Misi Ganda Diplomasi Jokowi ke China
Kunjungan Presiden Joko Widodo ke China membawa misi penguatan hubungan bilateral kedua negara, serta bagian diplomasi bebas aktif demi kesuksesan KTT G20.
BEIJING, KOMPAS — Bendera Merah Putih berkibar berdampingan dengan bendera China di sejumlah sudut Lapangan Tiananmen, Beijing, China, Senin (25/7/2022). Di tengah pemberlakuan protokol pencegahan Covid-19 yang sangat ketat di negara itu, Presiden Joko Widodo tiba dalam kunjungan kepala negara yang jarang terjadi di China sejak pandemi Covid-19.
China menjadi perhentian pertama dalam tur lawatan Presiden Jokowi ke Asia Timur, 25-29 Juli ini. Ia dijadwalkan mengadakan pertemuan dengan Presiden Xi Jinping dan Perdana Menteri Li Keqiang, Selasa ini. Dari China, Presiden Jokowi akan melanjutkan perjalanan ke Jepang dan Korea Selatan untuk bertemu dengan Perdana Menteri Fumio Kishida di Tokyo, Rabu (27/7), dan Presiden Yoon Suk Yeol di Seoul, Kamis (28/7).
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin mengatakan, Presiden Jokowi adalah kepala negara asing pertama yang mengunjungi China setelah Olimpiade Musim Dingin Beijing pada Februari 2022. Hal ini, menurut Wang, mencerminkan pentingnya hubungan bilateral China-Indonesia.
Baca Juga: Presiden Jokowi Awali Lawatan Asia Timur ke China
Presiden Jokowi akan bertemu dengan Presiden Xi Jinping dan PM Li Keqiang untuk bertukar pandangan tentang hubungan bilateral dan isu-isu utama di kawasan regional dan internasional. China dan Indonesia, kata Wang, adalah negara berkembang utama dan perwakilan negara berkembang dengan kepentingan bersama dan ruang kerja sama yang luas.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengungkapkan, kunjungan Presiden Jokowi ke China untuk memperkuat hubungan kerja sama ekonomi, khususnya bidang perdagangan dan investasi. Presiden juga akan membahas sejumlah isu penting di kawasan dan internasional, termasuk Konferensi Tingkat Tinggi G20.
Sebagai ekonomi terbesar di kawasan Asia Tenggara, kata Retno, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk terus berkontribusi dalam upaya menjadikan kawasan Asia Tenggara dan Indo Pasifik damai, stabil, dan makmur. ”Di tengah dunia yang dipenuhi rivalitas tidak sehat dan nilai multilateralisme yang meluntur, Indonesia justru akan lebih giat menjalin kerja sama dan menebarkan spirit solidaritas dan perdamaian,” kata Retno.
Kehadiran Xi di G20
Lawatan ke China terjadi kurang dari sebulan setelah Presiden Jokowi berkunjung ke Ukraina dan Rusia. Bagi Indonesia dan China, lawatan itu memberi makna yang sama pentingnya. Bagi Indonesia, selain mengokohkan hubungan bilateral, lawatan Presiden juga merupakan bagian diplomasinya guna memastikan kesuksesan KTT G20, November nanti.
Baca Juga: Presiden Jokowi Memulai Kunjungan ke Tiga Negara di Kawasan Asia Timur
Veronika Saraswati, peneliti pada Centre for Strategic and International Studies (CSIS), menyebut Presiden Jokowi diyakini bakal menyampaikan undangan langsung kepada Xi untuk hadir dalam KTT G20 di Bali. Undangan serupa juga disampaikan Presiden Jokowi kepada Presiden Rusia Vladimir Putin serta Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dalam kunjungan ke negara masing-masing.
”Kehadiran Xi sangat dinanti dan bakal memberi bobot penting bagi kesuksesan pertemuan (KTT G20),” ujar Veronika.
Kunjungan Jokowi juga dinilai merupakan kesempatan emas untuk menunjukkan kompetensi kepemimpinan dunia. Indonesia tahun ini memegang giliran menjadi ketua G20 dan pada 2023 menjadi ketua ASEAN. Semua itu harus dimantapkan dengan pembuktian bahwa Indonesia memang mumpuni menjadi kekuatan di kawasan ataupun secara global.
”Kunjungan ke China ini penting dari konteks ASEAN (Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara) dan G20,” kata Kepala Departemen Hubungan Internasional Universitas Binus Rangga Aditya Elias.
Baca Juga: ”Mengendarai” Multilateralisme ASEAN
Ia menjelaskan, Indonesia sebagai kekuatan negara berpenduduk dan berperekonomian terbesar di Asia Tenggara merupakan mitra yang sangat penting bagi China. Segala kerja sama China yang berlangsung di negara-negara anggota ASEAN erat berpautan dengan kedekatan mereka dengan Indonesia. Oleh sebab itu, penting menjaga hubungan ekonomi agar tetap stabil dan terbuka.
