Korupsi Memicu Tingginya Emisi Karbon Dioksida di Asia
Kawasan Asia telah meyumbang lebih dari 50 persen emisi karbon dioksida global. Namun, korupsi yang meluas menghalangi negara-negara Asia untuk secara efektif mengurangi emisi karbon dioksidanya.

JAKARTA, KOMPAS - Korupsi yang meluas menghalangi negara-negara Asia untuk secara efektif mengurangi emisi karbon dioksida yang diketahui berkontribusi terhadap pemanasan global. Temuan terbaru dilakukan dengan menganalisis situasi di negara-negara di Asia termasuk Indonesia dan Malaysia.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Utilities Policy ini menganalisis data dari 47 negara di Asia pada 1960-2020. Selain Indonesia dan Malaysia, negara yang dianalisis termasuk Filipina, Thailand, Singapura, Bangladesh, Kamboja, India, Maladewa, Myanmar, Nepal, dan sejumlah negara lain.
Kajian ditulis Mohammad Mafizur Rahman dari School of Business University of Southern Queensland, Australia dan Khosrul Alam dari Department of Economics Bangabandhu Sheikh Mujibur Rahman Science and Technology University, Bangladesh.
Inovasi teknologi juga memperparah emisi karbon dioksida, jika tidak mengadopsi metode hijau.
Menurut Center for Global Development, sebuah lembaga pemikir atau think tank yang berbasis di London dan Washington, negara-negara berkembang kini bertanggung jawab atas 63 persen emisi karbon tahunan. Industri sumber emisi yang sebelumnya terutama berasal dari negara maju kini berkembang pesat di negara-negara berkembang.

Ilustrasi pemanfaatan sumber energi kotor batubara. Alat berat memindahkan batubara yang didatangkan dari Kalimantan dari dalam tongkang ke atas truk di Pelabuhan KCN Marunda, Jakarta Utara, awal Januari 2022.
Peningkatan emisi karbon merupakan konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang di Asia. Di sisi lain, kawasan Asia juga memiliki risiko lebih besar dibandingkan wilayah lain dari dampak perubahan iklim karena alasan sosial, geografis, dan ekonomi.
Dalam studi terbaru ini, para peneliti menunjukkan bahwa sehubungan dengan pengurangan emisi karbon dioksida (CO2), kondisi korupsi di Asia juga menjadi faktor yang memprihatinkan. Jika korupsi meningkat 1 persen, emisi karbon juga akan meningkat 0,19 persen.
Kontribusi Asia
Karbon dioksida merupakan perangkap panas utama, gas rumah kaca yang menghangatkan Bumi, yang menyebabkan perubahan iklim. Emisi CO2 terjadi terutama karena penggunaan bahan bakar fosil untuk pemanasan, produksi listrik, dan transportasi. Diperkirakan 1,5 miliar ton CO2 juga dilepaskan oleh deforestasi setiap tahun. Sementara pembukaan lahan terkait pertanian dan degradasi tanah juga menjadi kontributor.
Pada 2021, kawasan Asia-Pasifik bertanggung jawab atas hampir 17,8 miliar ton emisi CO2 atau 50,7 persen total emisi dunia. Selain itu, tingkat korupsi rata-rata lebih tinggi daripada daerah lain. Menurut para peneliti, korupsi menghambat pelaksanaan langkah-langkah untuk mengatasi emisi CO2.
Selain tingginya emisi, rata-rata tingkat korupsi di kawasan Asia juga lebih tinggi dibandingkan kawasan lain (Transparansi Internasional, 2022). ”Emisi CO2 oleh negara-negara Asia harus segera ditangani dengan mengurangi korupsi bersama dengan faktor penting lainnya, seperti inovasi teknologi, globalisasi, energi terbarukan, dan pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk melayani tujuan tersebut,” tulis Mohammad Mafizur Rahman, dalam makalahnya.
Baca juga: Ketergantungan pada Energi Fosil Tinggi, Transisi Energi Tetap Harus Dilanjutkan
Khosrul Alam, penulis studi ini dalam siaran pers, Jumat (25/11), mengatakan, ”Korupsi mendorong salah urus proses pembangunan secara keseluruhan tanpa menangani masalah lingkungan dengan benar. Orang-orang dan badan-badan yang rusak melakukan aktivitas mereka dengan cara putus asa dan tidak diatur untuk keuntungan mereka sendiri dan kurang menekankan pada lingkungan yang meningkatkan emisi karbon dioksida.”

