Hepatitis Akut dan Perilaku Hidup Bersih Sehat
Hidup bersih dan sehat diyakini menjadi kunci pencegahan hepatitis akut. Masalahnya, fasilitas infrastruktur dan edukasi perilaku hidup bersih dan sehat masih menjadi pekerjaan rumah. Bagaimana solusinya?
Hepatitis akut yang belum diketahui etiologinya alias masih misterius ini kian menjadi sorotan dengan kasusnya yang makin meluas. Sementara, penyebab dan mekanisme penularannya belum bisa disimpulkan.
Sejumlah hipotesis pun masih diselidiki. Meskipun demikian, upaya pencegahan dan antisipasi harus terus dilakukan, di antaranya dengan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
Sejak ditemukan pertama di Inggris hingga meluas ke sejumlah negara dan ditetapkan menjadi kejadian luar biasa (KLB), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, pada medio Mei 2022 sebanyak 348 kasus telah berkembang di 21 negara, bahkan 26 orang anak membutuhkan transplantasi hati.
Sementara di Indonesia, merujuk data yang diperbarui Kemenkes pada Jumat (13/5/2022) ditemukan 18 kasus terduga hepatitis akut pada anak. Dengan rincian sebanyak 9 kasus di antaranya berstatus ditangguhkan klasifikasinya, 7 discarded, 1 dalam verifikasi, dan 1 terduga. Dari hasil investigasi kontak, tak ditemukan penularan antarmanusia.
Terlepas dari sejumlah hipotesis yang berkembang terkait penyebabnya seperti infeksi Adenovirus hingga kaitan dengan infeksi SARS-CoV-2 atau infeksi lain pemicu reaksi imun, beberapa gejala yang muncul, seperti mual, muntah, dan diare, bisa menjadi indikasi adanya kaitan antara gejala yang timbul tersebut dengan masalah kebersihan.
Apabila dilihat dari lima jenis virus hepatitis yang telah teridentifikasi sebelumnya, yaitu Hepatitis A, B, C, D, dan E, cara penularannya antara lain melalui mulut karena makanan, minuman, dan benda yang telah terkontaminasi, kemudian sanitasi rumah buruk dan kotor serta kebersihan individu yang sangat rendah.
Oleh karena itu, faktor kebersihan individu dan lingkungan sangat penting untuk mencegah penyakit peradangan pada hati yang mengancam anak-anak tersebut.
Baca juga: Kemungkinan Hepatitis Akut Mewabah Dinilai Kecil
Air dan sanitasi layak
Kemudahan akses terhadap air dan sanitasi yang layak bisa memberi gambaran bagaimana masyarakat bisa menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat. Air bersih merupakan kebutuhan dasar untuk menjalani hidup sehat dan merupakan syarat dasar pemenuhan kesehatan anak. Oleh karena itu, sangat penting untuk menyediakan akses air yang layak bagi anak-anak, begitu pula dengan fasilitas sanitasi.
Terkait kondisi akses anak terhadap air yang layak atau air yang berkualitas, secara nasional anak umur 0-17 tahun yang tinggal dalam rumah tangga yang memiliki akses terhadap air layak sudah melebihi 80 persen. Artinya, sudah semakin baik anak bisa mengakses air yang berkualitas secara berkelanjutan.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020, Provinsi DKI Jakarta, Bali, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta mencatatkan persentase anak yang memiliki akses air layak sudah mencapai lebih dari 95 persen, sudah mendekati target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), yaitu 100 persen di tahun 2030.
Dua provinsi dengan persentase terendah adalah Bengkulu dan Papua, di mana masih ada empat dari 10 anak yang belum memiliki akses terhadap air yang layak. Hal yang perlu menjadi catatan bagi pemerintah adalah masih ada 20 provinsi (58,8 persen) yang persentase anak-anak memiliki akses air layak di bawah rata-rata nasional.
Sementara itu, potret anak-anak yang memiliki akses terhadap sanitasi layak dari hasil Susenas tersebut menunjukkan, tujuh dari 10 anak sudah terpenuhi kebutuhannya akan sanitasi layak meski masih tergolong rendah.
