Pendekatan multilateral dalam menyelesaikan sengketa Laut China Selatan hendaknya memakai landasan hukum internasional yang kuat.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
REUTERS/ERIK DE CASTRO
Tentara Filipina berdiri siaga di depan bendera nasional Filipina di Pulau Thitu—atau Pulau Pagasa, menurut versi Filipina—di kawasan Laut China Selatan, 21 April 2017. Presiden Filipina Rodrigo Duterte, Kamis (4/4/2019), mengingatkan China agar tidak ”menyentuh” Pulau Pagasa.
JAKARTA, KOMPAS – Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN merupakan entitas yang mengedepankan multilateralisme sebagai pengejawantahan sentralitasnya. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa kawasan ini berada di tengah persaingan pengaruh politik antara Timur dan Barat. Dalam konteks ini, patut memperkuat pendekatan multilateralisme berbasis hukum-hukum internasional yang ada.
Kekuatan-kekuatan politik luar juga menggunakan multilateralisme sebagai pembahasan diplomatik mereka dengan ASEAN. Dua hari lalu, Menteri Luar Negeri China Wang Yi berpidato di kantor Sekretariat ASEAN di Jakarta. Ia mengatakan bahwa China tidak akan mengikuti langkah Amerika Serikat dan sekutunya yang masih bermentalitas perang dingin dan ingin membangun semacam aliansi pertahanan seperti Atlantik Utara di Asia.
Sebelumnya Wang juga bertemu dengan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken di Bali. Dalam kesempatan itu Wang mengatakan kepada Blinken agar menghormati sentralitas ASEAN. “Saya juga meminta kepada Pak Blinken agar turut menghormati aspirasi serta kepentingan setiap bangsa, bukan menanggapinya dengan sikap antagonis,” ujarnya.
AP PHOTO/BULLIT MARQUEZ
Foto yang diambil pada Jumat, 21 April 2017, menunjukkan landasan pacu, struktur, dan bangunan di Subi Reef, Kepulauan Spratly, yang dibangun China. Foto itu diambil dari pesawat angkut C-130 Angkatan Udara Filipina. Banyak negara jengah dengan sikap agresif China di kawasan Laut China Selatan.
Membahas topik multilateralisme ini, Kompas bertemu dengan Robert Harris. Ia adalah Asisten Deputi Bidang Asia Timur dan Pasifik di Departemen Luar Negeri AS pada hari Rabu (13/7/2022). Pengacara yang juga akademisi di Universitas Columbia ini tengah berkunjung ke Indonesia untuk bertemu dengan sejumlah pakar politik luar negeri Indonesia maupun ASEAN.
Deplu AS pada bulan Januari lalu meluncurkan hasil penelitian yang berjudul Batas-batas Kelautan (Limits in the Seas) 150 yang menandakan penelitian ke-150 terkait isu sengketa di Laut China Selatan. Laporan ini pula menjadi landasan Blinken ketika ditanya mengenai isu LCS menjawab bahwa AS mendukung LCS yang bebas dan terbuka. Setiap orang, gagasan, ataupun barang harus bisa bebas bergerak di darat, laut, udara, dan dunia maya. Tidak terkecuali di LCS berdasarkan zona ekonomi eksklusif yang diputuskan oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
“Justru, AS mendekati isu di LCS tidak dengan pandangan perang dingin, melainkan berlandaskan kerja sama dengan berbagai bangsa di dunia. Penelitian ini merupakan wujud multilateralisme yang netral,” tutur Harris.
Ia menjelaskan, penelitian ini melihat semua klaim China atas LCS. Misalnya, kepulauan-kepulauan yang mereka sebut dengan istilah Xisha, Dongsha, Zhongsha, dan Nansha Qiandao. Klaim ini kemudian disilangkan dengan berbagai hukum internasional yang tercatat dan bisa diakses publik. Beberapa hukum yang menjadi landasan ialah Piagam PBB tahun 1948 tentang kedaulatan setiap negara; UNCLOS 1982; dan Hukum Kelautan Internasional.
AP PHOTO/PETTY OFFICER 3RD CLASS JASON TARLETON
Dalam foto yang disediakan Angkatan Laut Amerika Serikat ini, tampak Kapal USS Ronald Reagan (CVN 76) dan USS Nimitz (CVN 68) sedang mengikuti latihan di Laut China Selatan, Senin, 6 Juli 2020. China berang dan menuding AS unjuk kekuatan militernya.
Di dalam hukum-hukum internasional itu dijelaskan bahwa kepulauan-kepulauan itu tercatat dengan nama antara lain adalah Spratly, Paracel, dan Pratas. Negara-negara Asia Tenggara yang diakui sebagai pemilik sah pulau-pulau itu berdasarkan batas geografis mereka adalah Malaysia, Vietnam, Filipina dan Brunei.
