Bersoyong, Ritual Suku Asli IKN yang Sirna Seiring Hutan Menyempit
Menyempitnya hutan membuat bersoyong, ritual yang menyimpan pengetahuan tradisional suku Balik dan suku Paser di IKN, tak lagi dijalankan. Apakah pembangunan IKN akan membawa perubahan?

Warga suku Paser dan suku Balik meletakkan sesaji dalam ritual bersoyong di Kelurahan Sepaku, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Selasa (26/7/2022).
Empat orang duduk menghadap dua keranjang berisi sesaji. Dua dari suku Paser, dua orang dari perwakilan suku Balik. Dua suku itu dikenal sebagai suku asli yang turun-temurun mendiami lahan yang ditetapkan sebagai titik mula pembangunan Ibu Kota Negara atau IKN Nusantara di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Selasa (26/7/2022).
Mereka sedang melakukan ritual bersoyong, yakni upacara adat yang dilakukan oleh suku Balik dan suku Paser untuk bersyukur dan berdoa.
Ketua Adat Suku Balik Sibukdin (58) menuturkan, upacara hari itu merupakan kali pertama bersoyong digelar kembali setelah hampir tiga dekade tidak dilakukan oleh masyarakat adat. Ritual itu diadakan sebagai upaya dokumentasi adat dan kebudayaan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dokumentasi itu diperlukan untuk mengabadikan berbagai praktik ritual masyarakat adat di wilayah IKN.
Dalam acara itu, terdengar rapalan doa diucapkan dengan khusyuk. Seorang warga suku Balik mengenakan ikat kepala kain berwarna hitam. Ia merapalkan doa dalam bahasa Balik atau bahasa Paser.
Dalam doa itu terselip juga doa berbahasa Arab. Kedua suku asli di Sepaku itu kini bercorak Islam-Melayu. Hal itu terlihat, misalnya, dari peci hitam dengan bordir jahitan kuning sebagai penutup kepala adat mereka.
”Leluhur kami belum mengenal agama seperti sekarang. Dulu mereka Kaharingan,” ujar Sibukdin di sela-sela ritual itu di rumah panggungnya di kawasan Sepaku Lama, Selasa.
Itu adalah pertama kalinya bersoyong kembali dilakukan setelah puluhan tahun tak pernah lagi dipraktikkan di kampung tersebut, kawasan Sepaku Lama. Kegiatan itu disiapkan mendadak lantaran rumah produksi yang mengerjakan tugas dari pemerintah pusat itu mepet mengabarkan Sibukdin. Akhirnya, sejumlah sesaji yang seharusnya ada tak bisa disiapkan.
”Kalau bersoyong yang asli, ada puluhan jenis bahan dari alam dan makanan yang disiapkan sebagai ancak (sesaji). Rumah produksi akhirnya meminta kami seadanya dan menyiapkan makanan-makanan tradisional,” katanya.
Baca juga : Tanahnya Diakui Negara, Masyarakat Adatnya Tidak

Warga suku Paser dan suku Balik melakukan ritual bersoyong di Kelurahan Sepaku, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Selasa (26/7/2022). Ritual bersoyong dilakukan di banyak kegiatan, antara lain bersih desa, memulai bertani, dan memulai membuka hutan.
Bersyukur dan memohon
Bersoyong adalah ritual yang dilaksanakan suku Balik dan suku Paser dalam banyak kegiatan. Di masa silam—Sibukdin tak ingat kapan terakhir bersoyong ia ikuti—ritual itu merupakan kegiatan rutin untuk berbagai ungkapan syukur, pengobatan, masa panen, dan upacara adat sebelum masa tanam.
Sejauh ingatannya, bersoyong masih ia ikuti di akhir usia belasan. Saat bersoyong di masa panen, semua warga berkumpul di rumah kepala adat atau di lapangan. Warga membawa sejumlah hasil panen, memasak bersama, dan membawa serta semua anggota keluarga.
Sang pemimpin ritual bersoyong akan melantunkan doa dengan bahasa Balik atau bahasa Paser yang berisi ungkapan syukur kepada Sang Pencipta. Rapalan doa itu berisi ungkapan syukur karena masa panen tiba dengan kelimpahan. Dari hasil panen itu, warga bisa mengisi lumbung mereka dengan padi gunung untuk kebutuhan konsumsi setahun.
”Saat bersoyong, itu jadi ajang silaturahmi dan berbagi ilmu. Misalnya, ada yang berhasil menanam buah-buahan tertentu, nanti warga lain pasti bertanya bagaimana caranya menanam buah itu. Bisa juga berbagi informasi kalau ada yang sakit tertentu, diobati pakai tumbuhan jenis apa. Jadi, ada tukar ilmu gratis,” ujar Sibukdin.
Saparudin, Kepala Adat Paser Desa Binuang, yang turut hadir dalam ritual itu, menyebutkan, bersoyongsudah tak lagi jadi ritual tahunan sejak lebih dari 30 tahun lalu. Menurut dia, hal itu disebabkan oleh beralihnya kebiasaan masyarakat Paser dan Balik. Salah satunya adalah tradisi ladang berpindah yang sudah tak lagi dikerjakan.
Ladang berpindah adalah sistem berladang yang tak mengandalkan satu lahan saja untuk berkebun. Jika lahan saat ini sudah digunakan untuk memanen padi gunung, pada musim tanam selanjutnya mereka akan menggunakan lahan lain sambil menunggu lahan lama meremajakan diri secara alami. Peremajaan alami itu ditandai dengan tumbuhnya rumput-rumput atau tumbuhan lain.
Baca juga : Suara Lirih Masyarakat Adat di Tepian IKN

