Lelaki yang tak pernah mengenyam pendidikan di sekolah itu tak ingin kemanusiaan tergerus di gigir pembangunan ibu kota negara yang baru. Dia adalah Sibukdin.
Oleh
SUCIPTO
·5 menit baca
Nilai kejujuran yang terpatri dalam laku suku Balik mendorong Sibukdin menyuarakan suasana batin sukunya. Lelaki yang tak pernah mengenyam pendidikan di sekolah itu tak ingin kemanusiaan tergerus di gigir pembangunan ibu kota baru.
Mengenakan peci hitam dengan motif kuning, Sibukdin menceritakan ingatan-ingatan masa subur kampungnya. Kelurahan Sepaku, tempat yang sukunya tinggali turun-temurun, pernah memiliki hutan lebat yang menghidupi: lahan datar dan miring dipenuhi oleh tumbuhan buah yang juga digunakan untuk ladang berpindah, air sungai jernih untuk minum dan berperahu, pohon tinggi tempat para lebah mengumpulkan madu, serta hutan rapat untuk berburu hingga mencari tanaman obat.
Sistem ladang berpindah adalah cara bercocok tanam dengan menggunakan lahan bergilir. Jika sudah masa panen di lahan saat ini, mereka akan berpindah di lahan lain sambil menunggu lahan lama meremajakan diri secara alami. Kini, kawasan yang saat ini berada di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, itu berubah. Ladang berpindah tak lagi dilakukan karena lahan meyempit.
Setidaknya sejak tahun 1970-an pemerintah membuka izin hutan tanaman industri di sebagian besar hutan alami yang jadi tumpuan suku Balik. Seiring dengannya, Orde Baru juga membuat program transmigrasi, yang sejumlah lahannya merupakan lahan garapan suku Balik.
”Dulu kami minum dari air Sungai Sepaku sebelum tahun 1970-an. Sekarang sudah tidak lagi karena warnanya keruh dan banyak limbah industri,” ujar lelaki 59 tahun itu, Rabu (27/7/2022).
Tempat yang ia diami itu dikenal sebagai Sepaku lama, sebutan bagi perkampungan pertama yang ada sebelum program transmigrasi dan izin pengelolaan hutan terbit. Berbagai program pemerintah itu tak melibatkan mereka sebagai warga yang lebih dulu mendiami lahan di sana. Akibatnya, ruang hidup suku Balik kian menyempit.
Ladang berpindah yang lebih ramah lingkungan tak lagi ada lantaran lahan sudah dipetak-petak pertanda dikuasai perusahaan dan individu, sesuatu yang sebelumnya tak mereka kenal. Kepemilikan komunal, seperti hutan adat dan lahan untuk berladang, pun sirna seiring terbitnya berbagai sertifikat tanah bagi pendatang dan warga transmigran.
Kendati demikian, suku Balik dan suku Paser yang mendiami kawasan itu lebih dulu tetap menerima orang-orang yang datang dan mendiami Sepaku. Mereka juga tak pernah protes terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Bahkan, banyak suku Balik dan suku Paser yang menikah dengan suku pendatang dan transmigran dari Jawa, Sulawesi, dan daerah lain.
”Kami terbuka dengan siapa saja dan menjunjung perdamaian,” ujar Sibukdin.
IKN datang
Walakin, setelah pemerintah menetapkan Kecamatan Sepaku sebagai titik mula pembangunan Ibu Kota Negara atau IKN Nusantara, Sibukdin dan sukunya tak ingin hanya diam. Sebab, suku Balik diselimuti suasana batin yang tak tentu. Mereka tak memiliki sertifikat tanah lantaran tak tersentuh berbagai program pemerintah.
Mereka juga belum diakui sebagai masyarakat adat sehingga tak memiliki wilayah kelola dan hutan adat sendiri untuk dikelola secara komunal. Kondisi dan suasana batin itu yang ia utarakan dalam berbagai pertemuan, mulai dari pemerintah kecamatan, Otorita IKN, hingga pemerintah pusat. Itu pula yang ia sampaikan kepada wartawan yang meliput ke IKN.
