.
”Sebagai akibatnya, Indonesia menghadapi berbagai macam permasalahan dari fenomena overkriminalisasi ini,” demikian tertulis dalam prosiding pada halaman 18.
Wamenkumham Eddy mengakui, politik pemidanaan yang diadopsi di dalam KUHP salah satunya memang bersifat terbuka dan terbatas. Artinya, tidak menutup kemungkinan adanya pertumbuhan baru di luar KUHP tetapi bersifat terbatas. Di dalam KUHP terdapat bab mengenai pemidanaan yang mengatur pidana penjara dengan berbagai kategori, mulai dari I hingga VI. Ketentuan pemidanaan di dalam KUHP ini akan menjadi rujukan bagi undang-undang lain yang melakukan kriminalisasi terhadap satu perbuatan. Hal ini berlaku juga di negara-negara yang satu mazhab dengan Indonesia, yaitu sistem Eropa Kontinental.
Kurangi beban lapas
Lebih jauh, Wamenkumham menjelaskan mengapa keberadaan KUHP nasional sangat urgen untuk segera disahkan. Salah satunya adalah demi kepastian hukum, mengingat KUHP yang dipakai di ruang sidang pengadilan selama ini adalah warisan colonial. Selain itu, rancangan KUHP yang sedang disosialisasikan saat ini juga berorientasi pada hukum pidana modern yang mengedepankan keadilan retributif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif.
KUHP nasional (yang baru) juga dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan penjara yang kelebihan penghuni. Sebab, menurut Eddy, meskipun pidana penjara masuk ke dalam pidana pokok, dia bukan lagi primadona atau yang utama.
”Ada pidana denda, ada pidana pengawasan, dan ada pidana kerja sosial. Di dalam RKUHP, kalau (terdakwa) dipidana di bawah 2 tahun, bisa pidana pengawasan. Kalau di bawah 4 tahun, itu bisa pidana kerja sosial. Jadi sedapat mungkin menghindari pidana penjara. Dan diutamakan juga pidana denda,” ujarnya.