Pada tahun 2013, Filipina mengajukan gugatan ke Mahkamah Arbitrase Internasional yang mengeluhkan intrusi kapal-kapal China, baik kapal militer maupun komersil, ke wilayah perairan Filipina. Wilayah LCS ini di Filipina disebut dengan istilah Laut Filipina Utara. Sejak awal gugatan, China telah berkeberatan. China mengajukan keberatan dengan melampirkan landasan dengan anggapan bahwa sebagian besar LCS adalah milik mereka. China menggunakan alasan historis bahwa sejak zaman dulu kapal-kapal China sudah mengarungi perairan tersebut. Selain itu, mereka juga memakai metode pembatasan wilayah yang disebut Sembilan Garis Putus-Putus.
Namun dalam keputusannya yang dikeluarkan pada tahun 2016, Mahkamah Arbitrase Internasional menafikan klaim China atas LCS berdasarkan sejarah atau hak tradisional. Klaim berdasar sejarah atau hak tradisional tersebut tidak dikenal dalam UNCLOS.
Harris menerangkan, klaim-klaim China ini tidak memiliki bukti hitam di atas putih yang diakui secara internasional. Jika tidak ada bukti legal, minimal bisa menunjukkan bukti faktual. Tentang klaim China ke PBB terkait wilayah Laut China Selatan, sebanyak 11 negara menolaknya. Mereka menyampaikan protes diplomatik. Kesebelas negara itu adalah Indonesia, AS, Malaysia, Filipina, Vietnam, Inggris, Selandia Baru, Jepang, Australia, Jerman, dan Perancis. Brunei, termasuk negara yang turut mengajukan keberatan atas klaim China itu.
“Ada istilah yang dipakai oleh para pengacara, yaitu ‘jika tidak punya bukti yang kuat, kita hanya bisa menggebrak meja keras-keras’. Itulah yang dilakukan China saat ini dengan menggaungkan klaim mereka, meskipun keputusan resmi sudah dikeluarkan oleh mahkamah internasional,” kata Harris.
PHILIPPINE COAST GUARD/NATIONAL TASK FORCE-WEST PHILIPPINE SEA VIA AP
Dalam foto per 7 Maret 2021 yang disediakan oleh Penjaga Pantai Filipina, beberapa unit dari 220 kapal China terlihat ditambatkan di Whitsun Reef, Laut China Selatan.
Menurut dia, maksud dari laporan penelitian ini adalah menunjukkan kepada dunia bahwa ada sistem yang telah diakui secara global dan dapat dibuktikan. Keterbukaan kawasan perairan tidak hanya berkaitan dengan negara-negara yang memiliki wilayah, tetapi dengan seluruh negara secara umum karena bersangkutan dengan zona ekonomi eksklusif.
Ia melanjutkan, adanya serangkaian hukum internasional ini memberi batasan kepada setiap negara untuk tidak memaksakan hukum dan aturan versi mereka sendiri ke negara lain. Bangsa-bangsa di dunia juga dengan mengetahui adanya berbagai aturan tersebut hendaknya tidak diam saja membiarkan klaim berbasis unilateralisme.
“Di wilayah Asia Tenggara, tentu ASEAN menjadi kunci jembatan perdamaian melalui sentralitasnya. Harapannya, bukti-bukti hukum ini bisa membantu sebagai pijakan legal dalam menyelesaikan sengketa LCS,” kata Harris.
Para pengamat isu ASEAN dalam berbagai kesempatan juga pada dasarnya mengutarakan hal serupa. Marina Ika Sari dari The Habibie Centre misalnya, menyoroti bahwa penyelesaian sengketa LCS selama ini didominasi percakapan bilateral antara China dengan negara yang bersangkutan. ASEAN sebagai keluarga besar Asia Tenggara semestinya bisa memberi kepercayaan diri kepada para anggotanya untuk mengangkat pembahasan ke level multilateral, bukan bilateral.
NB: catatan redaksi.
ada sejumlah perbaikan dalam naskah berita. Pada paragraf ke-7 ada pembetulan pada angka tahun Piagam PBB tahun 1948, sebelumnya Piagam PBB tahun 1945.
Berikutnya pada paragraf ke-9 ada pembetulan dan penjelasan tambahan. Pembetulan terkait dengan angka tahun pengajuan gugatan Filipina ke Mahkamah Arbitrase Internasional. Gugatan diajukan tahun 2013 bukan 2016. Selanjutnya ditambahkan penjelasan tentang tahun keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional, yaitu tahun 2016.