Tanahnya Diakui Negara, Masyarakat Adatnya Tidak
Masyarakat suku Paser dan suku Balik sudah puluhan tahun merasakan hutan dan lahan mereka digunakan untuk industri dan transmigrasi tanpa ada kompensasi. Kini mereka dihadapkan pada proyek ibu kota negara.
Sibukdin (60) berjalan ke tepi Sungai Sepaku di belakang rumahnya. Ia bercerita, saat usianya belasan tahun, tepi sungai itu menjadi tempatnya mencari buah-buahan yang mereka sebut kendis, bumunyong, dan kendui. Kini, buah-buahan itu sudah tak bisa didapat. Sekalipun ada, letaknya jauh di dalam hutan.
Menurut dia, buah-buahan itu tak bisa lagi tumbuh lantaran tepi sungai sudah tak lagi alami. Sudah banyak bangunan, kebun, dan pembangunan proyek pemerintah di sepanjang pinggir sungai. Sejauh ingatannya, perubahan itu berangsur-angsur terjadi sejak tahun 1970-an di kampungnya, Kelurahan Sepaku, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur.
Saat itu, pemerintahan Orde Baru mulai mengirim warga dari Pulau Jawa untuk program transmigrasi. Warga suku Balik seperti Sibukdin tak dilibatkan dalam penentuan batas kelola lahan. Alhasil, sejumlah lahan dan tanah garapan mereka dipatok pemerintah kala itu sebagai lahan untuk program transmigrasi.
”Petugas saat itu bilang, itu lahan negara karena kami tak punya surat-surat bukti tanah. Kalau ada pembangunan, tanah yang kami garap diakui sebagai tanah negara. Masa tanahnya saja diakui negara, masyarakatnya tidak?” katanya lirih, saat ditemui Senin (6/6/2022).
Yang kami takut, lahan tempat tinggal dan perkebunan kami bisa saja diambil oleh orang tak bertanggung jawab kalau tidak ada surat-surat. Karena sosialisasi soal IKN ke kami tidak ada. (Pandi)
Selain program transmigrasi, hutan tempat mereka berburu dan berladang juga terkikis karena pemerintah memberikannya bagi izin konsesi perusahaan hutan tanaman industri. Luasnya lebih dari 100.000 hektar. Sejak saat itu, berangsur-angsur terjadi perubahan dalam tradisi dan kebiasaan suku Balik dan Paser yang menetap di Sepaku.
Laiknya masyarakat tradisional di Kalimantan, kedua suku tersebut semula mengandalkan ladang berputar atau berpindah untuk menanam kebutuhan pokok. Mereka membuka lahan sekitar setengah hektar dengan cara membakar. Daun, batang, dan rumput yang sudah ditebang dikumpulkan dalam beberapa tumpukan, kemudian dibakar.
Setiap anggota keluarga juga bersiap di sejumlah sudut dengan menggenggam daun basah. Ketika api menjalar ke tempat lain, mereka siap memadamkan dengan memukul-mukul api. Cara tradisional itu efektif mencegah kebakaran hutan dan lahan.
Lahan itu kemudian ditanami padi gunung dan tanaman lain tanpa pupuk, apalagi obat kimia. Setelah panen, mereka akan berpindah ke lahan lain dan membiarkan lahan lama meremajakan diri secara alami. Lahan lama itu akan digunakan kembali setelah tumbuh rumput-rumput, pertanda siap digarap kembali.
Namun, setelah adanya izin perusahaan hutan tanaman industri, praktik itu dilarang oleh kepolisian dan pihak keamanan perusahaan. Pun selain itu, berangsur-angsur, suku Paser dan Balik meninggalkan sistem ladang berpindah karena lahan sudah banyak dikuasai perusahaan dan digunakan untuk program transmigrasi.
Baca juga: Suara Lirih Masyarakat Adat di Tepian IKN
”Akhirnya, kami saat ini membeli beras untuk makan sehari-hari karena kami tak menguasai sistem sawah. Lahan dan hutan untuk menanam juga sudah tidak ada,” ujar Sibukdin yang juga sebagai Kepala Adat Suku Balik di Kelurahan Sepaku.
Pengetahuan mengenai tumbuhan obat dari hutan pun tak bisa diwariskan ke generasi saat ini. Misalnya, menyeduh akar kayu bajakah untuk diminum guna menjaga kebugaran, kini sudah tak dilakukan lantaran pohon bajakah sudah sulit didapat. Konsumsi madu alami juga nyaris tak ada karena pohon lumu, tempat lebah madu bersarang, sudah tak tumbuh.
