Pengakuan negara terhadap wilayah adat sangatlah penting di tengah tekanan kekuasaan dan ekonomi. Dengan payung hukum ini masyarakat adat dapat terus berdaya memajukan adat dengan tetap membawa nilai kearifan lokal.
Oleh
Budiawan Sidik A
·7 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Bekas lahan perkebunan jagung yang dikelola PT Bintuni Agro Prima Perkasa (BAPP) yang berada di hamparan Lembah Kebar, Distrik Kebar, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat (18/4/2021). Kerusakan hutan karena pembukaan lahan menyebabkan ketegangan antara masyarakat adat di Lembah Kebar dengan PT BAPP. Selama ini hutan di Lembah Kebar menyediakan banyak sumber daya yang bisa digunakan masyarakat adat untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sebagian tanah ulayat itu masih berupa hutan dengan aneka jenis flora dan fauna.
Tidak mudah bagi masyarakat adat mewujudkan pengakuan hak atas tanah leluhur yang sudah lama dimiliki. Dengan jumlah kelompok dan juga anggota komunitas yang relatif sedikit membuat masyarakat adat bagaikan kelompok kecil yang harus menghadapi kekuatan yang sangat besar.
Di satu sisi mereka harus berhadapan dengan kekuasaan dan birokrasi pemerintah, sementara di sisi lain harus menghadapi kekuatan korporasi yang ekspansif.Tidak jarang dua kekuatan tersebut berkolaborasi untuk menggerus tanah-tanah adat.
Tekanan tersebut membuat sebagian masyarakat adat makin terpinggirkan di tanah leluhurnya sendiri. Sebagian wilayah adatnya banyak yang belum diakui oleh negara. Belum diakuinya hak atas tanah membuat akses warga adat terhadap wilayahnya menjadi sangat terbatas. Padahal bagi masyarakat adat, tanah beserta lingkungannya memiliki peran yang sangat krusial.
Bagi masyarakat adat, tanah ulayat itu dapat diibaratkan bagaikan ibu. Dari tanah berikut segenap ekosistem dan kekayaan alamnya mereka dapat menggantungkan kelangsungan hidupnya. Pandangan hidup demikian membuat peranan tanah sangatlah sentral sehingga menjaga kelestarian lingkungan menjadi sesuatu yang sangat prinsipil bagi masyarakat adat.
Tanah dan alam harus lestari agar anak dan keturunannya kelak juga dapat melangsungkan kehidupan tanpa harus kekurangan kebutuhan hidup. Setidaknya dari segi kebutuhan primer seperti pangan, sandang, dan papan yang mudah didapatkan dari alam sekitar.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Desa Sigapiton tampak di lembah di tepi Danau Toba, di Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara (4/4/2019). Masyarakat adat Desa Sigapiton meminta agar hak ulayat mereka atas lahan yang akan digunakan sebagai Kawasan Otorita Danau Toba diakui oleh pemerintah. Tanah ulayat tersebut sudah turun temurun dikelola masyarakat adat, namun kini dilepaskan dari kawasan hutan menjadi kawasan otorita.
Sayangnya, hingga saat ini upaya untuk mendapatkan pengakuan atas tanah adat itu belum tuntas terselesaikan. Salah satu indikasinya terlihat dari luasan sebaran hutan adat yang sudah diakui pemerintah. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021, luasan hutan adat yang sudah diakui oleh pemerintah baru mencapai kisaran 76.000 hektar. Luasan hutan adat ini terbagi ke dalam 89 surat keputusan yang sah mengakui terhadap wilayah adat yang dihuni oleh sekitar 44.000 kepala keluarga.
Pengakuan dari pemerintah tersebut tentu saja belum memuaskan bagi sebagian besar masyarakat adat. Pasalnya menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah luasan hutan adat itu mencapai 1,09 juta hektar. Artinya, hutan atau tanah adat yang diakui secara resmi baru sekitar 6 persennya dari seluruh wilayah adat.
Hal ini tentu saja berpotensi besar menimbulkan kerawanan berupa munculnya potensi konflik berupa tumpang tindih kepentingan atas wilayah adat yang belum diakui tersebut. Salah satu titik sengketa berupa konflik tenurial (hak lahan) antara masyarakat adat dengan berbagai pihak.
