Identifikasi Lambat, Masyarakat Adat di IKN Belum Diakui Pemerintah
Lambatnya proses identifikasi menjadi salah satu penyebab belum diakuinya sebagian besar masyarakat hukum adat di Kalimantan Timur, lokasi Ibu Kota Negara atau IKN Nusantara.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
SEPAKU, KOMPAS — Lambatnya proses identifikasi menjadi salah satu penyebab belum diakuinya sebagian besar masyarakat hukum adat di Kalimantan Timur, lokasi Ibu Kota Negara atau IKN Nusantara. Hal itu membawa efek domino, salah satunya adalah minimnya perlindungan masyarakat adat beserta wilayah adatnya.
Di Kalimantan Timur, baru ada tiga masyarakat adat yang diakui pemerintah. Mereka adalah masyarakat adat Hemaq Beniung di Kutai Barat, masyarakat adat Mului di Kabupaten Paser, dan masyarakat adat Paring Sumpit di Muara Andeh, Kabupaten Paser.
Artinya, pengakuan masyarakat adat di Kaltim masih minim. Sebab, menurut catatan antropolog Universitas Mulawarman Samarinda, Simon Devung, setidaknya terdapat dua subsuku Melayu dan 16 subsuku Dayak di Kalimantan Timur. Mereka masih terbagi-bagi lagi dalam banyak kelompok.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim Margaretha Seting Beraan menyebutkan masih banyak masyarakat adat Kaltim yang belum diakui pemerintah. Saat ini saja, kata Margaretha, baru 70 komunitas adat yang menjadi anggota AMAN Kaltim.
”Belum lagi komunitas adat lain yang bukan anggota AMAN Kaltim. Tidak adanya pengakuan, imbasnya tentu saja tidak ada perlindungan terhadap hak-hak mereka,” katanya, dihubungi Senin (6/6/2022).
Dengan adanya niat pemerintah membangun megaproyek IKN di Kaltim, Margaretha menilai masyarakat adat semakin rentan. Di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, lokasi yang ditetapkan sebagai IKN, masyarakat suku Balik dan suku Paser sudah tersisih dengan adanya program transmigrasi dan pemberian konsesi hutan tanaman industri oleh pemerintah.
”Dengan tidak adanya pengakuan, komunitas adat dianggap tidak ada di lokasi IKN. Ini menjadikan hak-hak khusus atau khas yang melekat pada mereka diabaikan, seperti hak turun-temurun, hak komunal terhadap kawasan adat, dan hak pengelolaan terhadap wilayah,” ujar Margaretha.
Ia meminta Pemerintah Provinsi Kaltim dan pemerintah kabupaten bekerja sama untuk segera melakukan percepatan pengakuan masyarakat adat. Sebab, kunci pengakuan masyarakat adat ada pada pemerintah daerah melalui peraturan daerah atau peraturan bupati setempat.
Identifikasi belum berjalan
Di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), lokasi yang bakal menjadi IKN Nusantara, belum ada masyarakat adat yang diakui pemerintah. Sebab, pemerintah daerah setempat belum melakukan identifikasi.
Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara Pitono menyatakan bahwa saat ini pihaknya sedang melakukan harmonisasi Peraturan Bupati PPU tentang identifikasi masyarakat hukum adat. Sebab, Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014, pengakuan masyarakat hukum adat harus melalui identifikasi terlebih dahulu.
”Saat ini, paraturan bupati itu masih dalam proses harmonisasi di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Kaltim. Setelahnya, ada pembahasan lanjutan dan evaluasi di biro hukum. Kami targetkan Agustus 2022 sudah ada penetapan Perbup PPU tentang identifikasi masyarakat hukum adat,” ujar Pitono.
Kondisi itu membuat penetapan hutan adat di lokasi IKN Nusantara jalan di tempat. Sebab, masyarakat adat hanya bisa memproses pengakuan hutan adat dan wilayah adatnya ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ketika statusnya sebagai masyarakat hukum adat sudah diakui.
Kepala Adat Suku Balik Kelurahan Sepaku Sibukdin (60) berharap pemerintah tak terburu-buru membangun IKN. Ia berharap pemerintah melakukan pendataan, pengakuan, dan melindungi hak masyarakat lokal terlebih dahulu. Mereka khawatir tersingkir dari tanah kelahirannya sendiri.
”Dulu, kami makan tidak perlu beli karena kami tanam padi gunung, sayur paku masih banyak di hutan, buah juga ada di hutan. Sekarang kami tak boleh membakar untuk membuka lahan. Kami tak bisa menanam. Sekarang kami beli beras,” katanya.
Hutan adat
Kepala Seksi Pembinaan Hutan Hak dan Hutan Adat Dinas Kehutanan Kaltim Rohaya Gani mengatakan, sesuai peraturan, proses pengakuan hutan adat harus didahului dengan pengakuan masyarakat adat.
Dari tiga masyarakat adat yang diakui di Kaltim, baru ada dua hutan adat yang diakui pemerintah. Pertama, hutan adat milik masyarakat adat Hemaq Beniung di Kampung Juaq Asa, Kecamatan Barong Tongkok, Kabupaten Kutai Barat, seluas 48,85 hektar.
Terbaru, Hutan Adat Mului mendapat pengakuan pada 2020. Hutan adat seluas 7.722 hektar itu terletak di Desa Swan Slotung, Kecamatan Muara Koman, Kabupaten Paser. Hutan adat ini dimiliki oleh Masyarakat Adat Mului.
”Untuk masyarakat adat Paring Sumpit di Paser, saat ini hutan adatnya masih dalam tahap verifikasi dan validasi di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” ujar Rohaya.