Namun, selain lebih separuh dari 34 provinsi juga masih di bawah rata-rata persentase nasional (78,53 persen), yang perlu mendapat sorotan adalah potret sanitasi layak di Provinsi Jawa Barat.
Selain Papua yang sangat signifikan perbedaannya dengan daerah lain, yaitu hanya 39,02 persen anak Papua yang memiliki akses sanitasi layak, Jawa Barat yang notabene dekat dengan Ibu Kota tercatat masuk empat besar di urutan terbawah bersama dengan Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Hal ini menggambarkan, meski berdekatan dengan Ibu Kota masih banyak anak umur 0-17 tahun yang belum mendapat akses fasilitas sanitasi yang memenuhi syarat kesehatan.
Tanpa air, sanitasi, dan kebersihan yang layak, anak-anak menghadapi peningkatan risiko penyakit seperti hepatitis.
Demikian pula kondisi ketersediaan dan keterjangkauan akses anak terhadap air dan sanitasi layak di perdesaan yang menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan dengan anak di daerah perkotaan. Di Papua, misalnya, hanya 25 persen anak di perdesaan yang memiliki akses sanitasi layak.
Hal ini tentunya menjadi catatan bagi pemerintah dalam menentukan arah kebijakan pemenuhan hak anak dalam mendapatkan air dan sanitasi layak. Mengingat tanpa air, sanitasi dan kebersihan yang layak, anak-anak menghadapi peningkatan risiko penyakit seperti hepatitis.
Baca juga: Bersiap Hadapi Hepatitis Akut
Perilaku hidup bersih dan sehat
Salah satu perilaku masyarakat dampak dari kurangnya fasilitas sanitasi yang layak adalah kebiasaan buang air besar sembarangan (BABS), yaitu seluruh bentuk kegiatan buang air besar yang tidak dilakukan di tangki septik atau tidak menggunakan jamban yang memenuhi standar kesehatan.
Perilaku ini secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan sumber air minum terkontaminasi serta pencemaran yang terjadi berulang kali bahkan makanan yang disantap di rumah warga.
Hasil penelitian menunjukkan, Hepatitis A dan E yang muncul di masyarakat sebagai Kejadian Luar Biasa ditularkan secara fecal oral dimana virus masuk ke tubuh melalui makanan atau minuman terkontaminasi tinja dan biasanya berhubungan dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat.
Pada akhirnya air dan sanitasi yang buruk meningkatkan risiko infeksi dan berdampak pada gangguan pertumbuhan anak. Air yang terkontaminasi dan sanitasi yang buruk adalah salah satu penyebab utama kematian anak balita.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan, penderita hepatitis di kelompok bayi berusia kurang dari 1 tahun, dengan angka prevalensi 0,45 persen dan 0,36 persen untuk kelompok anak 1 sampai 4 tahun. Angka tersebut tergolong tinggi.
Terkait perilaku BABS, menurut data Susenas BPS tahun 2015-2020, terlihat tren yang semakin membaik, dengan semakin kecil persentase warga yang melakukan kebiasaan buang air besar sembarangan. Jika di tahun 2015 tercatat 12,8 persen, pada tahun 2020 turun menjadi 6,19 persen. Terjadi penurunan dalam lima tahun sebesar 6,61 persen.
Salah satu indikator perilaku hidup bersih dan sehat telah dijalankan. Apalagi target RPJMN di tahun 2024, perilaku BABS harus mencapai 0 persen, yang berarti tidak ada lagi masyarakat yang melakukan praktik buang air besar di sembarang tempat.
Meskipun demikian, pembangunan infrastruktur dan edukasi PHBS masih perlu diperkuat. Mengingat akses terhadap air dan sarana sanitasi layak berkaitan erat dengan isu pembangunan lainnya, seperti kesehatan, kemiskinan, dan pembangunan manusia. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Hidup Bersih dan Sehat Cegah Penularan Hepatitis