Warga suku Paser dan suku Balik membawa sesaji dalam ritual bersoyong di Kelurahan Sepaku, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Selasa (26/7/2022).
Sistem pertanian itu tak menggunakan pupuk. Padi gunung hanya mengandalkan hujan untuk irigasinya. Oleh sebab itu, padi gunung hanya panen setahun sekali. ”Kami juga membuka lahan dengan dibakar. Kami punya cara tradisional untuk menghindari kebakaran hutan. Kami tidak membuka lahan secara luas dan dikerjakan bersama,” kata Saparudin.
Untuk menghindari kebakaran lahan, warga mengumpulkan rumput dan tumbuhan lain di banyak tempat. Tumpukan itu kemudian dibakar satu per satu. Di setiap sudut sudah ada anggota keluarga yang bersiap dengan daun basah. Mereka akan memukul-mukul api dengan daun itu jika api terlihat mulai merembet.
Namun, kebiasaan itu sudah tak dijalankan lagi saat ini. Salah satu faktor utama penyebabnya adalah terbitnya izin usaha hutan tanaman industri dengan luas mencapai 190.000 hektar pada tahun 1970-an. Izin itu melingkupi hutan adat dan lahan untuk berladang yang sebelumnya dikelola masyarakat adat secara komunal dengan sistem adat.

Kabut menyelimuti salah satu hutan tanaman industri di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Minggu (12/7/2020) pagi. Wilayah itu menjadi lokasi calon ibu kota negara baru.
Seiring dengan itu, lahan-lahan yang sebelumnya menjadi tempat mereka untuk ladang berpindah juga dipatok Orde Baru untuk program transmigrasi. ”Mulai saat itu, warga ndak boleh lagi membakar lahan karena takut menimbulkan kebakaran hutan yang merembet ke hutan tanaman industri. Bahkan, ada yang ditangkap keamanan perusahaan pas ketahuan membakar. Berangsur-angsur ladang berpindah ditinggalkan.Bersoyong juga karena sudah ndak ada masa tanam di ladang berpindah,” Saparudin mengenang.
Oleh karena hutan kian menyempit, tradisi berburu, mengambil hasil hutan, dan pengetahuan mengenai tumbuhan obat dari hutan pun tak bisa diwariskan kepada generasi saat ini. Menyeduh akar kayu bajakah untuk diminum guna menjaga kebugaran, misalnya, kini sudah tak dilakukan lantaran pohon bajakah sudah sulit didapat.
”Dulu, kami pakai daun sembung untuk obat. Bisa buat batuk atau demam. Sekarang daun sembung susah dicari karena hutan jauh,” kata Rimba (61), warga keturunan suku Balik.
Konsumsi madu alami juga nyaris tak ada karena pohon lumu, tempat lebah madu bersarang, sudah tak tumbuh di sekitar kampung. Menurut Rimba, pohon lumu sudah banyak ditebang ketika hutan dijadikan ladang dan kampung-kampung baru era transmigrasi.
Kini, warga suku Balik dan suku Paser tak lagi berladang padi gunung. Untuk membuat sawah basah seperti yang dilakukan transmigran, mereka tak memiliki pengetahuan dan pengalaman itu. Alhasil, sebagian besar warga suku Balik dan suku Paser membeli beras untuk kebutuhan sehari-hari.
”Untuk beras, ya, sekarang kami beli. Untuk hidup, kami berkebun sawit dengan sisa lahan yang kami punya. Anak cucu saya juga sudah tidak tahu lagi itu cara ladang berpindah, jenis tanaman obat, sampai cara bersoyong,” kata Rimba.
Kisah-kisah dari ingatan warga itu mencerminkan, pengetahuan tradisional suku Balik dan suku Paser yang bermanfaat bagi kehidupan belum terdokumentasikan dan berhenti pewarisannya. Itu semua terjadi lantaran program pemerintah sebelumnya tak melibatkan mereka dalam menjalankan kebijakan.
Konsep IKN sebagai forest city dan green city diharapkan memantik hidupnya lagi warisan pengetahuan dan kearifan lokal warga sehingga warga kembali dapat berucap syukur melalui bersoyong.