China: Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan Sesuai Hukum Internasional
Pemerintah China melalui jubir kedutaan besarnya di Jakarta menekankan bahwa cara mereka dalam menyelesaikan permasalahan sengketa di Laut China Selatan sejalan dengan hukum-hukum internasional.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kedutaan Besar China untuk Indonesia menyatakan, China berada di jalur hukum internasional yang sah dan tepat dalam menyelesaikan sengketa Laut China Selatan. Beijing mengutamakan ”perundingan dan konsultasi oleh negara-negara yang bersangkutan secara langsung” agar penyelesaian permasalahan ini berlangsung damai tanpa mengganggu stabilitas kawasan dan tidak merintangi sejumlah kerja sama dengan negara-negara ASEAN.
Dalam keterangan tertulis, Jumat (15/7/2022), pihak kedutaan menyatakan, kedaulatan teritorial China terhadap Laut China Selatan (LCS) memiliki landasan sejarah dan hukum yang kuat. Disebutkan, bangsa China telah melayari perairan itu sejak 2.000 tahun lalu. Mereka pula yang menemukan, menamai, menjelajahi, dan mengembangkan sejumlah kepulauan di sana, yakni Nanhai Zhudao, yang terdiri dari pulau-pulau Dongsha, Xisha, Zhongsha, dan Nansha.
Hal itu disampaikan jubir Kedubes China guna membantah keterangan Robert Harris, Asisten Deputi Bidang Asia Pasifik dan Timur Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Divisi yang dipimpin Harris pada Januari 2022 menerbitkan laporan Batas-batas Kelautan (Limits in the Seas) 150. Mereka meneliti klaim China atas LCS.
Harris menjelaskan, kajian AS menggunakan sejumlah hukum internasional yang sah diakui secara global dan bisa diakses oleh semua pihak. Beberapa landasan hukum yang dipakai ialah Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1945, Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, dan keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) mengenai LCS tahun 2016.
Perairan ini dipersengketakan oleh China dan sejumlah negara Asia Tenggara, yaitu Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam, serta Taiwan. Negara-negara pengeklaim ini menolak klaim historis China ataupun metode mereka yang menerapkan batas geografis di perairan LCS, yang ditandai dengan sembilan garis putus-putus.
Pada 2013 Filipina menggugat klaim China itu ke PCA. Mahkamah arbitrase ini pada 2016 memutuskan, China tidak memiliki dasar hukum untuk mengeklaim perairan dalam area sembilan garis putus-putus. China tak mengakui dan menolak keputusan PCA tersebut.
Harris menyebut peran penting ASEAN, dengan sentralitasnya, dalam penyelesaian sengketa LCS. Menanggapi hal itu, Kedubes China ”menyarankan pihak AS untuk menghormati fakta, menghormati keinginan negara-negara di kawasan yang menghargai perdamaian dan stabilitas serta menfokuskan pembangunan dan kerja sama, jangan menimbulkan masalah dan menabur perselisihan”.
Kedubes China mengkritik pernyataan Harris sebagai upaya ”untuk memicu perselisihan antara negara-negara ASEAN dan China, menciptakan konflik dan konfrontasi di kawasan, dan merusak upaya bersama negara-negara kawasan dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan”.
Ditambahkan pula, China menjunjung tinggi sistem dan tatanan internasional berdasarkan hukum internasional, termasuk Piagam PBB dan UNCLOS. Terkait negara-negara ASEAN, China menyatakan akan terus bekerja sama dengan mereka dalam mengelola perbedaan di laut serta menerapkan deklarasi tata berperilaku di LCS dan tengah merundingkan Kode Perilaku di Laut China Selatan.