Di Tengah Pembangunan IKN, Pemerintah Didesak Mengakui Masyarakat Adat di Kaltim
Dari banyaknya masyarakat adat di Kaltim, baru tiga yang mendapat pengakuan dari pemerintah. Di Penajam Paser Utara, yang menjadi titik mula pembangunan IKN, belum ada masyarakat adat yang diakui.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Pemerintah didesak segera memberikan pengakuan dan kepastian hukum bagi masyarakat adat di Kalimantan Timur. Itu penting agar posisi masyarakat adat kuat dan tidak tersingkir dalam menghadapi pembangunan Ibu Kota Nusantara atau IKN.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Kaltim mencatat, saat ini terdapat 70 komunitas adat yang bergabung dengan organisasi tersebut. Jumlah itu tersebar di 10 kabupaten dan kota di Kaltim. Di luar itu, masih terdapat sejumlah komunitas adat di Kaltim.
Meski demikian, baru tiga masyarakat adat di Kaltim yang diakui pemerintah. Mereka adalah masyarakat adat Hemaq Beniung di Kabupaten Kutai Barat, masyarakat adat Mului di Kabupaten Paser, dan masyarakat adat Paring Sumpit di Muara Andeh, Kabupaten Paser.
Dari ketiga nama itu, baru dua hutan adat yang diakui pemerintah, yakni hutan adat masyarakat Hemaq Beniung di Kampung Juaq Asa seluas 48,85 hektar dan hutan adat Mului seluas 7.722 hektar. Adapun hutan adat masyarakat Paring Sumpit masih dalam tahap verifikasi dan validasi di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Saiduani Nyuk dari AMAN Kaltim mengatakan, saat ini pihaknya tengah bermusyawarah wilayah. Mereka mengambil tema ”Konsolidasi Mendesak Negara Memberikan Pengakuan dan Kepastian Hukum bagi Masyarakat Adat Kaltim dalam Pembangunan IKN”. Menurut dia, posisi masyarakat adat akan semakin rentan jika tak diakui pemerintah di tengah pembangunan megaproyek IKN ini.
”Apa yang menjadi suatu harapan adalah pengakuan dan perlindungan dari pemerintah, tetapi sangat tidak mudah mendapatkanya,” kata Saiduani saat dihubungi, Jumat (2/9/2022).
Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, ditetapkan pemerintah menjadi titik mula pembangunan IKN. Sejumlah proyek pembangunan awal sudah dilelang pemerintah. Tak secepat perkembangan proyek IKN, proses identifikasi dan pengakuan masyarakat adat di sekitarnya masih belum berjalan. Bahkan, belum ada masyarakat adat yang diakui pemerintah di Penajam Paser Utara.
Hal itu membuat masyarakat adat kesulitan dalam menjalani hidup di tengah pembangunan ekonomi yang tak melibatkan dan mempertimbangkan mereka. Sibukdin, Kepala Adat Suku Balik di Kelurahan Sepaku, Kecamatan Sepaku, mengatakan, sudah puluhan tahun mereka tercerabut dari kehidupan adat.
Sejak 1970-an, Orde Baru memberi hak kelola hutan kepada perusahaan di Sepaku dengan luas nyaris 200.000 hektar. Sejak perusahaan tanaman industri beroperasi di sana, masyarakat adat tak bisa membuka lahan dengan dibakar lantaran dilarang pemerintah dan keamanan perusahaan.
Padahal, Suku Balik mengandalkan sistem tanam tradisional ladang berpindah. Mereka membuka lahan tak lebih dari 1 hektar dengan dibakar. Mereka punya cara sendiri agar pembukaan lahan tak mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan.
Lahan yang dibuka diberi batas dengan cara membersihkannya dari segala unsur yang mudah terbakar. Lebar batas itu 3-5 meter. Pembukaan lahan mereka lakukan berkelompok. Saat tumpukan daun, batang, dan rumput dibakar, mereka akan mempertimbangkan arah angin.
Sejumlah orang bersiap di berbagai sudut dengan memegang daun basah. Daun itu akan dipukul-pukul ke kobaran api ketika api merembet ke lahan lain. Cara itu terbukti ampuh mencegah kebakaran hutan dan lahan.
”Sekarang kami enggak punya lahan karena hutan sudah milik perusahaan semua. Dulu kami makan dari padi gunung yang ditanam sendiri, sekarang kami harus beli beras,” ujar Sibukdin.
Lahan mereka yang semula dipakai berladang, sejak 30-an tahun lalu sudah diberikan kepada perusahaan oleh negara. Sibukdin mengatakan, hal itu terjadi lantaran masyarakat adat Suku Balik tak diakui dan dilibatkan dalam kebijakan. Akibatnya, mereka tersingkir dari ruang hidupnya.
”Harapan kami, sebelum IKN dibangun, masyarakat adat diakui dulu. Hutan adatnya juga,” katanya.
Kunci pengakuan masyarakat adat ada pada pemerintah kabupaten. Pengakuan itu berupa peraturan daerah yang mengakui suatu kelompok masyarakat sebagai masyarakat adat. Pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014, pengakuan masyarakat hukum adat harus melalui identifikasi terlebih dahulu.
Sekarang kami enggak punya lahan karena hutan sudah milik perusahaan semua. Dulu kami makan dari padi gunung yang ditanam sendiri, sekarang kita harus beli beras
Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara Pitono menyatakan, pihaknya sudah menyusun peraturan bupati mengenai identifikasi masyarakat hukum adat di Penajam Paser Utara. Meski demikian, proses identifikasi belum berjalan lantaran peraturan tersebut masih menjalani serangkaian proses sebelum diterbitkan.
”Kini, rancangan peraturan bupati itu dalam tahap evaluasi di biro hukum Provinsi Kaltim dan kami menunggu hasilnya,” ujar Pitono.