Konflik tenurial tersebut bentuknya berupa perselisihan atau pertentangan klaim penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan penggunaan kawasan lahan hutan serta sumberdaya alam lainnya. Beberapa konflik tenurial yang pernah terjadi di antaranya gugatan dari masyarakat adat atas penguasaan lahan milik adat guna kepentingan usaha pertambangan, perkebunan, industri, pembangunan infrastruktur, dan obyek strategis milik negara.
KORNELIS KEWA AMA
Aksi demo damai warga Sumba Barat saat memperingati hari hak azasi manusia (10/12/2019). Massa mendesak polisi segera mengungkap siapa pelaku penembakan Poro Duka, petani yang mempertahankan tanah ulayat dari tangan penguasa.
Berdasarkan data dari KLHK, hingga 2020 terjadi 567 konflik tenurial di seluruh wilayah Indonesia. Provinsi dengan jumlah kasus konflik tenurial terbanyak adalah Sumatera Utara, Riau, dan Jambi. Masing-masing provinsi tersebut menyumbang lebih dari 60 konflik tenurial.
Apabila di kalkulasi secara kepulauan, wilayah Sumatera merupakan daerah penyumbang konflik tenurial terbanyak di Indonesia. Pada 2020, muncul 320 kasus atau sekitar 56 persen konflik tenurial terjadi di seluruh Sumatera. Selanjutnya, disusul wilayah Jawa (18 persen) dan Kalimantan (13 persen).
Dari 567 kasus tenurial tersebut, sebanyak 513 kasus diantaranya sudah dalam tahap penyelesaiannya. Namun, apabila dipilah-pilah untuk kasus yang benar-benar selesai masih relatif sedikit, yakni baru 126 saja yang sudah dinyatakan dialihkan atau dikembalikan. Sebagian besar kasus (52 persen) masih dalam proses kajian.
Sedangkan proporsi konflik tenurial yang sudah masuk dalam tahap mediasi dan perjanjian tercatat kurang dari 10 persen. Deskripsi ini menunjukkan bahwa konflik tenurial itu relatif tidak mudah untuk diselesaikan dan membutuhkan waktu perundingan yang lama. Oleh sebab itu, perlu regulasi yang jelas dari pemerintah agar tidak terjadi konflik atas tumpang-tindihnya klaim penguasaan lahan hutan.
Diskriminasi hukum
Laporan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada Maret 2022 menunjukkan adanya diskriminasi hukum yang jelas antara masyarakat adat yang minoritas dibandingkan kekuasaan korporasi yang padat modal. Pemerintah telah memberi izin seluas 35 juta hektar hutan kepada perusahaan. Sedangkan sejak Putusan MK Nomor 35 Tahun 2012, wilayah adat yang dikembalikan ke masyarakat adat melalui skema hutan adat hanya sekitar 69 ribu hektar.
Padahal, jumlah wilayah adat yang telah dipetakan mencapai 11 juta hektar. Luasan hutan adat tersebut sangat timpang dengan lahan korporasi yang mencapai puluhan juta hektar. Bahkan, luasan alokasi hutan untuk korporasi itu juga ditambahkan lagi sekitar 2,11 juta hektar untuk kepentingan investasi tambang, hak pengusahaan hutan (HPH), hak guna usaha (HGU), hutan tanaman industri, dan lain-lain.
Data-data tersebut mengindikasikan bahwa kepentingan pemodal menjadi lebih diutamakan dibanding kehidupan masyarakat adat. Luas areal hutan adat susah untuk bertambah. Berbeda halnya dengan areal perkebunanindustri yang kian bertambah. Sebagai salah satu contohnya yang sangat drastis peningkatan luasan lahan kelapa sawit. Bahkan, sebagian tanaman perkebunan tersebut mengancam terjadinya alih fungsi lahan hutan atau deforestasi.
Berdasarkan data BPS tahun 2020, luas lahan perkebunan kelapa sawit ini menguasai sekitar 88 persen seluruh areal perkebunan besar di seluruh Indonesia. Dalam satu dekade ini, luas lahan tanaman sawit terus meningkat rata-rata sebesar 5,8 persen atau hampir 370 ribu hektar per tahun. Hingga tahun 2020 lalu, luas areal budidaya secara nasional sudah mencapai sekitar 8,8 juta hektar.
