Mitigasi krisis iklim harus ditingkatkan. Pendekatan berbasis masyarakat dengan pemilihan isu dan metode yang sesuai dengan kebutuhan lapangan menjadi kuncinya.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
Β·4 menit baca
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR
Gillian Caldwell, Kepala Bidang Iklim USAID, lembaga pendanaan global dari Pemerintah Amerika Serikat ketika diwawancara di Jakarta, Sabtu (28/1/2023).
Indonesia menargetkan menurunkan emisi hingga 31 persen pada tahun 2030 dengan bantuan dari luar negeri. Ini adalah salah satu cara untuk mengendalikan perubahan iklim, mengingat apabila suhu Bumi bertambah 1,5 derajat celcius akan terjadi bencana alam yang parah.
USAID, lembaga bantuan pendanaan dari Amerika Serikat menjadi salah satu mitra Indonesia dalam membiayai berbagai program penanganan perubahan iklim. Kompas mewawancarai Kepala Bidang Iklim USAID Gillian Caldwell di Jakarta, Sabtu (28/1/2023).
Caldwell berada di Indonesia selama satu pekan untuk meninjau pelaksanaan program yang didanai dan didukung oleh USAID. Sehari sebelum bertemu Kompas, ia baru tiba dari Kalimantan Barat, tempat ia mengunjungi kota Pontianak dan Ketapang. Selain Indonesia, USAID memiliki program di 79 negara lain. Caldwell juga baru-baru ini memantau pelaksanaan program di Peru dan Kenya.
Ia menjelaskan, pendekatan penanganan perubahan iklim berubah strateginya dengan tidak sekadar membenahi setelah bencana terjadi. "Strategi global ialah mitigasi krisis iklim yang fokus kepada kebutuhan setiap negara atau wilayah dalam membangun sistem ketahanan, adaptasi, dan pencegahan terjadinya dampak perubahan iklim," tuturnya.
Di dalam pendekatan baru ini menggunakan keadilan iklim dan pendanaan iklim. Semuanya diutamakan memakai solusi yang berlandaskan kepada alam dan disesuaikan dengan karakteristik tiap-tiap wilayah. Menurut Caldwell, USAID tidak menentukan jenis program yang mereka danai. Pemerintah pusat dan daerah suatu negara yang menyusun program berkelanjutan sesuai dengan persoalan khas masing-masing.
"Selain pelestarian alam juga harus mencakup keberlanjutan peningkatan ketahanan dan kapasitas penduduk setempat untuk memitigasi risiko dampak perubahan iklim," ujar Caldwell.
Dari 80 negara mitra USAID, sebanyak 40 negara menekankan kerja sama dengan masyarakat adat maupun kelompok marjinal. Ini termasuk Indonesia yang masyarakat adatnya berhubungan langsung dengan alam dan menjadi kelompok pertama yang terimbas dampak perubahan iklim.
Target dari USAID ialah menirunkan emisi karbon sebanyak 6 miliar meter kubik per tahun 2030. Adapun target dana yang dikucurkan secara global untuk tujuh tahun mendatang ini adalah 150 miliar dollar AS yang berasal dari berbagai sumber, antara lain USAID, pemerintah setiap negara, dan sektor swasta.
Khusus di Indonesia, program yang dikejar ialah pertanian serta perhutanan yang berkelanjutan. Di dalamnya ada mengenai produksi sawit secara ramah lingkungan dan melestarikan keanekaragaman hayati.
ANTARA/IRSAN MULYADI
Petugas Yayasan Orangutan Sumatera Lestari - Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) dan BBKSDA Sumut, melakukan evakuasi penyelamatan orangutan sumatra (Pongo abelii) di Kecamatan Batangserangan, Langkat, Sumatera Utara, Rabu (2/9/2015). YOSL-OIC dan BBKSDA Sumut kembali menyelamatkan orangutan betina berumur 25 tahun dan anaknya yang terisolir di kawasan penanaman ulang perkebunan sawit.
"Indonesia termasuk negara berkembang yang cukup berambisi menurunkan emisi. Dari sisi kebijakan, pemerintah tidak mengeluarkan lahan pembukaan perkebunan sawit baru sejak tahun 2013," kata Caldwell.
Pertanian dan perhutanan berkelanjutan ini menyasar perusahaan-perusahaan besar maupun petani individual agar menggunakan metode ramah lingkungan untuk menjaga maupun meningkatkan produktivitas tanaman mereka. Program ini dilaksanakan di 7 juta hektar lahan, termasuk gambut, dengan ambisi mengurangi 55 juta meter kubik emisi.
"Tantangannya ialah mencari rumus yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan ekonomi bangsa Indonesia tanpa mengorbankan keberlangsungan alam," tutur Caldwell.
Rumus itu harus dicari bersama-sama oleh pemerintah pusat dan daerah, pengusaha besar, petani kecil, masyarakat adat, dan para pakar.
Air
Program lain yang ditinjau Caldwell adalah pengadaan air bersih dan pembangunan sistem sanitasi. Pelestarian sumber air dan pengelolaan air bersih maupun air limbah sangat penting.
KOMPAS/ADI SUCIPTO K
Warga Deliksumber, Kecamatan Benjeng, Kabupaten Gresik, Jawa Timur Kamis (14/9) mendapatkan pasokan air bersih dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah setempat.
Sebanyak 90 persen bencana iklim dunia akibat dari ketiadaan pengelolaan air, wujudnya antara lain adalah banjir dan kekeringan. Bahkan, Caldwell mengalami sendiri banjir ketika berada di Kalbar.
"Selain isu teknis, aspek penting lain dari mitigasi krisis iklim adalah perubahan perilaku," ujarnya.
Ia mengambil contoh program pengadaan air bersih di Kalbar. Tujuan program ialah mengambil air dari sungai, menyaring dan mengolahnya agar bersih serta aman dikonsumsi, baru disalurkan ke rumah-rumah warga.
Ia menemukan pemeliharaan kebersihan sungai masih menjadi kendala. Selain itu, masih ada warga yang belum bisa menghubungkan bahwa berbagai penyakit yang terjadi di antara mereka, antara lain kudis dan diare, merupakan akibat dari pengelolaan air yang tidak baik.
USAID mendukung program pelestarian air tanah di 14 wilayah Indonesia. Sebanyak 60 juta dollar AS yang telah dikucurkan untuk sektor air dan sanitasi di Indonesia untuk lima tahun ke depan.
"Berbagai masalah ini saling terkait. Pelestarian alam penting untuk memastikan sumber daya alam, air bersih, dan udara bersih selalu tersedia. Setelah itu, harus ada tata kelola yang transparan dan berkesinambungan yang diiringi dengan perilaku masyarakat global untuk memastikan lingkaran ini tidak terputus," ujarnya.
Pengadaan air bersih ini, tekan Caldwell, bukan penjualan ataupun penyebaran air melalui mobil tangki karena ini bukan sistem berkelanjutan. Hak air warga dipenuhi melalui pembuatan pipa dari sumber-sumber air dengan pemastian pelestarian sumber tersebut.
NB:
terdapat koreksi pada kalimat: Selama 2021-2022 ada 60 juta dollar AS yang telah digunakan untuk membuat berbagai kolam serapan dan sistem penyaringan air agar aman dikonsumsi.
menjadi: Sebanyak 60 juta dollar AS yang telah dikucurkan untuk sektor air dan sanitasi di Indonesia untuk lima tahun ke depan.