China menawarkan penguatan kerja sama Selatan-Selatan. Duta Besar China untuk Indonesia Lu Kang mengatakan bahwa kerja sama dengan China berbeda dengan Barat ataupun G7. Tidak ada persyaratan apa pun jika bekerja sama dengan China yang membuat sistem ini inklusif serta bisa diakses semua pihak. Tujuan utamanya adalah kesejahteraan bersama.
Baca Juga: China: Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan Sesuai Hukum Internasional
Rangga menerangkan, dari segi nonpertahanan dan keamanan, China memang mitra strategis. Indonesia sebagai negara berkekuatan menengah memiliki kelebihan bisa mendekati China ataupun Barat tanpa mengorbankan politik bebas aktifnya. Akan tetapi, untuk isu demokrasi, keamanan, dan energi, Indonesia memilih bekerja sama dengan negara-negara Barat.
”Pola politik luar negeri sekarang tidak lagi berbasis dua kutub. Ada ruang untuk negara-negara yang memilih tidak berpihak yang akan sangat bermanfaat jika bisa dipakai secara tepat,” ujarnya.
Kepemimpinan Indonesia
Dari konteks G20, sebagai ketua tahun ini, Indonesia berkewajiban memastikan koordinasi dengan semua 19 negara berperokonomian terbesar dunia dan Uni Eropa ini lancar. Saat ini, G20 mengalami guncangan alibat konflik antara Rusia dan Ukraina. Menurut Rangga, Indonesia telah menunjukkan sikap profesional sebagai ketua serta keteladanan politik bebas aktif.
Indonesia tegas tidak mengucilkan Rusia dari berbagai kegiatan G20, termasuk konferensi tingkat tinggi bulan November nanti, walaupun negara-negara Barat meminta sebaliknya. Presiden Jokowi adalah satu-satunya kepala negara yang mengunjungi Ukraina dan Rusia. Ini adalah simbol penting dari politik bebas aktif yang mendorong terciptanya perdamaian global.
Baca Juga: Saatnya Menjahit Semangat Kerja Sama
”Setelah mendatangi Ukraina dan Rusia, tentu wajar jika Indonesia mendekati China mengingat hubungan Rusia-China sangat akrab. Segala kesempatan mempercepat dan memperkuat terjadinya dialog damai harus diambil oleh Indonesia,” tutur Rangga.
Indonesia menampakkan sikap kepemimpinan yang tidak memaksa, tetapi membuka ruang dialog sebesar-besarnya. Hal ini bisa menaikkan reputasi Indonesia sebagai negara yang mau mengupayakan mediasi bagi konflik global, terlepas jarak lokasi konflik yang jauh.
”Semestinya, kelebihan-kelebihan ini diikuti dengan agenda politik luar negeri Indonesia yang jelas dan terkoordinasi perwujudannya untuk semua kementerian/lembaga. Kelemahan Indonesia adalah belum bisa mengembangkan agenda kerja jangka panjang yang konkret mulai dari landasan filsafat hingga penerapannya,” papar Rangga.
Baca Juga: Konfrontasi Masih Dominan, KTT G20 Bisa Sulit Capai Konsensus
Dari sisi China, menerima kedatangan Presiden Jokowi juga penting untuk menunjukkan komitmen Beijing terhadap G20. Xi tidak pernah meninggalkan China sejak 18 Januari 2020, sebelum pandemi Covid-19, saat ia berkunjung ke Myanmar. Lima hari kemudian, Wuhan harus ditutup total (lockdown) karena ada virus misterius yang saat itu menyebabkan penyakit yang kemudian diberi nama Covid-19.
”Saya pikir, Xi akan mau datang ke KTT G20 setelah mengamankan masa jabatan ketiganya dan dalam posisi politik yang kuat,” kata Bonnie Glaser, Direktur Program Asia di German Marshall Fund, AS.
Akibat pandemi Covid-19, jumlah kegiatan diplomatik China secara fisik atau pertemuan secara langsung berkurang. Xi selama pandemi berpartisipasi dalam pertemuan-pertemuan internasional hanya melalui video.
Dekan Sekolah Studi Internasional di Universitas Nanjing, China, Zhu Feng, menyebut China mau tak mau harus menghadapi kenyataan. Meski pandemi belum berakhir, kegiatan diplomasi China tetap harus digiatkan. Begitu pula dengan mengundang negara-negara lain ke China.
Xi juga baru saja melakukan perjalanan pertamanya ke luar China daratan sekitar tiga minggu lalu ketika mengunjungi Hong Kong untuk memperingati ulang tahun ke-25 kembalinya bekas jajahan Inggris itu ke China.
