Dalam tur lawatan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dan China ke Asia Tenggara, multilateralisme menjadi sebuah isu yang diangkat. Isu sama, tetapi beda kepentingan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Asia Tenggara dalam sepekan terakhir menjadi tujuan diplomasi menteri luar negeri negara-negara kekuatan utama dunia, termasuk Amerika Serikat dan China.
Setelah menghadiri pertemuan Menteri Luar Negeri (Menlu) G20 di Bali, 8 Juli 2022, Menlu AS Antony Blinken terbang ke Thailand. Menlu China Wang Yi ke Jakarta, bertemu Presiden Joko Widodo, serta berpidato di Sekretariat ASEAN.
Salah satu topik yang diangkat kedua diplomat itu dalam beberapa kesempatan adalah multilateralisme. Blinken menyebut isu itu, antara lain, dalam wawancara dengan wartawan di Bali. Mantra yang sama dilontarkan Wang dalam pidatonya di Sekretariat ASEAN di Jakarta, Senin (11/7/2022). Mendengar satu kata terlontar dari diplomat AS dan China, semestinya berbagai bentuk rivalitasnya tak sulit diselesaikan.
Multilateralisme kerap diartikan sebagai pendekatan yang mengutamakan keterlibatan banyak negara dalam menangani isu dan masalah internasional serta penghormatan terhadap aturan dan norma yang disepakati masyarakat internasional. Istilah itu biasa dibedakan dengan unilateralisme atau kebijakan sepihak oleh satu negara dan bilateralisme atau pendekatan melalui kerja sama dua negara.
Dalam konteks ASEAN, baik AS maupun China sama-sama menggunakan pendekatan multilateralisme, setidaknya dalam retorikanya. Wang, misalnya, berkali-kali menyatakan dukungan China terhadap sentralitas ASEAN di kawasan Asia Tenggara.
Begitu pula AS. Dalam wawancara di Jakarta, Rabu (13/7), Asisten Deputi Bidang Asia Timur dan Pasifik di Departemen Luar Negeri AS, Robert Harris, juga mengakui sentralitas ASEAN sebagai jembatan perdamaian di kawasan.
Namun, jika dicermati, bahasa multilateralisme oleh kedua negara itu tak lepas dari kepentingan yang mereka usung. Wang melontarkan ”multilateralisme sejati”, pendekatan yang mengutamakan pembangunan dan kerja sama saling menguntungkan. Istilah ini dihadapkan dengan ”mentalitas Perang Dingin” atau pembentukan blok politik tertutup yang—meski dia tidak menyebut—semua tahu itu menyasar AS. Wang juga menyatakan terang-terangan, China merangkul ASEAN.
Bagi AS, yang disampaikan Harris, multilateralisme ASEAN mesti diwujudkan dalam menangani isu kawasan, salah satunya isu Laut China Selatan (LCS). Dengan multilateralisme, semua negara ASEAN bersatu—bukan dengan cara bilateral—menggugat klaim China di perairan itu. Washington siap memasok bukti dan landasan hukumnya. Multilateralisme seperti ini tidak diharapkan China, yang memilih jalan bilateralisme dalam menyelesaikan isu LCS.
Bagi ASEAN, perbedaan kepentingan dalam mendorong isu multilateralisme bukan hal baru. Hal ini bisa menaikkan posisi tawar dalam berhadapan dengan AS atau China. Mana yang lebih pintar, lebih gesit, dan lebih klop dengan kebutuhan, itulah yang akan disambut ASEAN. Ini tantangan bagi AS dan China, siapa di antara mereka yang paling relevan dengan ASEAN.