Puluhan Triliun Rupiah dari Beras dan Kopi Berpotensi Hilang
Hasil penelitian skala nasional terbaru menunjukkan, perubahan iklim membuat lahan pertanian tidak dapat ditanami kopi dan padi. Nilai ekonomi komoditas ini juga akan hilang hingga mencapai lebih dari Rp 42 triliun.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Sejumlah buruh memanen padi di sawah yang tergenang di Desa Widorokandang, Kecamatan Pati, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Selasa (14/2/2017). Meskipun memasuki musim panen, banjir membuat proses panen lebih lambat. Kurangnya cahaya matahari juga membuat kualitas gabah menurun.
JAKARTA, KOMPAS — Dampak perubahan iklim membuat lahan pertanian tidak dapat ditanami kopi dan padi sehingga akan mengganggu kebutuhan masyarakat Indonesia. Perubahan iklim juga berpotensi menghilangkan nilai ekonomi dari komoditas beras dan kopi hingga mencapai lebih dari Rp 42 triliun per tahun.
Hal tersebut terangkum dalam hasil penelitian skala nasional terbaru bertajuk ”Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor Pertanian Indonesia: Fokus Komoditas Padi dan Kopi”. Penelitian ini dilakukan oleh Edvin Aldrian dan Elza Surmaini yang merupakan tim pakar iklim dan meteorologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta beberapa tim lain.
Penelitian tersebut mengungkap bahwa perubahan iklim akan mengurangi produktivitas komoditas kopi dan beras. Hasil penelitian juga menemukan bahwa Indonesia dapat kehilangan nilai ekonomi produksi padi rata-rata Rp 42,4 triliun per tahun pada 2051-2080. Kehilangan ini bahkan akan meningkat menjadi Rp 56,45 triliun per tahun pada 2081-2100.
Kerugian serupa juga ditemukan akibat kehilangan nilai ekonomi produksi kopi arabika rata-rata Rp 3,9 triliun per tahun pada 2051-2080. Kemudian kehilangan diproyeksikan akan kembali meningkat sebesar Rp 6,8 triliun per tahun pada 2081-2100.
Laporan tersebut juga menunjukkan, 63-100 persen lahan yang saat ini dapat ditanami kopi arabika tidak akan lagi sesuai untuk budidaya. Sementara produktivitas padi nasional turun hingga 8 juta ton pada 2100 atau setara kebutuhan beras untuk 42 juta jiwa.
ANTARA/RAHMAD
Petani memanen padi yang terendam banjir di area persawahan Cubrek, Syantalira Aron, Aceh Utara, Aceh, Sabtu (2/11/2017). Ratusan hektar tanaman padi yang memasuki masa panen akhir tahun 2017 itu terpaksa dipanen lebih cepat untuk menyelamatkan padi yang terancam busuk akibat terendam banjir.
Gangguan lahan untuk menanam kopi arabika terjadi akibat dampak perubahan iklim pada panjang bulan kering yang penting dalam proses pembentukan bunga. Sementara dampak perubahan iklim terhadap lahan persawahan terjadi karena meningkatnya kadar garam atau salinitas akibat kenaikan muka air laut yang sudah dipastikan menurunkan produksi beras.
Kajian ini menggunakan dua skenario kenaikan muka air laut (sea level rise/SLR) untuk menghitung dampaknya terhadap produktivitas beras di Indonesia. Hasil skenario menunjukkan, berkurangnya lahan sawah akan menurunkan produksi beras sebesar 3,5 juta ton tahun 2100 atau setara pemenuhan konsumsi beras 17,7 juta orang.
Produktivitas kopi Indonesia juga diperkirakan konsisten turun sekitar 10 persen pada periode El Nino dan hingga 80 persen pada periode La Nina. Kenaikan harga kopi untuk varietas arabika dan robusta diperkirakan akan tetap terjadi, sekitar 32 persen pada 2050, meski dunia berhasil mempertahankan kondisi iklim saat ini.
Selain itu, pemodelan juga menunjukkan bahwa perubahan iklim mengakibatkan sejumlah daerah di Indonesia akan menjadi tidak cocok untuk budidaya kopi arabika. Daerah itu di antaranya Jambi, Bulukumba, Karangasem, Purbalingga, Tegal, Nganjuk, dan Wonosobo.
Segera diatasi
Edvin Aldrian mengemukakan,sektor pertanian saat ini masih diandalkan sebagai salah satu penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, gangguan akibat perubahan iklim ini akan memicu penurunan produktivitas dan terganggunya lahan pertanian.
”Ini merupakan masalah serius yang harus diatasi sesegera mungkin sebelum dampaknya memunculkan efek domino yang lebih buruk di masa depan,” ujar Edvin yang juga Wakil Ketua Kelompok Kerja I Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) dalam siaran pers, Rabu (23/11/2022).
Dampak perubahan iklim terhadap lahan persawahan terjadi karena meningkatnya kadar garam atau salinitas akibat kenaikan muka air laut yang sudah dipastikan menurunkan produksi beras.
Menurut Edvin, salah satu tujuan kajian ini adalah menyajikan perubahan nilai ekonomi di bawah skenario aksi mitigasi atau tanpa mitigasi perubahan iklim. Hasil kajian telah jelas menunjukkan bahwa kehilangan nilai ekonomi dari kedua komoditas ini akan mempertaruhkan masa depan jutaan masyarakat Indonesia.
Ia pun menegaskan pentingnya melakukan berbagai upaya mengatasi perubahan iklim, khususnya di sektor transisi energi. Tanpa upaya mitigasi yang nyata untuk beralih dari bahan bakar fosil, kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim akan menjadi ancaman serius bagi kinerja ekonomi Indonesia.
Kepala Kampanye Iklim Greenpeace Indonesia Tata Mustasya sebelumnya juga menyebut pentingnya upaya transisi energi untuk mengatasi krisis iklim. Hal ini juga sudah ditekankan dalam hasil pertemuan negara-negara G20 di Bali pekan lalu.
Transisi energi harus bebas dari berbagai hal yang justru akan memperlambat upaya ini, seperti penambahan bahan campuran (co-firing) dan teknologi batubara bersih (clean coal technology). Di sisi lain, proses dan mekanisme peralihan ini harus melibatkan partisipasi publik, memegang prinsip demokrasi, serta berkeadilan.