Tingginya okupansi lahan hutan untuk budidaya kelapa sawit membuat komoditas ini turut dituduh sebagai salah satu penyebab deforestasi di Indonesia. Menurut Ari Wibowo, dalam jurnal “Konversi Hutan Menjadi Tanaman Kelapa Sawit Pada Lahan Gambut: Implikasi Perubahan Iklim dan Kebijakan” (2010) menyebutkan bahwa pertumbuhan pesat tanaman sawit akibat dorongan nilai ekonomi dari tanaman tersebut ini seringkali harus dibayar mahal karena bertentangan dengan pelestarian lingkungan. Perluasan pembangunan perkebunan kelapa sawit pada akhirnya akan mengkonversi kawasan hutan untuk dijadikan lahan budidaya.
Deforestasi untuk budidaya perkebunan tersebut selain menyusutkan lahan hutan, juga berdampak negatif pada lingkungan berupa keluaran emisi gas rumah kaca. Pada tahun 2000-2020, penyumbang emisi terbesar di Indonesia sebagian besar berasal dari sektor forestry and other land use (FOLU). Dari 15 subsektor FOLU, setidaknya ada empat subsektor yang berkontribusi besar terhadap buangan emisi GRK yang besar.
Subsektor tersebut adalah peat fire, peat decomposition, non-grassland to grassland, dan non-cropland to cropland. Keempat subsektor FOLU ini pada kurun 2000-2019, rata-rata menyumbang emisi GRK per tahun sekitar 796 juta ton CO2e. Angka ini jauh meninggalkan emisi dari kelompok energi yang rata-rata per tahun berkontribusi sekitar 456 juta ton CO2.
Besarnya buangan emisi yang berasal dari peat fire, peat decomposition, non-grassland to grassland, dan non-cropland to cropland tersebut mengindikasikan terjadinya proses peralihan lahan hutan untuk kepentingan lainnya. Di antaranya untuk sektor perkebunan, pertambangan, dan industri.
Selain berdampak pada emisi, penyusutan lahan hutan tersebut juga berpotensi mengancam keberlangsungan masyarakat adat yang hidup dengan nilai-nilai kearifan lokal. Salah satu hal yang sangat terancam adalah pengetahuan secara tradisi yang bertujuan mengelola lingkungan hidup dan sumber daya alam secara lestari. Dapat dibayangkan, apabila hutan adat terhimpit oleh kekuatan korporasi besar maka akan ada potensi konflik dan sekaligus potensi degradasi nilai-nilai tradisi budaya akibat tekanan dari lingkungan sekitarnya.
Hal tersebut tentu sangat merugikan bagi generasi mendatang karena sebagian masyarakat adat sudah memiliki tata nilai kehidupan yang sangat mandiri. Berdasarkan laporan AMAN pada Maret 2022, setidaknya terdapat 117 kelompok dari 100 komunitas masyarakat adat tersebar di 35 kabupaten yang bergerak dalam upaya peningkatan produksi pangan melalui melalui pertanian, perkebunan, tanaman obat, perikanan dan peternakan.
Upaya ini menjadi petunjuk kesadaran tinggi masyarakat adat untuk berdaulat memenuhi kebutuhan pangan dan juga meningkatkan kondisi perekonomian. Untuk mendukung tetap berdayanya masyarakat adat di tengah impitan dua kekuatan besar, regulasi berupa UU Masyarakat Adat harus segera direalisaikan.
Undang-undang tersebut bukan hanya menjadi bentuk pengakuan negara terhadap identitas masyarakat adat, tetapi juga dapat berfungsi sebagai dasar hukum dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang membelenggu dan mendiskriminasi masyarakat adat. Dengan payung hukum ini maka masyarakat adat memiliki legalitas untuk mengelola wilayahnya dengan prinsip-prinsip yang mengedepankan kelestarian lingkungan dan sekaligus mendorong kemajuan bersama dengan nilai-nilai kearifan lokal. (LITBANG KOMPAS)