”Leluhur kami bilang, kebohongan itu pantang. Sama binatang saja kami ndak boleh bohong. Untuk itu, saya sampaikan apa yang benar-benar dirasakan dan khawatirkan suku Balik," ujarnya.
Jalan diplomasi yang Sibukdin pilih, bukan pengerahan massa untuk mengancam atau bentuk ketegangan lainnya. Itu ia pilih bukan tanpa alasan. Nilai-nilai yang ada dalam masyarakat suku Balik menjadi pegangan hidupnya.
”Jati diri suku Balik itu kebaikan, bukan keburukan. Kami menyuarakan aspirasi ini bukan ingin dapat proyek atau bisnis. Ini suatu perjuangan bagi anak-cucu kami,” katanya sambil menerawang ke luar jendela.
Banyak pejabat dan perwakilan pemerintah yang sudah ia jumpai untuk menyampaikan kekhawatiran suku Balik. Tak melulu mengenai wilayah kelola adat dan pengakuan sebagai masyarakat adat, ia juga menyampaikan hak-hak dasar yang selama ini lambat berkembang di kampungnya.
Setelah banyak diliput oleh media nasional hingga internasional, Ali Mochtar Ngabalin sebagai Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden berkunjung ke rumah kayu Sibukdin. Tanpa beban dan lelah, Sibukdin bicara hal-hal yang selalu ia sampaikan, meskipun ia tak tahu apakah pesannya itu benar didengar atau tidak.
Ia meminta agar warga Sepaku, termasuk suku Balik dan suku Paser sebagai penetap lama, turut menikmati pembangunan ibu kota negara yang baru. Mereka tak ingin disingkirkan ketika fasilitas kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur berkembang di kampung mereka.
Sebab, banyak pengetahuan lokal mengenai obat-obatan sudah hilang lantaran hutan semakin jauh dari kampung. Akibatnya, anak dan cucu suku Balik kini tak mempraktikkan pengobatan tradisional dari tumbuhan hutan. Namun, sekolah formal, tempat para anak-cucu suku Balik mengenyam pendidikan, juga minim fasilitas. Pengetahuan lokal yang berharga dan murah mengenai obat-obatan itu pun tak ada dalam kurikulum.
Kondisi itu amat mengkhawatirkan Sibukdin. Konon, pembangunan ibu kota negara akan mendatangkan jutaan aparatur sipil negara dari Jakarta dan sekitarnya. Bahkan, akan banyak ahli dengan kemampuan, jaringan, latar belakang pendidikan, dan hak istimewa yang bakal bekerja mendukung ibu kota baru di kampungnya.
Kondisi itu, menurut Sibukdin, membuat persaingan sumber daya manusia di Sepaku bakal berjalan tak sepadan. Warga lokal yang selama ini sulit mengakses pendidikan lantaran pembangunan infrastruktur minim, bakal dihadapkan dengan orang-orang yang punya banyak hak istimewa. Warga lokal yang menyingkir dan tersingkir, pikir Sibukdin, adalah keniscayaan di tengah pembangunan ibu kota dengan jargon ”kota dunia untuk semua”.
”Persaingannya nanti bukan ecek-ecek. Kami tidak menyalahi misi pemerintah, tapi misi itu masih lalai terhadap rakyat kecil yang selama ini minim akses pendidikan dan hidup turun-temurun lebih dulu,” katanya sambil mengerutkan dahi.
Meski tak tahu suaranya itu didengar atau tidak, Sibukdin tak ingin berhenti menyampaikan kegundahan batin sukunya yang nyata tersebut. Itu adalah wujud dan laku suku Balik terhadap nilai yang tersisa. Menyuarakan kegundahan yang sesungguhnya adalah laku jujur yang diwariskan leluhur mereka.
”Ilmu yang kita punya, kalau tidak jujur, akan jadi malapetaka,” katanya.
Lahir : Sepaku, 13 Desember 1963
Jabatan : Ketua Adat Suku Balik di Kelurahan Sepaku (2003-sekarang)