Lanskap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, Merak, Banten. PLTU berkapasitas lebih dari 4.000 megawatt.
Alam mengatakan, globalisasi telah menyebabkan berbagai kegiatan pembangunan yang meningkatkan emisi CO2. ”Inovasi teknologi juga memperparah emisi karbon dioksida, jika tidak mengadopsi metode hijau,” kata Alam.
Dia menambahkan, kebijakan pengendalian korupsi yang efektif dan komprehensif diperlukan bersamaan dengan inovasi teknologi ramah lingkungan untuk mengatasi emisi karbon dioksida.
Chiranjib Chakraborty, profesor di School of Life Science and Biotechnology di Universitas Adamas, Kolkata, yang tidak terlibat kajian ini, mengatakan, emisi CO2 dan masalah lingkungan terkait dapat ditangani dengan mengadopsi resolusi yang dibuat pada KTT iklim COP26 2021 di Glasgow, Skotlandia.
Baca juga: Tak Ada Lagi Ruang Berinvestasi Energi Kotor
Ilmuwan dan pembuat kebijakan sepakat di COP26 untuk menegaskan kembali target Perjanjian Paris untuk membatasi suhu rata-rata global hingga 1,5 derajat celsius dan berupaya mengatur dana untuk pemulihan polusi yang akan diberikan oleh negara kaya kepada negara miskin dan mendorong penggunaan energi terbarukan sambil memotong fosil energi berbasis bahan bakar.

Aktivis membawa spanduk bertanda 1,5 derajat celsius untuk perdamaian dalam kegiatan Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP27) di Sharm El-Sheikh, Mesir, Kamis (17/11/2022).
Namun, para pihak yang berkumpul untuk COP27 di Sharm El-Sheikh Mesir bulan ini gagal mencapai kesepakatan untuk memperkuat target tersebut. ”Para peneliti harus memprioritaskan solusi untuk emisi karbon dioksida yang mempertimbangkan pengentasan kemiskinan dan peningkatan pendapatan di negara-negara berkembang,” kata Chakraborty.
Transisi energi di Indonesia
Temuan ini menguatkan laporan kajian sebelumnya mengenai hambatan transisi energi bersih di Indonesia. Secara teknis transisi ke energi bersih dinilai bisa dilakukan oleh Indonesia karena sumber energi baru dan terbarukan yang melimpah, tetapi ada beberapa pengoperasian sistem ketenagalistrikan saat ini di bawah PT PLN yang didominasi batubara yang dinilai menghambat transisi energi bersih tersebut.
Achmed Shahram Edianto, Asia Electricity Analyst EMBER, dalam keterangan tertulis, Senin (19/9/2022), menyebutkan, Indonesia seharusnya mampu mewujudkan dekarbonisasi pada 2040 dan menyediakan pasokan energi yang berkelanjutan, terjangkau, dan tetap menjamin ketahanan energi nasional. Namun, untuk mencapai hal ini diperlukan integrasi antara visi pemerintah, komitmen politik, dan strategi implementasinya.
Edianto mengatakan, Indonesia memiliki potensi teknis yang tinggi untuk mengembangkan tenaga surya dan bayu berskala besar masing-masing sekitar 1.462 GW dan 500 GW. Meski demikian, ada beberapa tantangan, termasuk pengoperasian sistem ketenagalistrikan saat ini, di bawah PT PLN, yang menghambat kemampuan sistem tersebut untuk beradaptasi dengan penetrasi tinggi energi terbarukan variabel, seperti tenaga surya dan bayu. Tantangan lainnya adalah ketidaksesuaian antara sumber EBT dan pusat permintaan (demand centers).
Sebagaimana dilaporkan Kompas.id (2/6/2022), pembangkit-pembangkit listrik PT PLN masih dominan menggunakan bahan bakar batubara dan bahan bakar fosil lain. PLN baru akan beralih meninggalkan energi fosil secara bertahap hingga emisi dapat ditekan menjadi nol, sesuai target emisi nol yang ditetapkan pemerintah pada 2060.