Para pemimpin dunia juga akan mengadakan pertemuan-pertemuan selama KTT G20. Jika semua berjalan lancar, KTT G20 bisa menjadi kesempatan pertemuan langsung pertama antara Xi dan Presiden AS Joe Biden sejak Biden menjadi presiden AS, Januari 2021. ”Ini kesempatan langka untuk bertemu tatap muka di panggung multilateral yang sangat dibutuhkan China,” kata Su Hao, Guru Besar Hubungan Internasional di Universitas Hubungan Luar Negeri China.
Baca Juga: Indonesia Serukan G20 Menjembatani Diskusi Problem Global
Pertemuan secara tatap muka, kata Su, akan memudahkan pencapaian konsensus mengenai masalah dunia yang kompleks seperti tantangan ekonomi saat ini. Pertemuan G20 adalah kesempatan bagi Xi untuk mengajukan usulan mengenai pembangunan dan keamanan global.
Penguatan bilateral
Dalam konteks hubungan bilateral, bagi Indonesia, China merupakan investor terbesar ketiga setelah Singapura dan Hong Kong. Pada triwulan I-2022, dalam situasi pandemi Covid-19, nilai investasi China di Indonesia 1,4 miliar dollar AS atau meningkat 40 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya. Di bidang perdagangan, total nilai perdagangan Indonesia-China 124,3 miliar dollar AS pada 2021 atau naik 58,4 persen dari tahun sebelumnya.
”Kami berharap dapat lebih memperdalam rasa saling percaya strategis dan kerja sama praktis serta menciptakan model saling menguntungkan dan hasil yang juga saling menguntungkan bagi negara-negara berkembang, terutama di era baru. Sebuah model kebersamaan, pembangunan, dan garda depan kerja sama Selatan-Selatan,” papar Wang, Jubir Kemenlu China, yang juga menyatakan dukungan China terhadap presidensi G20 Indonesia.
Indonesia juga menempati peringkat ketiga terbesar mitra dagang China di antara anggota ASEAN, setelah Vietnam dan Malaysia. ”Hal ini bisa terjadi karena ada peningkatan ekspor dan kerja sama yang baik, terutama di sisi kemudahan investasi. Produk-produk yang masuk ke China selama dua tahun terakhir naik hampir 100 persen,” kata Duta Besar RI untuk China Djauhari Oratmangun.
Duta Besar China untuk Indonesia Lu Kang, dalam pernyataan Kemenlu China, Jumat lalu, menyebutkan, pertemuan China dan Indonesia memberikan panduan strategis dan dorongan kuat untuk pengembangan hubungan bilateral. Ketika diminta berkomentar mengenai Kemitraan untuk Infrastruktur dan Investasi Global atau Partnership for Global Infrastructure (PGII), ia mengecam hal itu dan menganggapnya sebagai upaya untuk mengejar ”kepentingan khusus” dan mengatasnamakan kerja sama regional.
PGII adalah proyek yang diluncurkan oleh G7 yang dipimpin AS pada awal Juli. Skema ini merupakan upaya G7 untuk menandingi Inisiatif Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Inisiative (BRI), proyek China yang diluncurkan pada 2013.
PGII menjanjikan investasi senilai 600 miliar dollar AS untuk pembangunan infrastruktur global pada 2027. Sebagian orang percaya kerangka kerja itu berpotensi memperkuat koneksi kabel telekomunikasi bawah laut Asia Tenggara dengan Eropa Barat bersama dengan jaringan listrik Asia Tenggara jika blok itu bisa memenuhi komitmennya.
Bagi Lu, inisiatif G7 itu eksklusif. ”Jenis kerja sama yang kami perjuangkan ini inklusif dan kami tidak seperti negara-negara tertentu yang mencoba mendorong jenis kerja sama eksklusif melalui pendekatan small yard, high fence, parallel development, atau decoupling karena kerja sama jenis itu bertujuan menempatkan beberapa negara berkembang di posisi yang sulit. Mereka dipaksa memilih kubu,” tutur Lu.
Hubungan diplomatik Indonesia-China, yang dimulai sejak 13 April 1950, terus menguat dengan ditandatanganinya perjanjian Kerja Sama Strategis Komprehensif pada 2 Oktober 2013. Ada pula nota kesepahaman sinerja Global Maritime Fulcrum Vision (GMF) dan BRI pada 23 Oktober 2018.
Sinergi GMF dan BRI ini menyepakati pembangunan empat koridor ekonomi di Indonesia. Pertama, Sumatera Utara sebagai pusat ekonomi dan bisnis untuk ASEAN. Kedua, Kalimantan Utara sebagai pusat energi dan mineral. Ketiga, Bali sebagai pusat ekonomi kreatif dan teknologi tinggi. Keempat, Sulawesi Utara sebagai pusat ekonomi Lingkar Pasifik.
Dari sinergi itu lahir berbagai proyek kerja sama. Di antaranya adalah Pusat Pengembangan Teknologi dan Informasi di Kura-Kura Bali, proyek Two Countries Twin Parks, dan Taman Industri Hijau di Kalimantan Utara. Ada juga proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung. (AP/WKM/INA)