Adaptasi
Meski demikian, masyarakat adat di sekitar Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara itu tak tinggal diam. Mereka menyesuaikan diri dengan perubahan, berjuang untuk haknya, sekaligus terbuka menerima pendatang dari luar Kecamatan Sepaku.
Saat ini saja, Sibukdin mencukupi hidup dengan berkebun sawit di lahan sekitar 1 hektar, hal yang sama sekali baru bagi sukunya. Itu ia lakukan karena hampir seluruh masyarakat pendatang di Sepaku berkebun sawit. Ia juga menanam sejumlah buah serta sayur untuk kebutuhan sehari-hari dan dijual, seperti pisang dan nira.
Daya hidup juga terpancar dari Pandi (49), keturunan suku Balik dan suku Paser. Ia saat ini menjabat sebagai ketua RT 003 Kelurahan Sepaku. Ia menghimpun warganya untuk sesegera mungkin mengurus surat-surat tanah. Sebab, sebagian besar masyarakat lokal di Kelurahan Sepaku tak mengurus surat tanah rumah dan lahan garapannya.
”Ada empat kelurahan yang masih banyak warga belum punya surat tanah. Selain tempat kami (Kelurahan Sepaku), ada Mentawir, Maridan, dan Pemaluan. Kami juga tak tersentuh program sertifikat tanah pemerintah,” katanya.
Pandi sendiri baru mendapat dokumen segel untuk lahan rumahnya seluas 10 meter x 10 meter pada tahun 2019. Ia juga memfasilitasi sejumlah warga yang kesulitan mengurus surat tanah. Itu dilakukan lantaran khawatir proyek pembangunan IKN akan berdampak juga ke permukiman mereka.
”Yang kami takut, lahan tempat tinggal dan perkebunan kami bisa saja diambil oleh orang tak bertanggung jawab kalau tidak ada surat-surat. Karena sosialisasi soal IKN ke kami tidak ada,” ujar Pandi.
Baca juga: Pemindahan Ibu Kota Negara dan Etika Pembangunan
Dalam sejumlah pertemuan dengan Pemerintah Kecamatan Sepaku, Pandi juga menyuarakan keresahan warga. Ia meminta pemerintah memberi perlindungan dan sosialisasi merata mengenai lahan warga dan hak dasar warga. Sebab, mereka tak ingin nantinya tersingkir dan susah di tanah kelahiran mereka sendiri.
Saat ini saja, Pandi harus membeli air untuk kebutuhan minum dan memasak. Padahal, dahulu, mereka meminum air dari Sungai Sepaku. Namun, kini mereka tak lagi meminum air itu lantaran banyak limbah dan pupuk dari perusahaan yang larut ke air saat hujan.
”Sekarang air sungai hanya untuk mandi dan cuci. Itu pun airnya cokelat. Jadi harus kami diamkan dahulu biar tanahnya mengendap,” katanya.
Ia berharap pembangunan IKN jangan malah menyisihkan mereka, tetapi memberi perubahan ke kehidupan yang lebih baik. Soal air, kini pemerintah membangun intake Sepaku dan Bendungan Sepaku Semoi untuk kebutuhan air bersih IKN. Pandi berharap warga bisa juga menikmatinya tanpa harus mengeluarkan biaya.
Belum adanya pengakuan satu pun masyarakat hukum adat di PPU disadari oleh Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten PPU Pitono. Hal itu terjadi lantaran pemerintah setempat belum melakukan identifikasi. Sebab, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014, pengakuan masyarakat hukum adat harus melalui identifikasi terlebih dahulu.
”Kami belum sampai tahap identifikasi. Saat ini, baru proses harmonisasi peraturan bupati soal identifikasi masyarakat hukum adat di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Kaltim. Kami targetkan Agustus 2022 sudah ada penetapan Perbup PPU tentang identifikasi masyarakat hukum adat,” ujar Pitono.
Baca juga: Masyarakat Adat di Antara Dua Kekuatan Besar
Masyarakat adat seperti Pandi dan Sibukdin berharap pemerintah memberi perhatian khusus terhadap mereka. Sebab, mereka saat ini posisinya amat rentan terhadap pencaplokan lahan lantaran tak pernah difasilitasi untuk mengurus surat-surat tanah.
Mereka tentu saja bisa terus beradaptasi dengan perubahan yang ada, meski tertatih. Namun, sebagai warga negara, mereka tentu tak bisa dibiarkan berjuang sendirian.
”Kami yakin program pemerintah itu baik, tetapi kami juga butuh tindakan nyata pemerintah untuk memberi kami perlindungan atas hak-hak kami,” ujar Sibukdin.
Perlindungan itu bisa dimulai dengan memberi pengakuan atas status mereka sebagai masyarakat adat.